Aliran Dana Djoko ke Irwasum Mabes Polri

Rabu 24-04-2013,07:40 WIB
Reporter : Dedi Darmawan
Editor : Dedi Darmawan

JAKARTA - Terdakwa kasus korupsi pengadaan simulator surat izin mengemudi (SIM), Irjen Djoko Susilo, mulai disidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), kemarin. Tim Jaksa Penuntut Umum  (JPU) dalam dakwaannya setebal 135 halaman merinci jumlah kekayaan senilai total Rp53,8 miliar dan USD 60 ribu, sehingga perwira tinggi Polri itu dikenakan tiga dakwaan. Djoko tiba di gedung Pengadilan Tipikor menumpang kendaraan dinas Toyota Kijang warna hitam pelat nomor B 8593 WU pada pukul 11.45. Persidangan yang dipimpin ketua majelis Suhartoyo itu sendiri baru dimulai pukul 12.30 dan berakhir pukul 16.00. Sekitar 3,5 jam jalannya persidangan itulah Djoko duduk manis di \"kursi pesakitan\" mendengarkan pembacaan dakwaan setebal 135 halaman secara bergantian oleh enam orang tim JPU. Pria kelahiran Madiun, 7 Oktober 1960, itu tampak tenang meski sesekali terlihat berusaha menahan kantuk. Dakwaan dibuka dengan pemaparan kronologis keterlibatan Djoko dalam korupsi simulator SIM. Djoko terlibat dalam kapasitasnya sebagai Kepala Korps Lalu Lintas Polri yang diangkat berdasarkan SK Kapolri nomor KEP/559/IX/2010 tanggal 15 September 2010 dan selaku kuasa pengguna anggaran (KPA) pengadaan Driving Simulator Uji Klinik Pengemudi Roda Dua (R2) dan Roda Empat (R4) tahun anggaran 2011. JPU menilai, Djoko telah melakukan atau turut serta melakukan perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan, secara melawan hukum, yaitu bertentangan dengan UU RI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Presiden (Perpres) RI nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan barang/jasa pemerintah. Dalam kasus ini Djoko didakwa melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Untuk dirinya sendiri, Djoko meraup dana sebesar Rp32 miliar. Sedangkan untuk memperkaya orang lain atau korporasi terdiri atas Didik Purnomo sebesar Rp50 juta, Budi Susanto selaku Direktur PT Citra Mandini Metalindo Abadi (CMMA) sebesar Rp93,3 miliar, Sukotjo Sastronegoro Bambang selaku direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia (IT) sebesar Rp3,9 miliar. Selain itu memperkaya pihak-pihak lain di antaranya Primkopol Mabes Polri sebesar Rp15 miliar, Wahyu Indra P sebesar Rp500 juta, Gusti Ketut Gunawa sebesar Rp50 juta, Darsian Rp50 juta, Warsono Sugantoro alias Jumadi Rp20 juta. Seluruhnya dinilai JPU dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp144,9 miliar atau setidak-tidaknya sebesar Rp121,8 miliar sesuai dengan surat dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) nomor: 06/S/III-XIV/03/2013 tanggal 27 Maret 2013 perihal kasus ini. Sebab sumber dana pengadaan simulator SIM itu berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran (TA) 2011. Skenario saling menguntungkan di antara mereka juga dipaparkan dalam persidangan itu. semua berawal dari pertemuan antara Budi Santoso dengan Sukotjo sekitar Agustus 2010 di Starbucks Coffee, TIS, Tebet, Jakarta Selatan. Dibahas bahwa TA 2010 di Korlantas Polri akan ada pekerjaan pengadaan optimalisasi simulator SIM untuk R2 dan R4 sebanyak total seribu unit. Terjadi kesepakatan di antara mereka berdua bahwa, Sukotjo menyediakan tempat dan pegawainya, sedangkan Budi penyedia modal. Namun karena Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di Korlantas Polri pada 2010 tidak memenuhi target, maka rencana tersebut tidak terlaksana. Pada Oktober 2010 Sukotjo menemui Darsian, bagian Keuangan Mabes Polri, untuk meminta informasi jumlah dana dialokasikan di Korlantas Polri TA 2011 untuk simulator SIM. Darsian dapat uang Rp50 juta atas jasa informasi tersebut dan stafnya terima Rp15 juta sendiri. Sejak saat itulah skenario sesungguhnya dimulai dengan mengatur berbagai langkah diperlukan. Ketika anggaran sudah terbentuk, hasilnya dilaporkan kepada Djoko dan disetujui. Proses penghitungannya mengacu pada TA 2010 sebesar Rp80 juta per unit untuk simulator SIM R2 dan Rp260 juta per unit untuk simulator SIM R4. Untuk R2 dibutuhkan 700 unit sedangkan untuk R4 dibutuhkan 556 unit. Merasa yakin dapat jaminan terima proyek, Budi kemudian mengajukan Kredit Modal Kerja (KMK) sebesar Rp101 miliar ke Sentra Kredit Menengah (SKM) Bank BNI, Gunung Sahari, Jakarta. Pengajuan atas nama PT Citra Mandiri Metalindo (CMM). Agunannya adalah Surat Perintah Kerja (SPK) pengadaan simulator SIM itu. Bank BNI kemudian melakukan verifikasi kepada pejabat Polri yang bertanggung jawab atau kompeten dalam proyek tersebut, yaitu Djoko. Setelah mendapat keyakinan, akhirnya pengajuan kredit disetujui senilai Rp100 miliar. Atas rekomendasi seperti itu maka JPU dalam dakwaannya menilai, Djoko melakukan tindakan bertentangan dengan ketentuan Pasal 5 huruf f dan Pasal 6 huruf c Perpres RI Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Setelah itu semua pihak termasuk Djoko secara langsung terlibat dalam rekayasa tender, sehingga dimenangkan oleh perusahaan milik Budi dan Sukotjo. Berhubung nilai pengadaan proyek ini lebih dari Rp100 miliar, maka yang berwenang menetapkan pemenang lelang adalah kapolri sebagai Pengguna Anggaran. Teddy Rusmawan selaku ketua panitia pengadaan barang itu kemudian membuat nota dinas nomor B/ND-22/iii/2011/Korlantas tanggal 23 Februari 2011 yang mengusulkan agar CMMA ditunjuk sebagai pemenang lelang. Selanjutnya berdasarkan usulan dari Djoko, kapolri memerintahkan Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum) Mabes Polri untuk melakukan Pre Audit terhadap proyek tersebut. Disebutkan bahwa, ada aliran dana sebesar Rp1 miliar ke Irwasum. \"Saya minta 1 M lagi untuk Irwasum, kita enggak bisa ambil uang lain-lain lagi, jadi perintah Kakor (Djoko, red) uang 1 M dari kamu,\" kata Budi kepada Sukotjo, seperti dibacakan tim JPU. Namun akhirnya disebutkan, bahwa aliran dana untuk Irwasum senilai Rp1,5 miliar. Tim Irwasum Mabes Polri saat itu beranggotakan Wahyu Indra P, Gusti Ketut Gunawa, Grawas Sugiharto, Elison Tarigan, dan Bambang Rian Setyadi. Rangkaian perbuatan Djoko atas segala rekayasa yang menguntungkan dirinya sendiri dan rekannya dalam pengadaan simulator SIM itu menjadi dakwaan primer. Perbuatannya diancam pidana dalam pasal 2 ayat 1 Jo pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 pasal 55 ayat 1 ke-1 Jo pasal 65 ayat 1 KUHP. Dakwaan subsider menekankan, akibat perbuatan Djoko dengan menyalahgunakan kewenangan dalam jabatannya selaku KPA atau kedudukannya sebagai Kakorlantas Polri, sehingga merugikan keuangan negara Rp144,9 miliar. Perbuatan tersebut diancam pidana dalam pasal 3 Jo Pasal 18 UU Tipikor Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 Jo pasal 65 ayat 1 KUHP. Dakwaan juga memaparkan bahwa seluruh harta kekayaan Djoko yang diperoleh sejak tanggal 22 Oktober 2010 sampai 2012 sebesar Rp42,9 miliar atau sekurang-kurangnya sejumlah tersebut, namun dialihkan kepada pihak lain. Patut diduga, kata JPU, sebagai hasil dari korupsi dalam kapasitasnya sebagai Kakorlantas. Sebab jika dari profesinya, sejak Januari 2010 sampai Desember 2010, Djoko hanya terima gaji sebesar Rp93,5 juta. Sejak Januari 2011 sampai Desember 2011 total terima gaji Rp113,3 juta. Sejak Januari 2012 sampai Maret 2012 terima gaji total Rp28,9 juta. Memang ada tambahan penghasilan lain berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) per 20 Juli 2010; sebesar Rp240 juta dari profesi/keahlian dan Rp960 juta dari usaha jual beli perhiasan dan properti. Atas dasar itu, Djoko diancam pidana dalam pasal 4 UU nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 Jo pasal 65 ayat 1 KUHP. Usai pembacaan dakwaan, Suhartoyo melempar pertanyaan kepada Djoko, apakah mengerti atau tidak dengan dakwaan tersebut. \"Tidak mengerti yang mulia,\" jawab Djoko. Suhartoyo kemudian bertanya lagi, bagian mana yang tidak dimengerti? \"Dari keseluruhan,\" jawab Djoko lagi. Mendengar itu nada bicara Suhartoyo meninggi. Dia heran, karena sudah dibacakan dalam bahasa sederhana seperti itu Djoko justru tidak mengerti. Dia kemudian meminta agar Djoko tidak mengada-ngada seolah-olah dibuat tidak mengerti. \"Dari penetapan pasal dan perlakuan,\" sahut Djoko. Salah satu tim kuasa hukum Djoko, Hotma Sitompul, meminta waktu dua minggu untuk memberikan eksepsi atau sanggahan. Djoko sendiri juga akan memberikan eksepsi. \"Melihat tebalnya BAP sampai 1,7 meter dan tebalnya dakwaan, kami mohon waktu dua minggu,\" kata Hotma. Namun majelis hakim memberikan waktu satu minggu saja dan sidang dilanjutkan Selasa (30/4).   **Juragan Tanah   Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam dakwaannya juga merunut mundur jabatan Djoko sampai 2003 disertai dengan perincian harta yang didapat sepanjang waktu itu hingga saat ini. Semuanya patut diduga sebagai Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Berdasarkan LHKPN, Djoko per 20 Juli 2010 seperti diumumkan KPK memiliki harta kekayaan sebesar Rp5,6 miliar yang terdiri atas tanah seluas 700 meter persegi di Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan sejak tahun 2000 senilai Rp2,6 miliar. Tanah seluas 700 meter persegi di lokasi yang sama senilai Rp 1,9 miliar, dan harta bergerak, yaitu dua unit mobil Toyota Kijang Innova tahun 2005. Giro dan setara kas lainnya senilai Rp237,4 juta. Selain itu tabungan di bank BCA dengan setoran awal Rp50 juta pada Mei 2007 dan pada 1 Juni 2011 menjadi Rp55,3 juta. Rekening BCA lainnya sejak September 2004 dengan setoran awal Rp352,4 juta dan pada 15 Mei 2012 tersisa Rp 10 ribu. Namun sepanjang antara 22 Oktober 2010 sampai Desember 2012, Djoko melakukan belanja properti dan kendaraan dalam jumlah banyak atas nama orang lain. Pada 27 Oktober 2010 membeli tanah seluas 2.640 meter persegi atas nama Djoko Waskito, ayah kandung Dipta Anindita yang merupakan istri ketiganya senilai Rp11,5 miliar. Namun dalam akta jual beli dicantumkan Rp 5,3 miliar. Pada tanah itu ada fasilitas turutannya, yaitu hak pengelolaan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Minyak untuk Umum (SPBU) di kelurahan Kapuk Muara, Penjaringan, Jakarta Utara. Tanggal 17 Februari 2011 atas nama Mahdiana, membeli tanah seluas 50 meter persegi di Jagakarsa, Jakarta Selatan senilai Rp46,5 juta. Tanggal 25 Mei 2011 atas nama Mudjihardjo membeli tiga bidang tanah berikut bangunan di jalan Patehan Lor Nomor 36, kelurahan Patehan, Kraton, Yogyakarta seluas 518 meter persegi senilai total Rp3 miliar. Namun dalam akta jual beli ditulis Rp500 juta. Tanggal 6 Oktober 2011 melalui Erick Maliangkay membeli tanah seluas 246 meter persegi di Jalan Cikajang, Kebayoran Baru, Jakarta selatan senilai Rp6,3 miliar. Selain itu juga membeli kendaraan atas nama Karjono, ayah kandung Sudiyono. Terjadi pada 2011 antara lain satu unit bus merek Mercedes Benz tahun 2005 senilai Rp485 juta, satu unit bus Isuzu Elf Rp60 juta, satu unit bus Isuzu Elf tahun 2010 senilai Rp425 juta, satu unit Toyota Rush Rp160 juta, Avanza tahun 2011 Rp130 juta. Secara umum mayoritas harta yang diduga hasil korupsi oleh Djoko dialihkan dalam bentuk tanah dan bangunan. Tercatat lebih dari empat kali atas nama Dipta Anindita. Terhadap seluruh harta kekayaan milik Djoko sejak 22 Oktober 2010 sampai 2012 sebesar Rp42,9 miliar. Rentetan penyidikan harta Djoko berlanjut sampai ke awal Djoko menjabat. Sejak Maret 2001 dia menjabat sebagai kapolres Bekasi. Pada Sepetmber 2003 jabatannya berpindah menjadi kapolres Metro Jakarta Utara, dan Juli 2004 menerima jabatan Dir Lantas Polda Metro Jaya. Pada Agustus 2008 dia masuk ke Mabes Polri dengan jabata Wadir Lantas Babinkam Polri. Hanya tiga bulan di situ, jabatannya naik lagi menjadi Dir Lantas Babinkam Polri. Pada tahun 2003 tepatnya 20 Mei 2003, Djoko atas nama Mahdiana membeli sebidang tanah seluas 1.234 meter persegi di Jagakarsa, Jakarta Selatan, senilai Rp757,6 juta. Pada 20 April 2004 atas nama Mahdiana membeli lagi tanah seluas 1.098 meter persegi di Jalan Paso, Jagakarsa, Jakarta Selatan, senilai Rp589,6 juta. Pada tahun 2005 atas nama Eva Handayani membeli tanah dan hak pengelolaan SPBU di Jalan Arteri Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah, senilai Rp1,7 miliar. Pada Maret 2005 atas nama Eva Handayani lagi, membeli tanah dan bangunan seluas 200 meter persegi di Tanjung Mas Raya Estate blok D.6, Tanjung Barat, Jakarta selatan, senilai Rp1,1 miliar. Setelah itu atas nama orang lain lagi belanja tanah senilai Rp106,8 juta, Rp12,8 juta, Rp1,1 miliar. Setiap tahun Djoko membeli aset sebanyak minimal lima kali dalam setahun. Seluruhnya patut diduga sebagai tindakan pencucian uang hasil korupsi, sehingga didakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 3 ayat 1 huruf c UU RI nomor 15 tahun 2002 tentang TPPU sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 25 tahun 2003 tentang perubahan atas UU nomor 15 tahun 2002 tentang TPPU Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 Jo pasal 65 ayat 1 KUHP. Salah satu tim kuasa hukum Djoko, Juniver Girsang, keberatan dengan isi dakwaan yang sampai ke tahun 2003 itu. \"KPK tidak boleh menyelidiki sampai tahun 2002, 2003, karena saat itu saja KPK belum lahir. Belum lahir kok sudah teriak-teriak,\" sindir Juniver.(gen)

Tags :
Kategori :

Terkait