Sanitasi Buruk, Kesehatan Warga Kota Cirebon Terancam

Senin 01-04-2019,13:49 WIB
Reporter : Dedi Haryadi
Editor : Dedi Haryadi

CIREBON-Ribuan warga bermasalah dengan sanitasi. Ada yang belum punya jamban. Tak sedikit pula yang saluran pembuangannya tidak memenuhi syarat. Ini adalah masalah yang jarang terangkat ke permukaan. Tapi punya urgensi untuk diselesaikan. Ribuan warga diyakini hidup di tengah permukiman yang kurang memenuhi standar kesehatan. Pangkal masalahnya adalah ketiadaan fasilitas mandi, cuci, kakus (MCK). Kalaupun ada, sistem pembuangannya belum memenuhi standar. Berdasarkan data Strategis Sanitasi Kota (SSK) Cirebon tahun 2015, sedikitnya 4.792 warga masih buang air besar (BAB) sembarangan. Memanfaatkan sungai, kebun dan laut. Kemudian 20.234 kepala keluarga hidup dengan jamban tidak aman. Dari studi lapangan yang dilakukan Radar Cirebon secara acak di enam lokasi, seluruhnya masih mengalami masalah sanitasi. Dari enam RW yang dikunjungi dari tiga kelurahan dan tiga kecamatan, ditemukan 81 warga yang belum memiliki jamban. Alias masih BAB sembarangan. Misalnya di RW 07 Kayuwalayang, Kelurahan/Kecamatan Kesambi yang terdapat 19 kepala keluarga. RW 07 Kesunean Utara, Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk terdapat 20 kepala keluarga. RW 10 Samadikun Utara, Kelurahan Kesenden, Kecamatan Kejaksan terdapat 5 kepala keluarga, RW 10 Samadikun Selatan. Kemudian, Kelurahan Kesenden, Kecamatan Kejaksan terdapat 7 Kepala Keluarga. RW 11 Samadikun Utara, Kelurahan Kesenden, Kecamatan Kejaksan terdapat 15 kepala keluarga dan RW 10 Pesisir, Kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk terdapat 15 kepala keluarga. Dari enam RW yang dikunjungi di tiga kelurahan dan tiga kecamatan, dua diantaranya telah memiliki sanimas. Di RW 07 Kesunean Utara misalnya. Terdapat sanimas dengan fasilitas 7 unit yang dibangun dengan anggaran ratusan juta rupiah. Namun pemanfaatannya masih minim. Ketua RW 07 Kesunean Utara Mulyadi mengungkapkan, kurang efektifnya penggunaan sanimas dikarenakan faktor lokasi. Warga berusaha mencari lokasi terdekat untuk BAB. Dan yang paling mudah dijangkau ialah di laut. “Terutama yang rumahnya jauh. Ya terpaksa mereka BAB-nya di laut,” ungkapnya. Masalah sanimas juga ditemukan di RW 07 Kayuwalang. Tangki septik yang dibangun untuk 50 kepala keluarga itu menghabiskan anggaran Rp425 juta. Namun keberadaan fasilitas ini belakangan dikeluhkan. Warga terganggu dengan bau tidak sedap yang tercium sampai ke permukiman. Fakta-fakta lapangan tersebut tentu memprihatinkan. Pasalnya, masalah sanitasi yang paling dasar ini terjadi di pusat kota. Dan mengancam kesehatan masyarakat juga lingkungan. Sementara di RW 11 Samadikun Utara Kelurahan Kesenden, Kecamatan Kejaksan, sanimas masih dalam tahap sosialisasi akhir bulan lalu. Ketua RW setempat, Junaedi berharap, sosialisasi ini setidaknya memberi kan pemahaman kepada warga untuk tidak buang air besar sembarangan. Diharapkan pula, ada program pemerintah yang dapat membantu pengadaan MCK. Sehingga kesehatan warganya juga lebih terpelihara. Pentingnya masalah sanitasi ini sesuai dengan Studi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2007. Disebutkan bahwa bila sanitasi total berbasis masyarakat (STBM) diterapkan, dapat menurunkan angka kejadian diare sebesar 94 persen. Penyakit lain akibat sanitasi yang buruk seperti gangguan saluran pencernaan, juga dapat ditekan. Masalah sanitasi ini juga menjadi salah satu indikator penetapan kawasan kumuh. Dalam Surat Keputusan (SK) Walikota 665/Kep.70-BAPPEDA/2015, luas kawasan kumuh di Kota Cirebon mencapai 59,60 hektare, yang berada di 3 kecamatan dan 7 kelurahan. Ini juga diperkuat dengan data Strategi Pembangunan Permukiman dan Infrastruktur Perkotaan (SPPIP) yang dikeluarkan tahun 2012. Disebutkan bahwa 23,70 persen rumah di Kota Cirebon tidak sehat. Persentase 23,70 persen itu dari 59.632 unit bangunan rumah tinggal. (awr/myg)

Tags :
Kategori :

Terkait