Sempat Nyicil Pakai Barang

Kamis 02-05-2013,09:41 WIB
Reporter : Dedi Darmawan
Editor : Dedi Darmawan

Tukang Bubur Mendapat Kunjungan dari Ormas Pekat SINDANGAGUNG – Informasi terkait penyitaan rumah tukang bubur di Desa Kertawangunan, Kecamatan Sindangagung, menyebar begitu cepat. Hingga Ormas Pekat (Pembela Kesatuan Tanah Air) Kuningan melakukan kunjungan ke pemilik rumah, Erna Lesmanawati (39), kemarin (1/5). Muncul keterangan baru, pemilik rumah sempat membayar cicilan dengan barang-barang perabotan rumah. Kepada Ketua Pekat Kuningan H Dudung Mundjadji SH, bersama sekretarisnya, Mulyana Latif ST, Erna membeberkan kronologis praeksekusi pengosongan rumah. Dia mengakui, bahwa kelancaran membayar cicilan ke BPR Arthia Sere hanya sampai 5 bulan. Nominal per bulannya mencapai Rp2.859.000. ”Setelah itu usaha kami jualan bubur kacang di Semarang bangkrut Pak, sehingga kami tidak mampu lagi membayar cicilan bulan berikutnya,” tutur Erna bersama suaminya, Ifan Said (53) saat ditemui di rumah kerabatnya yang berjarak sekitar 20 meter dari rumah yang disita itu. Diakui pula, setelah nunggak cicilan dirinya mendapat surat tagihan dari pihak bank. Erna sering pulang pergi Kuningan-Semarang untuk membantu suaminya berjualan bubur, sehingga informasi datangnya surat diberitahu oleh anaknya. Sambil mengingat-ingat kembali, Erna menyebutkan, setelah 11 kali nunggak dirinya pernah ditagih paksa. Lantaran tidak memiliki uang untuk menyicil, maka terpaksa melakukan pembayaran dengan perabotan rumah. Meja makan, meja tamu dan bupet, olehnya dijadikan sebagai cicilan dengan nominal Rp4 juta. ”Setelah itu kami menyicil lagi uang, tapi tidak sampai Rp2.859.000, melainkan pernah Rp1.350.000 dan Rp1.500.000. Karena memang kami tidak punya uang lagi,” ungkap ibu dari tiga anak itu. Erna melanjutkan, sebetulnya ia sempat menghadiri sidang perdata di PN Kuningan pada 30 Agustus 2012 lalu. Tanpa pendamping seorang pun, Erna menghadiri sidang tersebut. Keputusannya ia harus membayar hutang Rp80 juta. Erna pun siap membayarnya dengan syarat rumah sebagai harta satu-satunya harus dijual. ”Saya enggak punya harta lagi selain rumah. Makanya kami minta waktu untuk menjualnya. Kebetulan ada Pak Totong (warga Cigembang, red) yang mau membeli rumah saya dengan harga Rp300 juta. Tapi karena mau di KPR kan, butuh waktu supaya uang itu cair,” paparnya. Ibu tiga anak dan suaminya itu kini menjadi gelandangan dan numpang di rumah saudaranya. Anak pertamanya perempuan berusia 25 tahun bekerja di sebuah toko elektronik. Anak keduanya pria yang sekolah di SMALB (SMA Luar Biasa) dan anak ketiganya sekolah di SMPN 2 Kuningan. Ia mengingat kembali bagaimana ketika diperintahkan untuk mengosongkan rumah Senin (29/4) lalu dengan waktu 15 menit saja. Sehingga barang-barang di dalam rumah pun hanya keburu dititipkan di tetangganya. Saat ditanya oleh Dudung Mundjadji, bagaimana sebelum eksekusi, Erna mengatakan, bahwa dirinya sempat mendatangi KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang) Cirebon. Itu dilakukannya dua hari sebelum lelang dilaksanakan. Namun dari pihak KPKNL hanya mengarahkan supaya mendatangi Bank BPR Arthia Sere. ”Saya pun ke bank, tapi jawabannya tidak bisa. Padahal saya hanya meminta waktu penangguhan lelang, karena pembeli rumah uangnya belum cair. Tapi permohonan kami tidak digubris hingga lelang tetap dilangsungkan tanpa disaksikan olehnya,” ucap Erna. Meski hasil lelang Rp189 juta, sedangkan utang Erna senilai Rp80 juta, tapi sisa uang tersebut belum ia terima. Sebetulnya, baik Erna maupun Ifan sangat berharap, rumah tersebut dimiliki kembali. Sehingga pihaknya membutuhkan uluran tangan dari orang-orang yang mengerti hukum dan perbankan. Karena tercium adanya indikasi ketidakadilan. Menyikapi hal itu, Dudung dan Mulyana selaku Ormas Pekat yang mengerti hukum, meminta seluruh berkas mulai dari akad kredit, cicilan sampai berbagai dokumen lainnya. Mereka akan mencoba melakukan upaya-upaya perlindungan hukum kepada kaum lemah. ”Perbankan itu sudah dilindungi oleh aturan-aturan seperti asuransi dan lainnya. Sedangkan masyarakat itu kurang paham hukum. Makanya kita wajib untuk membantu. Bila perlu BPR Arthia Sere harus diboikot,” tegas Mulyana. (ded)

Tags :
Kategori :

Terkait