Saat Ayah Duduk di Bangku Sekolah: Kisah di Balik Gerakan Mengambil Rapor
MENUNGGU GILIRAN: Deretan ayah menunggu giliran mengambil rapor di salah satu SMA negeri di Kota Cirebon, Selasa (23/12/2025).-Ade Gustiana-radarcirebon
RADARCIREBON.COM - Koridor sekolah itu biasanya dipenuhi warna. Kerudung pastel, tas tangan, dan suara obrolan para ibu. Namun Selasa pagi (23/12/2025), suasananya berbeda. Lebih sunyi. Lebih tegas. Lebih maskulin.
Deretan bapak-bapak berdiri rapi menunggu giliran. Ada yang berkemeja, ada yang berbatik pesisiran, ada pula yang santai dengan kaus berkerah dan peci hitam.
Mereka bukan menghadiri rapat warga. Mereka datang untuk satu urusan penting: mengambil rapor anaknya. Inilah wajah nyata Gerakan Ayah Mengambil Rapor.
Di sebuah ruang kelas SMAN 4 Kota Cirebon, seorang ayah berkacamata duduk tegak di hadapan guru. Di atas meja, tumpukan rapor tersusun rapi.
BACA JUGA:Kulit Mulai Terlihat Lelah, Kusam, dan Kurang Elastis? Saatnya Rawat dari Dalam dengan Nutricoll B ERL
Sang guru menunjuk angka demi angka. Sang ayah menyimak serius.
Sesekali ia bertanya. Bukan sekadar soal nilai. Tapi tentang sikap anaknya di kelas, kehadiran, hingga potensi yang mungkin tak pernah muncul di rumah.
Di papan tulis belakang, tertulis pesan sederhana namun dalam: pengawasan penggunaan gawai dan internet secara bijak. Seolah menjadi pengingat bahwa peran ayah tidak berhenti pada biaya sekolah. Tidak cukup hanya sampai gerbang.
Hari itu, ruang kelas berubah fungsi. Bukan lagi tempat belajar siswa, melainkan ruang refleksi orang tua.
Di SMAN 2 Kota Cirebon, pemandangan serupa terjadi. Para ayah menunggu giliran dengan sabar. Beberapa sibuk menunduk ke layar ponsel—bukan bermain gim, melainkan mengirim pesan ke rumah.
BACA JUGA:Siap-siap! UMP Jawa Barat 2026 Hari Ini Ditandatangani Dedi Mulyadi
“Nilai aman. Alhamdulillah.”
Satu kalimat pendek, namun sarat makna.
Para wali kelas tak sekadar menyerahkan buku rapor.
Mereka berdialog. Membahas kehadiran, kegiatan ekstrakurikuler, hingga nilai yang “merah”. Di sinilah peran ayah diuji—bukan untuk memarahi, melainkan menyiapkan solusi.
Selama ini, sekolah kerap dianggap wilayah ibu. Ayah cukup bekerja. Cukup menyediakan. Namun pagi itu, stigma itu runtuh perlahan.
Data menunjukkan, keterlibatan ayah berbanding lurus dengan kepercayaan diri dan prestasi anak.
Ayah membawa pendekatan rasional, ibu membawa sentuhan emosional. Pendidikan ideal lahir dari keduanya yang berjalan seiring.
BACA JUGA:Peringati HUT ke-26 DWP, Walikota Cirebon Ungkap Peran Penting Perempuan di Balik Pembangunan
Tak semua ayah bisa hadir. Sekolah memahaminya. Masih terlihat beberapa ibu di barisan. Namun langkah kecil ini sudah cukup memberi pesan: ayah peduli.
“Di rumah dia pendiam. Saya baru tahu ternyata aktif di organisasi,” ujar seorang ayah sambil tersenyum, usai keluar dari kelas.
Hari itu, koridor sekolah tak hanya dipenuhi langkah kaki. Ia dipenuhi kesadaran baru.
Bahwa mendidik anak bukan hanya soal angka di rapor, tetapi tentang kehadiran—secara nyata. (ade)
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


