Membaca Ulang Batas Kebebasan Berekspresi Buku Gibran End Game: Wapres Tak Lulus SMA
Ketika sebuah buku menyasar figur publik dan menggunakan judul eksplosif seperti "GIBRAN END GAME: WAPRES TAK LULUS SMA-YouTube-Radar Cirebon
BACA JUGA:Sambut 300 Tahun Buntet Pesantren Cirebon, Wapres Gibran Sampaikan Kado Presiden Prabowo
Salah satu contoh paling terkenal adalah Julian Assange, pendiri Wikileaks, yang membocorkan ribuan dokumen rahasia milik pemerintah Amerika Serikat, termasuk laporan militer dan surat diplomatik (Assange et al., 2015). Publikasi tersebut menuai pujian di satu sisi sebagai upaya transparansi, tetapi di sisi lain membawanya menghadapi dakwaan berat di bawah Espionage Act 1917. Adapun ancaman hukuman hingga 175 tahun penjara, kasus Assange menegaskan bahwa di hadapan negara, kebebasan pers dapat berbenturan keras dengan konsep keamanan nasional.
Julian Assange, pendiri Wikileaks
Sumber: https://www.wabe.org/julian-assange-sees-incredible-double-standard-clinton-email-case/
Contoh lain adalah Maria Ressa, pendiri media Rappler di Filipina. Melalui pemberitaan investigatif yang mengkritisi kebijakan Presiden Duterte, Ressa terjerat pasal pencemaran nama baik di bawah UU Cyberlibel dan aturan kepemilikan media asing (Guison and Macalintal, 2023). Meskipun ia memenangkan Nobel Perdamaian 2021 sebagai tokoh pejuang kebebasan pers, negara justru menunggunya di meja hijau, memperlihatkan bahwa kritik politik di dalam rezim semi-otoriter tetap berada di bawah bayang-bayang kriminalisasi.
Maria Ressa, pendiri media Rappler di Filipina
Sumber: Own work
Beralih ke Eropa, kasus David Irving menunjukkan bentuk pelanggaran berbeda namun tidak kalah kontroversial. Irving, seorang penulis Inggris, dipenjara di Austria karena menyebarkan konten yang menolak keberadaan Holocaust (Cholis, 2007). Dalam konteks Eropa pasca-Perang Dunia II, penyangkalan Holocaust tidak hanya dianggap keliru secara historis, tetapi juga digolongkan sebagai ujaran kebencian, yang diatur dengan hukuman penjara tiga tahun. Di sini, batasan hukum ditarik jelas untuk melindungi kebenaran sejarah dan martabat korban genosida.
BACA JUGA:Sambut 300 Tahun Buntet Pesantren Cirebon, Wapres Gibran Sampaikan Kado Presiden Prabowo
David Irving
Sumber: https://theconversation.com/i-was-an-expert-witness-against-a-teacher-who-taught-students-to-question-the-holocaust-116578
Sementara di Tiongkok, jurnalis senior Gao Yu membocorkan dokumen internal Partai Komunis dan dihukum tujuh tahun penjara dengan alasan membocorkan rahasia negara (Buckley, 2014). Walau tujuannya memperjuangkan transparansi, sistem hukum otoriter tampaknya tidak memberi ruang bagi pembelaan atas nama kepentingan publik. Kasus Gao Yu memperlihatkan betapa sempitnya ruang kebebasan pers di dalam negara yang ketat mengontrol arus informasi.
Kasus Roberto Saviano di Italia menunjukkan bentuk lain dari konsekuensi publikasi kritis. Menulis tentang sepak terjang mafia Napoli dalam bukunya Gomorrah, Saviano tidak digiring ke pengadilan tetapi justru menghadapi ancaman pembunuhan dari organisasi kriminal (Saviano, 2019). Ia kini hidup di bawah perlindungan polisi seumur hidup. Ini mengingatkan kita bahwa ancaman atas publikasi investigatif tidak hanya datang dari negara atau hukum, tetapi juga dari pihak-pihak yang merasa kekuasaannya terancam.
Melihat kasus-kasus ini, kita memahami bahwa ancaman terhadap penulis investigatif-politik hadir dalam berbagai bentuk, yaitu; mulai dari dakwaan pencemaran nama baik, penyebaran informasi palsu, pelanggaran rahasia negara, hingga tuduhan penistaan sejarah atau pelanggaran privasi. Instrumen hukum seperti defamation laws, Espionage Act, hingga UU Pelindungan Data Pribadi, menjadi senjata negara dalam mengawasi batas publikasi. Adapun kelompok non-negara seperti mafia atau kelompok ekstrem juga dapat menjadi ancaman nyata, menunjukkan bahwa menulis kebenaran kadang bukan hanya soal pasal, tetapi nyawa.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


