Ok
Daya Motor

Membaca Ulang Batas Kebebasan Berekspresi Buku Gibran End Game: Wapres Tak Lulus SMA

Membaca Ulang Batas Kebebasan Berekspresi Buku Gibran End Game: Wapres Tak Lulus SMA

Ketika sebuah buku menyasar figur publik dan menggunakan judul eksplosif seperti "GIBRAN END GAME: WAPRES TAK LULUS SMA-YouTube-Radar Cirebon

Penyebaran Informasi Palsu dan UU ITE Pasal 28 Ayat (2)

UU ITE Pasal 28 ayat (2) memuat ketentuan mengenai penyebaran informasi yang tidak benar (hoaks) yang dapat memicu keresahan di masyarakat (Mufid and Hariandja, 2019). Zürn, M. (2014) dalam penelitiannya menyebut bahwa publikasi berbasis asumsi atau dokumen palsu, apalagi menyerang individu tertentu, memiliki dampak besar terhadap stabilitas sosial dan bisa menjadi alat politisasi (Zürn, 2014).

Dalam kampanye dan polarisasi politik, informasi yang tidak akurat atau tidak diverifikasi dapat dimanfaatkan untuk membentuk opini publik secara manipulatif. Penerbitan yang mencampurkan fakta dan interpretasi tanpa kejelasan metodologis berisiko menjadi bagian dari disinformasi.

BACA JUGA:Sukses Amankan Kunjungan Wapres Gibran di Cirebon, Danrem 063 SGJ Sampai Hal Ini

Pelanggaran Etika Jurnalistik dan Penelitian yang Tidak Verifikatif

Di luar hukum formal, etika jurnalistik juga menjadi rambu dalam menulis karya berbasis data publik. Kode Etik Jurnalistik Indonesia mewajibkan setiap penulis untuk melakukan verifikasi dan menerapkan prinsip cover both sides sebelum memublikasikan sebuah tuduhan atau narasi investigatif. De Burgh, H. (2008) mencatat bahwa banyak karya investigatif populer justru terjebak pada sensasi dan agenda tertentu, sehingga menyerupai “jurnalistik rasa gosip”, bahwa karya yang tampak serius, namun metodologinya rapuh (De Burgh, 2008).

Buku investigatif seharusnya mematuhi standar riset, seperti triangulasi sumber, wawancara berimbang, dan pembuktian dokumen. Tanpa proses ini, publikasi tersebut rentan dianggap sebagai manipulasi atau propaganda, khususnya dalam konteks kritik politik.

Studi Kasus Nasional

Salah satu contoh yang sering dibahas dalam kajian media adalah kasus "Jokowi Undercover". Pujiono Cahyo Widianto, penulis buku tersebut, divonis bersalah karena menyebarkan tuduhan yang tidak berdasar terhadap Presiden Joko Widodo. Tuduhan seperti “ijazah palsu” disampaikan tanpa bukti yang sah dan tanpa memberi kesempatan pihak terkait menjelaskan. Pengadilan akhirnya menggandeng UU ITE Pasal 28(2) dalam memutus kasus tersebut.

BACA JUGA:Sambut 300 Tahun Buntet Pesantren Cirebon, Wapres Gibran Sampaikan Kado Presiden Prabowo

Kasus ini menjadi preseden bahwa meskipun karya investigatif hadir sebagai bagian dari dinamika demokrasi, metode pengumpulan data dan tanggung jawab publiknya tidak boleh diabaikan. Mengklaim karya sebagai “investigatif” tanpa prosedur yang sah justru menjadikannya rentan dikategorikan sebagai fitnah atau hoaks.

Pelindungan Data Pribadi dalam Konten Publik

Dalam konten investigatif, UU No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi memberikan panduan ketat bahwa data pribadi seseorang, termasuk data pendidikan, tidak boleh dipublikasikan tanpa izin atau dasar hukum yang valid (Satria and Yusuf, 2024). Meski tokoh publik berada dalam ranah kritik terbuka, mereka tetap memiliki hak atas perlindungan privasi tertentu. Buku yang menyertakan dokumen pribadi seperti data sekolah atau catatan keluarga tanpa izin dapat dianggap melanggar hak privasi.

Studi Kasus Internasional atas Publikasi Investigatif-Politik Berisiko

Di berbagai belahan dunia, publikasi investigatif-politik telah memainkan peran dalam menyingkap fakta tersembunyi dan mengawasi kekuasaan. Namun, sejarah menunjukkan bahwa batasan antara kritik sah dan pelanggaran hukum kerap kabur. Kasus-kasus berikut memperlihatkan bagaimana kebebasan berpendapat bisa berbenturan dengan ancaman pidana, dan bahwa kebenaran faktual bukan satu-satunya faktor yang menentukan nasib seorang penulis.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait