Membaca Ulang Batas Kebebasan Berekspresi Buku Gibran End Game: Wapres Tak Lulus SMA
Ketika sebuah buku menyasar figur publik dan menggunakan judul eksplosif seperti "GIBRAN END GAME: WAPRES TAK LULUS SMA-YouTube-Radar Cirebon
RADARCIREBON.COM -Dalam lanskap demokrasi, karya investigatif seperti buku politik memegang tempat sebagai medium kritik dan kontrol sosial.
Di Indonesia, buku-buku semacam ini kerap digunakan untuk membongkar isu koGurai wacana kekuasaan. Namun kebebasan berekspresi bukanlah kebebasan tanpa batas, bahwa ia dibatasi oleh kerangka hukum, pedoman etika, dan tanggung jawab terhadap kebenaran.
Ketika sebuah buku menyasar figur publik dan menggunakan judul eksplosif seperti "GIBRAN END GAME: WAPRES TAK LULUS SMA", timbul pertanyaan mengenai batas antara kebebasan berpendapat dan potensi pelanggaran hukum.
Di satu sisi, publik berhak atas informasi kritis yang relevan untuk proses demokrasi. Di sisi lain, hukum melindungi individu dari fitnah, pencemaran nama baik, dan manipulasi fakta. Tulisan ini mencoba mengurai ketegangan tersebut melalui analisis teori, studi kasus, dan kerangka hukum di Indonesia.
BACA JUGA:Ketika Selvi Gibran Kungker ke Indramayu, Begini Pesan Kepada Pemerintah Daerah dan Masyarakat
Kebebasan Berekspresi dan Batas Hukumnya
Jürgen Habermas, dalam teori demokrasi deliberatif, menekankan pentingnya ruang publik sebagai arena dialog rasional (Goode, 2005; Lubenow, 2012). Ruang ini memungkinkan warga berbagi opini, termasuk kritik terhadap pemerintah maupun figur politik, sebagai bagian dari kontrol demokratis.
Namun kritik yang lahir dari ruang publik ini tidak berarti dapat melampaui batas integritas dan objektivitas. Tulisan Habermas, J. (1998) dalam bukunya yang telah diterbitkan oleh MIT press yang berjudul On the pragmatics of communication menegaskan bahwa komunikasi publik harus berlandaskan kejujuran dan itikad baik (Habermas, 1998).
Indonesia sendiri menjamin kebebasan berekspresi dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) (Junaedi and Rohmah, 2020). Meski demikian, kebebasan ini berada di bawah regulasi hukum lain seperti KUHP dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang bertujuan menjaga keseimbangan antara hak berpendapat dan perlindungan terhadap martabat pribadi serta ketertiban sosial.
Risiko Pencemaran Nama Baik
Pada kasus kritik terhadap tokoh publik, perbedaan antara opini sah dan pencemaran nama baik sering kali terletak pada kejelasan pembuktian dan niat publikasinya. Pasal 310 dan 311 KUHP, serta Pasal 27 ayat (3) UU ITE, memahami pencemaran nama baik sebagai pernyataan atau tuduhan publik yang merusak reputasi seseorang tanpa dasar yang dapat diverifikasi (Antonio and Adhari, 2024; Toruan and Sidauruk, 2025).
BACA JUGA:Aspirasi Nelayan Citemu kepada Wapres Gibran Rakabuming Raka Kunjungi Nelayan Cirebon, Minta Hal Ini
Dalam kajian hukum media oleh (Gunatilleke, 2021), batas ini diperjelas, bahwa kritik yang didasarkan pada fakta dan argumen yang sah secara metodologis dan verifikatif dilindungi oleh kebebasan ekspresi. Sebaliknya, tuduhan personal yang tidak disertai bukti kuat berpotensi dianggap sebagai serangan terhadap martabat pribadi.
Dalam publikasi yang menyebut seorang pejabat publik “tidak lulus sekolah”, pertanggungjawaban hukum bisa terjadi jika pernyataan tersebut tidak didukung oleh bukti yang dapat diakses, diverifikasi, atau melibatkan klarifikasi dari pihak terkait.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


