Membaca Ulang Batas Kebebasan Berekspresi Buku Gibran End Game: Wapres Tak Lulus SMA
Ketika sebuah buku menyasar figur publik dan menggunakan judul eksplosif seperti "GIBRAN END GAME: WAPRES TAK LULUS SMA-YouTube-Radar Cirebon
BACA JUGA:Wapres Gibran Dapat Surat dari Siswa Sekolah Rakyat di Cirebon, Begini Isinya
Penerbitan investigatif dalam ranah politik bukan hanya persoalan keberanian dan visi, melainkan persoalan strategi, etika, dan kesadaran hukum. Di banyak negara, kebenaran faktual saja tidak cukup untuk membebaskan pelaku dari ancaman pidana. Niat di balik publikasi, metode perolehan informasi, dampaknya terhadap publik, dan tingkat verifikasinya turut dipertimbangkan oleh pengadilan.
Dalam hal ini, penulis dan penerbit di Indonesia pun perlu memahami seluruh aspek tersebut sebelum menapaki wilayah publikasi politik yang sensitif. Kebebasan berekspresi memang dijamin UUD, tetapi tanpa kehati-hatian dan tanggung jawab, karya yang dimaksudkan untuk mencerdaskan dapat berujung menjadi bukti di pengadilan.
Penutup
Pada akhirnya, perdebatan seputar karya seperti “GIBRAN END GAME: WAPRES TAK LULUS SMA” bukan hanya soal isi, tetapi juga soal cara, bahwa cara kita memandang kebenaran, mengelola kebebasan berpendapat, dan menguji batas moral dalam berdemokrasi. Kebebasan berekspresi memang menjadi salah satu pilar kehidupan publik yang sehat, namun kebebasan itu hanya bermakna jika berdiri di atas landasan etika dan tanggung jawab.
Sebagaimana Habermas tegaskan, ruang publik bukan arena sembarang bicara, melainkan ruang dialog yang rasional dan berkeadilan. Di era sensasi dan klik cepat, penulis dan pembaca sama-sama ditantang untuk tidak terjebak pada judul provokatif atau narasi yang memancing emosi. Kritik harus tetap tajam, tetapi juga adil. Fakta harus lahir dari investigasi, bukan sekadar kecurigaan. Dan nama baik seseorang bukanlah harga yang boleh dipertaruhkan demi larisnya sebuah buku.
Di tengah polarisasi politik yang kian tajam, keberanian dalam menulis harus diimbangi kejujuran intelektual dan disiplin metodologis. Tanpa itu, kita tak sedang memperkuat demokrasi, tapi justru membiarkan ruang publik tercemari oleh kebisingan yang menyesatkan. Oleh karena itu, membaca ulang batas kebebasan berekspresi bukan berarti membungkam kritik, melainkan memastikan kritik tetap menjadi jalan menuju kebenaran, bahwa bukan sekadar jalan pintas menuju sensasi.
BACA JUGA:Wapres Gibran di Pasar Jagasatru Cirebon, Beli Tauge 2 Kilo Lalu Janjikan Hal Ini ke Pedagang
Penulis: Ruben C Siagian
Referensi
Antonio, A. and Adhari, A., 2024. Menilai Implementasi Undang Undang ITE dalam Menegakkan Kepastian Hukum Terhadap Kasus Pencemaran Nama Baik. Ranah Research: Journal of Multidisciplinary Research and Development, 6(4), pp.1079–1087.
Assange, J., Bennis, P., Jamail, D., Busch, M., Certo, P., Hallinan, C., Harrison, S., Heydarian, R., Johnston, J. and Main, A., 2015. The WikiLeaks files: the world according to US empire. Verso Books.
Buckley, C., 2014. Chinese journalist detained over leak; Communist Party critic charged with providing secret document to media. International New York Times, p.NA-NA.
Cholis, N., 2007. Berhala Holocaust: Pertarungan Sengit Zionis & Revisionis. MediaKita.
De Burgh, H., 2008. Investigative journalism. Routledge.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


