Imlek Bencana

Imlek Bencana

Saat itu Roy sudah berumur 38 tahun. Sudah kawin. Sudah punya anak 1 orang. Mengapa Roy sampai bertengkar dengan ayahnya seperti itu? “Saya ini ingin mandiri. Ingin keluar dari perusahaan Papa. Saya ingin jadi pengusaha sendiri,” jawabnya.
“Untuk apa? Kan ngurus perusahaan Papa juga enak,” tanya saya. “Saya kan ingin bisa beli mobil sendiri, beli rumah sendiri dan punya uang sendiri,” jawabnya. “Apa sulitnya keluar dari perusahaan Papa?” tanya saya. “Selalu tidak diizinkan. Dihalangi,” jawabnya. “Anda di perusahaan Papa diberi jabatan apa?” “Direktur Utama.” “Kan sudah bagus,” kata saya. \"Berarti Papa Anda itu orang baik,” kata saya.

“Memang saya direktur utama, tapi tidak punya wewenang apa pun di bidang keuangan. Semua pengeluaran harus ada tanda tangan Papa,” jawabnya. “Apakah tidak ada aturan bahwa pengeluaran di bawah sekian juta tidak perlu lewat Papa?\" tanya saya. “Tidak ada. Sekecil apa pun harus lewat Papa,” jawabnya. Menurut Roy, akhirnya ia keluar paksa dari perusahaan ayahnya. Ia pun mendirikan usaha serupa dengan usaha ayahnya di Pamekasan, Madura. Sang ayah tidak ada masalah.
Lalu Roy membangun bengkel mobil di Surabaya. Tidak jauh dari rumah sang ayah. “Begitu saya punya usaha di Surabaya bengkel saya diganggu terus oleh Papa,” ujar Roy. “Intinya, Papa tidak mau saya punya usaha di Surabaya. Kalau di Madura tidak apa-apa,” ujar Roy.

Tapi Roy ingin berkembang di Surabaya. Ia merasa menguasai medan besar Surabaya. “Apa saja gangguan itu?\" “Terakhir, Papa menyuruh orang menggergaji tangga di bengkel saya,” ujar Roy.

Itulah yang membuat Roy tidak tahan lagi. Lalu menembak mobil di showroom ayahnya tadi. Juga mobil milik pejabat itu. Yang membuatnya masuk tahanan itu. Dua tahun kemudian, usaha bengkel Roy tetap jalan dengan baik. Yang di Madura juga baik. Bahkan ia mendirikan bengkel mobil di Mojokerto. Ia membeli tanah persis di sebelah Liek Motor, Mojokerto.

Lewat bengkelnya itu Roy punya maksud suatu saat akan membeli Liek Motor, Mojokerto, milik Papanya yang di sebelahnya itu. “Sekarang tidak mudah membeli Liek Motor Mojokerto. Papa ternyata sudah menjualnya ke orang lain,” ujar Roy. “Tapi suatu saat harus bisa saya beli,” tambahnya.

Bulan lalu Roy punya pikiran baru. Ia mengatakan harus bisa mengambil alih showroom Liek Motor yang di Jalan Ketabang Kali, Surabaya. Yang letaknya persis di belakang Liek Motor yang ada di Jalan Walikota Mustajab —satu jalan dengan kantor Harian Disway.

Niat itu ia laksanakan 1 Februari barusan. Hari itu Roy datang ke showroom tersebut. Ia bilang ke karyawan di situ —sekitar 20 orang— untuk pergi. “Saya sudah ambil alih usaha ini,” ujar Roy kepada karyawan.

Mereka tahu siapa Roy: anak juragan mereka. Yang tidak lain adalah dirut mereka di masa lalu. Mereka pun meninggalkan showroom. Roy lantas menutup showroom itu. Menguncinya dengan gembok baru. Yang kuncinya ia pegang semua.

Keesokan harinya, kata Roy, papanya datang ke showroom itu. Gembok Roy dibuka paksa. Lalu dipasangi gembok milik papanya. Hari berikutnya Roy datang ke showroom itu. Ia membongkar paksa gembok papanya. Ia menggantinya dengan gembok baru lagi. Saling gembok terjadi.
Tapi sampai tiga hari kemudian gembok terakhir Roy itu aman. “Berarti papa saya sudah rela showroom ini saya kuasai,” ujar Roy. Sejak itu ia membuka showroom tersebut. Roy mengisinya dengan mobil dagangannya sendiri. Ia pun merasa aman. Ia merasa papanya sudah tidak mempersoalkan lagi.

“Sebentar lagi saya akan ambil alih showroom yang di Jalan Indrapura,” ujar Roy kepada saya. “Dengan cara yang sama?” tanya saya. “Iya,” jawabnya. “Kalau semua showroom milik papa itu Anda ambil, lantas papa akan kerja apa?” tanya saya.

“Liek Motor yang di Jalan Walikota Mustajab tidak akan saya ambil alih. Itu kebanggaan papa. Itu papa yang mendirikan dan papa yang merintis,” kata Roy. “Kalau yang Ketabang Kali dan Indrapura itu saya yang membangun,” ujar Roy. “Bahkan kantor saya dulu ya di Indrapura itu,” katanya.

“Apakah cukup kalau papa hanya menangani 1 bisnis,” tegur saya. “Cukup. Itu besar. Kalau terlalu banyak uang papa nanti dugem lagi,” ujar Roy. Sebagai ayah saya mengelus dada. Kok ada anak seperti itu. Untung anak saya tidak mengambil alih usaha saya. Bahkan saya minta untuk mengurusnya pun mereka tidak mau. Mereka pilih mengurus usaha yang mereka rintis sendiri.

Saya selalu menyarankan kepada teman-teman saya sesama pengusaha. Yang umur mereka seumuran saya. Hendaklah mulai memberikan kepercayaan kepada anak yang sudah besar. Jangan sampai anak yang sudah besar masih dianggap anak kecil.

Sebagian mengikuti saran saya. Atau mereka sendiri memang punya prinsip yang sama. Sebagian lagi tetap saja tidak mau mempercayakan pengelolaan perusahaan kepada anak. Orang punya prinsip sendiri-sendiri.

“Roy…” tanya saya kepadanya “… menurut Anda papa itu sebenarnya sayang Anda atau tidak?\" “Menurut perasaan saya, papa itu sayang saya,” jawabnya tegas. “Mungkin semua kejadian tadi adalah cara papa mendidik saya,” tambahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: