Degdegan Reklame 2024

Degdegan Reklame 2024

YANG kuliah jurusan marketing seharusnya belajar soal ini: Berapa kali dalam sehari kita terekspose iklan. Waktu zaman saya kuliah, mid sampai akhir 1990-an, angkanya sudah mencengangkan. Sehari kita bisa melihat hingga 1.500 iklan. Baik di TV, media cetak, atau reklame outdoor.

Pada 2000-an, angkanya disebut melonjak banyak lagi. Bisa sampai 5.000 per hari. Sekarang? Lebih gila lagi. Katanya sampai 6.000 sampai 10 ribu iklan SETIAP HARI. Ini tentu karena media sosial yang mendominasi, di mana setiap orang adalah medianya sendiri dan pada dasarnya semua pihak beriklan di media sosial masing-masing.

Banyaknya iklan itu tentu memberi tantangan bagi yang melihatnya. Semakin banyak yang berebut perhatian, semakin sulit untuk lekat ke ingatan. Semakin sulit lagi untuk membuat yang melihat melakukan \"eksekusi\" untuk memenuhi tujuan iklan itu.

Terus terang saya tiba-tiba jadi ingat soal jumlah iklan ini gara-gara yang terjadi belakangan.

Pandemi tentu punya efek ke ekonomi. Setiap kali ekonomi tertekan, iklan biasanya ikut ngedrop. Tidak lama lalu, papan-papan reklame di jalan banyak yang kosong. Kecuali belakangan…

Mata kita sekarang sudah langsung diberi pilihan-pilihan untuk 2024. Di satu sisi masih jauh, di sisi lain sebenarnya juga sudah dekat. Entah mengapa, walau termasuk menganggap masih jauh, saya kok jadi degdegan ya.

Mungkin karena begitu melihat pilihan-pilihan itu, saya merasakan sesuatu yang beda dengan tahun-tahun dulu. Sekarang, entah mengapa, saya jadi memikirkan masa depan anak-anak saya.

Serius.

Generasi saya sudah tidak punya pilihan. Sudah harus siap struggle dengan situasi yang sekarang, dan dampaknya dalam beberapa tahun ke depan. Gara-gara pandemi ini, dan segala konsekuensinya, buyar sudah mimpi saya untuk pensiun usia 45 dan traveling keliling dunia (wkwkwkwk). Minimal harus mundur beberapa tahun.

Generasi yang lebih tua dari saya situasinya sama. Generasi yang tak jauh lebih muda dari saya mungkin juga sama. Ya menjalani hidup konsekuensi dari sekarang, konsekuensi dari pilihan-pilihan dalam sepuluh tahun terakhir.

Percuma ngomel. Percuma protes.

Seperti kata George Carlin, komedian favorit saya. Kalau dulu ikut memilih, maka tidak boleh protes. Karena sudah ikut berpartisipasi. Seorang teman dekat saya di Jakarta, lulusan ilmu politik di sebuah universitas besar di Amerika, baru-baru ini mengingatkan saya --dan teman-teman dekat lain-- tentang omongan Carlin itu.

Yang saya pikirkan adalah generasi anak-anak saya, generasi yang dalam sepuluh tahun terakhir, dan minimal lima tahun ke depan, tidak bisa ikut berpartisipasi dalam memilih.

Karena mereka harus menghadapi masa depan yang bukan salah mereka. Yang jadi konsekuensi dari pilihan-pilihan orang tuanya, atau generasi seniornya. Di masa depan, mereka bisa memandang ke belakang, membodoh-bodohkan pilihan-pilihan kita, menyalah-nyalahkan pilihan kita, yang membuat hidup mereka kelak jadi tidak enak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: