KY Enggan Sebut Nama

KY Enggan Sebut Nama

JAKARTA - Komisi Yudisial (KY) segera mengungkap modus para calo dalam proses seleksi Calon Hakim Agung (CHA) yang ramai disebut melibatkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Meski begitu, tidak akan sampai menyebut nama dari anggota dewan itu karena merasa tidak cukup bukti. Anggota DPR yang mencoba \"bermain\" dalam proses seleksi CHA rupanya tidak ceroboh. KY sebagai tim seleksi awal para calon hakim di Mahkamah Agung (MA) sebelum diserahkan kepada komisi III DPR untuk diminta persetujuan itu memang meyakini dan merasakan adanya intervensi dari anggota dewan. Namun sejauh ini, dari beberapa praktik campur tangan oknum parlemen, KY tidak bisa memiliki bukti kuat untuk dijadikan landasan melakukan jerat hukum terhadap pelakunya. \"Saya akan ceritakan kronologinya, tapi tidak akan buka identitasnya. Sangat berbahaya. Karena saya tidak punya bukti satu pun,\" ucap Komisioner KY bidang Hubungan Antar Lembaga, Imam Anshori Saleh, kepada Jawa Pos (Radar Cirebon Group), kemarin. Imam akan menceritakan praktik percaloan itu kepada anggota komisi III DPR dan Badan Kehormatan (BK) DPR dijadwalkan pada Rabu (25/09). Mantan anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini sebenarnya diminta hadir ke gedung parlemen pada Senin hari ini, namun karena kesibukan dia meminta dijadwal Rabu. \"Besok (hari ini) saya ke Surabaya. Saya sih belum ke kantor tapi katanya undangannya sudah ada. Ketua BK DPR juga sudah telepon saya minta kesediaan. Saya katakan Rabu saya bisa,\" ungkapnya. Terkait ketidaksiapannya menyebut nama anggota DPR dimaksud, kata Imam, semata untuk kebaikan semua pihak. Termasuk dirinya sendiri. \"Karena tidak ada bukti itu kalau saya sebut nama, bisa berbalik mereka tuding saya. Ini kan perkara hukum, kalau lempar sesuatu harus ada bukti. Kalau tidak ada bukti bisa berbalik menuntut saya,\" pikirnya. Imam memang pernah ditelepon seseorang yang mengaku sebagai anggota komisi III DPR. Si penelepon meminta supaya komisioner KY meloloskan satu nama dengan iming-iming hadiah Rp1,4 miliar. Uang sejumlah itu maksudnya bisa dibagi kepada tujuh komisioner KY, sehingga masing-masing mengantongi Rp200 juta. namun percakapan telepon saja dinilai Imam belum bisa dijadikan bukti bagi dirinya untuk mengungkap nama pelakunya. Tanpa sebut nama, Imam meyakini pertemuannya dengan DPR tidak akan sia-sia. Yang terpenting, menurutnya, persoalan dalam seleksi CHA bisa diketahui semua pihak dan dilakukan upaya pencegahannya. \"Soal rekrutmen CHA itu kan banyak hal. Perkara (penyuapan) itu hanya salah satu bagian saja,\" katanya. Di luar itu, hari ini KY dijadwalkan mulai memeriksa kebenaran atas dugaan suap yang dilakukan salah seorang CHA berinisial SD. Hakim tersebut disebut-sebut mencoba memberikan uang kepada anggota DPR ketika bertemu di toilet gedung DPR di sela acara fit and proper test yang dilakukan anggota komisi III DPR terhadap 12 CHA terpilih sesuai rekomendasi KY. Pemeriksaan awal akan dilakukan kepada seorang wartawan yang kali pertama melihat dugaan praktik suap itu karena pandangannya melihat hakim SD memberikan lipatan kertas dan sempat diduga amplop kepada anggota komisi III DPR. Belakangan keduanya sempat membantah. Memang terjadi komunikasi tetapi dinyatakan bahwa anggota komisi III DPR itu sebatas menanyakan CHA mana saja yang karir dan non karir. Namun Imam menilai pertanyaan seperti itu juga patut dipertanyakan. \"Hari pertama besok (hari ini) wartawannya dulu. Besoknya anggota DPR terkait dan hakimnya biasanya terakhir,\" tuturnya. Terkait uji kepatutan dan kelayakan CHA di DPR sebetulnya sedang dikaji di Mahkamah Konstitusi (MK). Para pemohon judicial review atas ketentuan itu meminta kata \"dipilih\" dan \"pemilihan\" dalam Pasal 8 ayat (2), (3), (4) UU No.3 Tahun 2009 tentang MA dibatalkan oleh MK. Para pemohon yang terdiri atas tiga orang CHA yang pernah gagal dalam seleksi itu; Dr Made Darma Weda, Dr RM Pangabean, dan Dr Laksanto Utomo, juga meminta agar MK membatalkan klausul logika tiba banding satu CHA seperti tertuang dalam pasal 18 ayat (4) UU nomor 18 tahun 2011 tentang KY. \"Kalaupun harus melalui DPR sebaiknya DPR tidak menyeleksi lagi tetapi sekadar menyetujui. Sehingga logika tiba banding satu itu tidak ada, tidak seperti sekarang. Sudah diseleksi ketat oleh KY tetapi diseleksi lagi oleh DPR dalam waktu singkat,\" ucap Erwin Natosmal Oemar, anggota Koalisi Masyarakat untuk Peradilan Profesional, selaku kuasa hukum atas tiga pemohon gugatan ini, kemarin. Erwin mengatakan sidang atas pengujian UU MA dan UU KY terkait pasal CHA itu sudah selesai dan tinggal menunggu pembacaan putusan oleh MK. Atas dasar itu pihaknya meminta DPR menunda sementara proses seleksi CHA sampai putusan MK dibacakan. \"Sebaiknya DPR menunda dulu hasil fit and proper test-nya sampai putusan MK keluar,\" pintanya. Erwin menyatakan, kewenangan DPR terlalu besar dalam melakukan seleksi uji kelayakan dan kepatutan, termasuk dalam pemilihan CHA. Dalam aturan konstitusi, DPR hanya diberikan wewenang memberikan persetujuan. Namun, isi UU yang ditetapkan DPR ternyata melebihi proses memberikan persetujuan. \"Terlihat upaya DPR yg mencoba memperluas kekuasaan. Sehingga fungsi representasi tidak berjalan, check and balances tidak berjalan,\" ujarnya. Erwin menyatakan, dalam konteks seleksi hakim agung, terlihat bahwa DPR memiliki kewenangan memilih. Padahal aturan konstitusi tidak sejauh itu. Di dalam teori pemilihan jabatan publik, ada pemilihan, persetujuan, dan pertimbangan. Proses pemilihan di DPR adalah terkait Panglima TNI dan Gubernur BI,\" ujarnya menjelaskan. Dalam mekanisme pemilihan, lanjut Erwin, diatur bahwa KY harus menyerahkan komposisi tiga nama berbanding satu, sebagai mekanisme seleksi di DPR. Erwin menyatakan, tidak ada logika bahwa KY harus menyerahkan nama melebihi kebutuhan CHA. (gen/bay)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: