PDIP Jajuli
“Sebenarnya, waktu itu, saya mendapat beasiswa ke Madinah, Arab Saudi. Ayah saya tidak mengizinkan,” ujar Kiai Jazuli. “Beliau takut saya menjadi penganut paham Wahabi,” ujarnya.
Ia dapat tawaran beasiswa lagi: kuliah di Qom, Iran. “Ayah saya juga tidak setuju. Beliau takut saya menjadi penganut Syi’ah,” katanya.
Dua tahun kemudian barulah ia mendapat beasiswa ke Mesir. Ayahnya petani di desa kaki Gunung Ceremai itu. Tidak bisa membekali biaya yang cukup. Ia punya bekal lain yang lebih dari cukup: modal tirakat. Berani sengsara. Tidak takut menderita.
Ia sudah dibiasakan berpuasa setiap hari. Dalam setahun ia hanya enam hari tidak berpuasa. Yakni di hari-hari yang oleh agama dilarang berpuasa. Salah satunya di hari raya Idul Fitri.
Orang-orang pondok pesantren biasa tirakat seperti itu. Harus bisa menjalani hidup susah. Salah satu tanda kelulusannya di Lirboyo adalah: jalan kaki, tanpa bekal uang, ke seluruh makam Walisongo.
Perjalanan dimulai dari Kediri ke Surabaya: makam Sunan Ampel. Lalu ke Bangkalan, Madura: ke makam Kiai Kholil yang disetarakan dengan wali. Terus ke Gresik, Tuban, Rembang, Jepara, Kudus, Demak, dan berakhir di makam Sunan Gunung Jati, Cirebon. Itu sudah lebih dekat ke kampungnya sendiri.
Sepanjang perjalanan ia boleh menerima tawaran bermalam di masjid atau rumah siapa saja. Termasuk menerima makanan. Tapi tidak boleh menerima tawaran dibonceng sepeda motor maupun tumpangan mobil.
Di Mesir pun Jazuli mencari tempat tinggal yang tidak pakai uang: jadi penunggu kantor. Tidur di kantor itu. Mengerjakan apa saja di situ: di kantor NU cabang Mesir.
Semua santri di Bina Insan Mulia juga puasa setiap hari. Tidak peduli anak siapa. Pun yang di Kampus 2. Sampai tidak ada perasaan bahwa puasa itu berat –karena sudah biasa.
Pesantren ini memang punya dua kampus. Sama-sama di pelosok desa itu. Sama-sama lewat jalan sempit. Juga sama-sama mempertahankan suasana pedesaan. Bedanya, di Kampus 2 itu, setiap kamar diisi 20 santri. Luas kamar 9×9 meter. Ada 10 tempat tidur bertingkat di situ. Pakai AC.
Di Kampus 2 juga dilengkapi kafe: di tengah halaman. Itulah kafe bus tingkat. Seperti bus wisata di kota Paris –yang tanpa atap itu. Bodi bus beneran, warna warni, ditaruh di situ. Juga dilengkapi kolam renang.
Di Kampus 2 itu kelasnya sudah smart class –mengadopsi sistem dari Australia.
Sedang di Kampus 1, satu kamar diisi 25 orang, masing-masing dapat satu kasur di lantai. Kamar itu, di siang hari, untuk kelas. Lebih 2.500 santri di kampus satu ini.
Jazuli ingin mengembangkan pesantren internasional dengan ciri khas Indonesia. Bukan internasional yang kebarat-baratan atau ke Arab-araban.
Cara itu tentu dinilai sebagai pemberontakan terhadap sistem di mainstream NU. Ia tidak peduli. Ia begitu ingin umat Islam berorientasi ke kemajuan. Ke masa depan. Termasuk dalam melihat semua hal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: