Perjalanan Dahlan Iskan ke Sekolah Petani Kampar

Perjalanan Dahlan Iskan ke Sekolah Petani Kampar

MENTERI BUMN Dahlan Iskan sebenarnya berkunjung ke Pekan Baru hanya untuk dua hal. Pertama, menghadiri peluncuran buku “Ombak Sekanak” dan “Rose” karya Rida K Liamsi. Kedua, ikut memecahkan rekor MURI Tari Melayu bersama 22.000 masyarakat Pekan Baru. Dua acara itu telah berakhir. Peluncuran buku berlangsung di Hotel Aryaduta, Pekan Baru, Sabtu (12/10) malam. Tari Melayu terlaksana Minggu (13/10) pagi. Pada pukul 10.00, tidak ada agenda kegiatan lagi, selain menunggu pesawat Citilink yang akan mengantar Dahlan menuju Batam untuk selanjutnya meneruskan perjalanan ke Surabaya. Mendadak Dahlan ingat janjinya pada Jefry Nur, Bupati Kampar, beberapa bulan silam. “Saya punya utang pada Pak Bupati, untuk singgah ke Kampar melihat sekolah para petani,” kata Dahlan saat menerima undangan Riau Pos yang menjadi organizer peluncuran buku dan tari Melayu massal itu, pekan lalu. Maka, rencana kunjungan Dahlan ke sekolah para petani itu pun disampaikan ke Jefry Nur. Bak gayung bersambut, Jefry Nur girang bukan main mendapat kabar rencana kunjungan Dahlan itu, walau hanya bisa maksimal tiga jam saja. Sebagai wujud rasa senang, Jefry Nur mengundang seluruh alumni sekolah itu, yang kini tersebar di hampir semua wilayah pedesaan di Kabupaten Kampar. Sekitar 3.000 alumni hadir di sekolah petani yang berdiri di atas lahan seluas 13 hektar itu. “Inilah alumni sekolah petani yang kami kembangkan dan telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Para alumni sangat senang menyambut kehadiran Pak Menteri,” ucap Jefry dengan bangga saat menyambut kehadiran Dahlan. Jefry tidak mau dianggap ngecap. Karena itu, dia minta salah satu alumni sekolah petani yang telah berhasil. “Siapa yang bercerita pengalamannya?” tanya Jefry yang disambut oleh Muslim, petani berusia 33 tahun perantauan asal Medan, Sumatera Utara. “Sepuluh tahun lalu, saya merantau ke Kampar. Kami ini petani miskin. Anak tiga orang, pendapatan rata-rata Rp 1,2 juta per bulan,” kata Muslim mengawali kisahnya. “Segala cara kami lakukan agar kehidupan keluarga kami menjadi lebih baik. Tetapi kegagalan demi kegagalan terus kami alami. Kerja keras saja tidak cukup. Petani butuh ilmu juga untuk menjadi sukses,” kata Muslim. “Bulan Desember 2012, saya mendengar pengumuman bahwa Pemda Kabupaten Kampar membuka pendaftaran sekolah bagi para petani secara gratis. Saya mendaftar di bidang pertanian, sesuai keahlian saya,” lanjut Muslim. Setelah 15 hari belajar, Muslim kembali ke desanya. “Sesuai arahan pembimbing, saya kemudian membentuk kelompok tani bersama lima orang teman. Kami membuat proposal proyek pertanian cabai merah keriting. Setelah dinilai bank, akhirnya kami mendapat pinjaman modal masing-masing Rp 30 juta,” jelas Muslim. Dengan modal Rp 180 juta, mereka berenam menggarap 3 hektare sawah dengan supervisi “dosen” sekolah petani yang semuanya alumni Institut Pertanian Bogor. “Panen perdana, kami memperoleh 48 ton yang dijual dengan harga Rp 30 ribu per kilogram dengan penjualan Rp 1,4 miliar,” jelas Muslim. “Pinjaman bank yang seharusnya setahun, sudah lunas. Kami dan teman-teman sekarang sudah memperluas lahan cabai di sela-sela tanaman sawit seluas 6 hektar yang akan panen bulan Desember nanti. Insya Allah, hasilnya lebih besar lagi,” jelas Muslim bersemangat. Berkat ilmu dari sekolah petani itu, dalam tempo kurang dari setahun, Muslim dan kawan-kawan telah berhasil meningkatkan taraf hidupnya dari petani miskin menjadi keluarga yang cukup. “Saya sekarang bisa membeli sebuah mobil baru. Saya sudah memimpikan punya mobil sejak 5 tahun lalu. Agar selalu ingat, saya pasang foto mobil idaman itu di dinding musala. Alhamdulillah, sekarang sudah terwujud. Sebagai rasa terima kasih, saya bawa mobil itu ke rumah Pak Jefry Nur sebagai bukti bahwa sekolah petani ini sungguh luar biasa manfaatnya,” lanjut Muslim dengan nada haru. Dahlan yang mendengar penjelasan Muslim semakin penasaran untuk mengetahui bagaimana model pendidikan di sekolah petani itu. “Saya ke sini sebenarnyauntuk membuktikan cerita Pak Bupati Kampar beberapa bulan lalu tentang sekolah petani ini. Saya takut, cerita Pak Bupati itu hanya dongeng saja. Sebab sekarang banyak yang hanya senang bercerita tetapi tidak mengerjakan apa-apa,” kata Dahlan yang disambut tawa para alumni. “Apa rahasia keberhasilan Anda?” tanya Dahlan kepada Muslim. “Niat yang sungguh-sungguh Pak. Tengah malam salat tahajjud. Pagi hingga petang kerja, kerja dan kerja,” kata Muslim dengan mantap. Dahlan setuju bahwa sungguh-sungguh adalah rahasia keberhasilan seseorang. Tetapi sungguh-sungguh pada setiap orang tidak sama kadarnya. “Sungguh-sungguh itu ibarat emas, ada yang 18 karat, ada yang 20 karat, ada yang 22 karat, ada yang 24 karat. Pak Muslim ini pasti kadar sungguh-sungguhnya 24 karat,” komentar Dahlan. MENTERI BUMN Dahlan Iskan benar-benar kagum mendengar success story Muslim. Bagaimana tidak? Selama 10 tahun, Muslim sudah membanting tulang menjadi petani, tetapi kesejahteraannya tak kunjung membaik. Sekarang, dengan belajar 15 hari di sekolah petani, Muslim mendadak menjadi warga yang berkecukupan. Masa pendidikan di sekolah petani Kampar ini memang hanya berlangsung 15 hari. Selama itu, para siswa memperoleh berbagai pengetahuan pertanian yang diajarkan melalui teori dan praktik dengan komposisi 30 : 70. “Petani itu bukan jenis orang yang senang diceramahi. Harus banyak praktiknya,” jelas Bupati Kampar Jefry Nur. Selepas pendidikan, siswa yang lulus mendapat sertifikat. Dengan sertifikat itu, petani bisa mengajukan kredit melalui bank perkreditan rakyat (BPR) dengan pola bisnis perbankan yang umum. “Jadi, ini bukan model kredit usaha tani atau KUT. Ini skemanya bisnis biasa. Peran sekolah ini adalah memberi pengetahuan bagaimana bisa menjadi petani yang punya ilmu untuk lebih berhasil,” jelas Jefry. Ilmu pengetahuan. Itulah kata kuncinya. “Pak Muslim berhasil mengubah taraf hidupnya dengan sangat cepat karena ilmu pengetahuan yang diperolehnya dari sarjana IPB yang mengajar di sekolah petani,” komentar Dahlan. Bila semua petani berkesempatan menimba ilmu di sekolah petani Kampar seperti Muslim, Dahlan sangat yakin taraf hidup petani di seluruh Indonesia akan segera membaik. “Ini program kerja yang konkrit,” jelas Dahlan. Dahlan mengaku sangat bangga dengan makin banyaknya petani yang pintar-pintar di Indonesia. “Saking pintarnya para petani kita, sampai-sampai kita krisis kedelai,” tutur Dahlan yang disambut tawa riuh ribuan alumni sekolah petani Kampar. Mengapa petani yang makin pintar menyebabkan krisis kedelai? “Karena petani sekarang bisa membanding-bandingkan, tanam ini hasilnya sekian. Tanam itu hasilnya lebih baik. Tanam yang lain, hasilnya rugi. Hanya petani pintar yang memiliki pengetahuan ini,” jelas Dahlan. Petani yang pintar, kata Dahlan, pasti tidak mau menanam kedelai lagi. Mengapa? “Karena berdasarkan hitung-hitungan bisnis, satu hektar sawah bila ditanami kedelai hanya bisa menghasilkan uang Rp 7 juta. Sedangkan bila ditanami padi, satu hektar sawah menghasilkan uang Rp 20 juta. Bila ditanami cabai, Pak Muslim bisa menghasilkan lebih dari Rp 400 juta per hektar,” lanjut Dahlan. Keengganan petani menanam kedelai itu, kata Dahlan, bisa menimbulkan problem besar yang cukup berbahaya. Tapi, di sisi lain, sikap petani itu telah berhasil mengangkat derajat kehidupannya dari warga miskin menjadi sejahtera. “Itu sebuah konsekuensi logis yang harus dihadapi bersama,” kata Dahlan. “Coba saja kita rayu Pak Muslim untuk musim tanam yang akan datang menanam kedelai saja. Saya yakin Pak Muslim tidak mau. Jangankan dirayu, dipaksa pun dia tidak akan mau,” kata Dahlan. Karena petani semakin banyak yang pintar, aparat pemerintah dituntut untuk belajar agar bisa mengimbangi dinamika masyarakat pertanian. Kalau aparat pemerintah tidak berusaha untuk lebih pintar, petani akan tetap malas menanam kedelai. Produsen tempe akan terus kesulitan mendapatkan bahan baku. “Kalau sekolah petani di Kampar ini bisa menjadi model di seluruh Indonesia, alangkah cepatnya pembangunan di pedesaan kita,” kata Dahlan. Siapa berani mencoba?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: