Dian Ciputra

Dian Ciputra

Suatu hari Dian naik sepeda memboncengkan temannya, sesama siswi SMA Susteran. Dari arah berlawanan Ciputra diboncengkan sepeda oleh temannya. Sesama cowok siswa SMA Don Bosco. Si teman itulah yang sebenarnya yang menaksir Dian.

Sepeda itu tabrakan. Atau ditabrakkan. Entahlah. Yang jelas, dua cowok itu punya alasan untuk berkenalan dengan dua cewek dari SMA yang berbeda itu.

Anehnya, justru Dian lebih tertarik pada si pemilik wajah yang lebih jelek: Ciputra. Padahal, waktu itu Ciputra anak janda miskin. Ayahnya sudah lama ditangkap Jepang: dituduh jadi mata-mata Belanda. Sejak ditangkap itu, sang ayah tidak pernah kembali —sangat mungkin sudah mati dibunuh Jepang.

Dian asli Manado —setidaknya lahir di Manado, besar di Manado. Dia sendiri merasa sebagai orang Tionghoa Manado.

Sedangkan Ciputra lahir di kota kecil Parigi —di leher ceking Pulau Sulawesi: jauh dari Palu, jauh pula dari Gorontalo.

Sebelum SD, Ciputra sudah diajak ibunya mengungsi ke utara. Ke Desa Bumbulan. Itulah desa di dekat Pantai Tomini, yang masuk Kecamatan Paguat.

Anda tentu masih ingat Paguat: pusat bisnis investasi online yang merugikan ribuan investor yang dijalankan seorang polisi berpangkat letnan dua kapan itu (Disway xxx).

Di Desa Bumbulan tersebut Ciputra tumbuh sebagai remaja. Teman terbanyak masa kecilnya ada di desa itu.

Kelak, ketika sudah jadi konglomerat, Ciputra naik helikopter ke Desa Bumbulan: menemui semua teman kecilnya, membagikan uang kepada mereka, dan membangunkan rumah bagi yang termiskin. Termasuk membangun pula gereja di situ. Lalu, naik helikopter lagi ke kota kecil Parigi —tempat kelahirannya.

Itulah untuk kali pertama Ciputra ke desa itu, dan ke tempat kelahirannya itu, sejak meninggalkannya. Dan ternyata itu juga untuk kali terakhir.

Baru ketika harus masuk SMA, Ciputra ke Manado. Masuk SMA Don Bosco. Sampai akhirnya tabrakan sepeda itu.

Zaman itu hubungan Dian-Ciputra jadi gosip hebat di sana. Kok mau-maunya: Dian yang begitu cantik berpacaran dengan anak janda miskin, tidak ganteng pula. Padahal, yang gagah nan kaya mengantrenyi.

Umur Dian-Ciputra hanya selisih kurang dari enam bulan. Mereka tidak bisa dipisah lagi. Ketika Ciputra berangkat kuliah ke ITB, Bandung, Dian juga meninggalkan Manado: ke Surabaya. Sekolah farmasi.

Lalu, menyusul Ciputra ke Bandung. Kawin di Bandung. Ayah-ibu Dian tidak bisa hadir: tidak ada biaya ke Jawa. Demikian juga ibunda Ciputra.

Ketika Ciputra kuliah, Dian-lah yang bekerja. Yakni, di sebuah perusahaan Belanda di Bandung. Dian fasih berbahasa Belanda. Saat kecil, Dian memang sekolah SD Belanda (HIS). Lalu, masuk SMP Belanda (MULO). Diteruskan ke SMA Susteran —pengganti SMA Belanda yang tidak diperbolehkan lagi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: