Tuding BPN sebagai Badan Percaloan Nasional

Tuding BPN sebagai Badan Percaloan Nasional

KUNINGAN – Buruknya kinerja Badan Pertanahan Nasional (BPN) selama ini mendapat tudingan miring dari masyarakat Kuningan. Bahkan sebagian orang memelesetkan kepanjangan BPN menjadi badan percaloan nasional. Pasalnya, praktik percalonan diduga masih tumbuh subur di lingkungan instansi vertikal tersebut. Pantauan Radar kemarin (24/10), puluhan aktivis Pembela Kesatuan Tanah Air (Pekat) Kuningan melancarkan aksi damai. Dengan mendatangi langsung kantor BPN, mereka mempertanyakan kinerja BPN yang dinilainya buruk. “Sebetulnya kami sejak kemarin (23/10) datang ke sini. Kami ingin tahu sejauh mana kerja pegawai BPN yang berstatus PNS. Tapi ketika kami tanyakan, pihak terkait selalu di lapangan. Kalau begitu kapan ngabsennya? Kalaupun di lapangan kan PNS harus ngabsen,” ketus Sekretaris Pekat Kuningan, Nana Mulyana Latif. Sama halnya dengan kepala BPN, ketika ia menanyakan ke sekuriti selalu dijawab tidak ada di kantor. Kondisi seperti itu sudah barang tentu membuatnya merasa heran. Padahal banyak hal yang perlu ditanyakan kepada para pejabat strategis di BPN tersebut. “Makanya hari ini (kemarin, red) kami datang kembali ke sini. Ini hanya sekadar aksi simpatik saja tanpa ada orasi dan teriakan-teriakan,” terang Nana diamini Ketua Pekat, H Dudung Mundjadji. Disebutkan, banyak persoalan tentang sertifikat tanah yang dialami warga. Biasanya pembuatan sertifikat tersebut membutuhkan waktu yang lama. Lain halnya ketika melalui calo, pembuatan sertifikat malah bisa dilaksanakan dengan cepat. Selain itu, pada program prona yang mestinya sertifikasi tanah warga berlaku secara cuma-cuma, tetap dipungut biaya. Besarannya kisaran Rp300 ribu sampai Rp500 ribu. Konon uang tersebut dialokasikan untuk materai dan patok. “Materai sama patok kok bisa semahal itu. Ini jelas menyimpang dari hakikat prona yang gratis,” ketusnya. Di samping dipungut biaya, pembuatannya pun membutuhkan waktu yang sangat lama. Banyak kejadian warga belum menerima sertifikat, meski sudah menunggu sampai dua tahun. Persoalan tersebut, menurut Nana, tidak boleh dibiarkan. Sebab masyarakat Kuningan mengalami kerugian dari buruknya pelayanan. “Contoh kejadiannya di Desa Cihaur Ciawigebang, dan sejumlah desa lain. Pokoknya banyak. Bahkan tadi saya melihat kakek yang menanyakan kenapa sampai dua tahun sertifikat belum jadi,” ucap Nana. Diakuinya, terdapat seorang pejabat dari BPN yakni Kasi Ukur yang menjawab semua pertanyaan dari aktivis Pekat. Namun jawabannya dianggap tidak memuaskan. Satu contoh ketika ditanya lamanya waktu pembuatan sertifikat, malah memberikan jawaban yang tidak relevan.   “Katanya begini, lamanya waktu bisa karena kurangnya syarat dan uangnya kepakai sama yang mengajukan. Kalau begitu, BPN membiarkan praktik percaloan dong. Maka wajar kalau kami menyebutkan badan percaloan nasional,” tandasnya. Ketika Radar hendak mengonfirmasikan kepala BPN, salah seorang sekuriti menyebutkan kepala BPN tidak ada di kantor. Pejabat yang dapat mewakilinya pun tengah menghadapi tamu dari kepolisian dan kodim. Dia meminta wartawan untuk menunggu, namun tak kunjung ada konfirmasi.(ded)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: