Sejarah Kelam Makam Buyut Bakom di Desa Singkup Japara, Santri Asal Jawa Tengah Dieksekusi di Abad ke-17
Makam keramat Buyut Bakom di Desa Singkup, Kecamatan Japara, Kabupaten Kuningan. Foto:-Agus Sugiarto-Radarcirebon.com
Dari cerita yang diperolehnya, kejadian tragis yang menyebabkan hilangnya nyawa Santri Bakom diperkirakan berlangsung pada Abad ke 17.
Alkisah, kata Jojo, di kisaran abad ke-17, Desa Peundeuy Raweuy (sekarang Desa Japara) dan desa lainnya sudah memeluk Agama Islam dan berada di bawah kekuasaan Kesultanan Cirebon. Desa Peundeuy Raweuy adalah desa tetangga Singkup.
BACA JUGA:KEREN, 8 Modifikasi Mobil Listrik Wuling Edisi Khusus, Model Mobil Pemadam Kebakaran Pun Ada
Dan sudah menjadi kewajiban pada masa itu, setiap kuwu melaksanakan tugur (piket) di Kasepuhan Cirebon, yang lamanya tiga bulan dalam setiap tahun.
Demikian juga Kuwu Desa Peundeuy Raweuy, mendapat giliran untuk melaksanakan kewajiban piket di Keraton Kasepuhan Cirebon.
Pada saat kuwu akan berangkat, datanglah seorang laki-laki pengembara yang berasal dari Jepara, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
Pria yang diketahui seorang santri tersebut datang ke Desa Peundeuy Raweuy bermaksud bermalam, usai dirinya belajar mengaji dari daerah Ciamis.
Melalui musyawarah dengan para tokoh masyarakat, diputuskanlah santri tersebut untuk bermalam di rumah kuwu. Sekaligus untuk menjaga keluarga kuwu selama tugas piket di Cirebon.
Usai bertugas tiga bulan, Kuwu Peundeuy Raweuy kembali ke desanya, dan sesampainya di rumah, kuwu terkejut melihat istrinya yang sudah berbadan dua.
"Pada saat mau berangkat ke Cirebon, Kuwu Peundeuy Raweuy tidak menyadari kalau istrinya sedang hamil," paparnya menirukan cerita dari leluhurnya
Tidak mengetahui istrinya sedang hamil saat berangkat piket, membuat kuwu menuduh santri tersebut telah berbuat yang tidak senonoh terhadap istrinya.
BACA JUGA:MAKIN GENCAR Kampanye Mobil Listrik Wuling Air EV Cocok untuk Harian, Cek Lagi Harganya di Sini
Tuduhan kuwu yang merupakan sebuah aib, tidak bisa diterima oleh santri karena memang santri tidak merasa berbuat seperti yang dituduhkan kuwu.
Karena merasa difitnah oleh kuwu, untuk membuktikan kebenaran, santri tersebut rela dieksekusi dengan cara dipotong lehernya di hadapan warga.
"Jika darah saya keluar merah berarti saya salah, tetapi kalau darah yang keluar putih, berarti saya tidak berbuat yang dituduhkan kuwu," ungkap Jojo menirukan perkataan santri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: