Lewat Surat Edaran, Mahkamah Agung Larang Hakim Catat Pernikahan Beda Agama

Lewat Surat Edaran, Mahkamah Agung Larang Hakim Catat Pernikahan Beda Agama

Hakim dilarang mengabulkan pencatatan pernikahan beda agama.-Narcis Ciocan-Pixabay

JAKATA, RADARCIREBON.COM – Sesuai dengan Surat Edaran (SE) MA nomor 2 Tahun 2023, Mahkama Agung (MA) larang hakim untuk mencatat pernikahan beda agama.

Isi SE MA tersebut tentang petunjuk bagi hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Perkawinan Antar-Umat Beragama yang berbeda Agama dan Kepercayaan.

Dalam SE tersebut, Hakim dilarang untuk mengabulkan permohonan pencatatan pernikahan beda agama.

SE yang ditandatangani Ketua MA Muhammad Syarifuddin pada Senin 17 Juli 2023 itu berbunyi, untuk memberikan kepastian dan kesatuan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antarumat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan. Para hakim harus berpedoman pada ketentuan.

BACA JUGA:Sisa Masa Jabatan Tinggal 7 Minggu Lagi, Ridwan Kamil Pamit ke Warga Cirebon Timur

Hal ini sesuai Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Poin 2 SE MA tersebut berbunyi;Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antarumat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan.

Dalam SE tersebut, dikatakan perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.

MA meminta pengadilan merujuk pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

BACA JUGA:Ada Pernyataan Bijak dari Susno Duadji Terkait Polemik Panji Gumilang dan Al Zaytun, Silahkan Simak!

SE itu juga ditembuskan kepada Wakil Ketua Mahkamah Agung RI Bidang Yudisial, Wakil Ketua Mahkamah Agung RI Bidang Non Yudisial, Para Ketua Kamar Mahkamah Agung RI, dan Para Pejabat Eselon I di lingkungan Mahkamah Agung RI.

Adapun isi SE Mahkama Agung tersebut yakni;

Untuk memberikan kepastian dan kesatuan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antarumat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan, para hakim harus berpedoman pada ketentuan sebagai berikut:

1. Perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu, sesuai Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8 huruf f UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

BACA JUGA:Panglima TNI Laksamana Yudo Margono Minta Panji Gumilang Segera Dihukum Mati, Kapuspen: Hoax

2. Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar umat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan.

Hal itu menyikapi sejumlah pengadilan mengabulkan permohonan pencatatan nikah beda agama berdasarkan UU Adminduk.

UU itu pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dibatalkan tapi ditolak.

Berikut pertimbangan MK tersebut:

BACA JUGA:PWI Jabar Gelar UKW di Cirebon, Ridwan Kamil: Penting Bagi Wartawan Agar Bisa Naik Kelas

Pasal 34 UU 23/2006 menegaskan bahwa setiap warga negara yang telah melangsungkan perkawinan sah menurut peraturan perundang-undangan, berhak mencatatkan perkawinannya pada kantor catatan sipil bagi pasangan yang beragama non-Islam, dan di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi pasangan beragama Islam.

Jaminan pencatatan perkawinan bagi setiap warga negara juga dapat dilakukan terhadap perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan.

Meskipun dalam penjelasannya dijelaskan yang dimaksud perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan, adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama, menurut Mahkamah bukan berarti negara mengakui perkawinan beda agama karena negara, dalam hal ini mengikuti penafsiran yang telah dilakukan oleh lembaga atau organisasi keagamaan yang memiliki otoritas mengeluarkan penafsiran.

BACA JUGA:Analisa BMKG: El Nino dan IOD Berkolaborasi untuk Membuat Musim Kemarau Tambah Kering

Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran maka lembaga atau organisasi keagamaan dari individu tersebut yang berwenang menyelesaikannya.

Sebagai sebuah peristiwa kependudukan, kepentingan negara, in casu pemerintah, adalah mencatat sebagaimana mestinya perubahan status kependudukan seseorang sehingga mendapatkan perlindungan, pengakuan, status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan tersebut termasuk dalam hal ini pencatatan perkawinan yang dilakukan melalui penetapan oleh pengadilan. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: reportase