Adang: Golput Hukumnya Mubah

Adang: Golput Hukumnya Mubah

CIREBON-Menjelang Pemilu 2014 ini sejumlah kalangan banyak bersikap mengenai fenomena golongan putih (golput). Ada yang \"menggiring\" sebagai pelanggaran pidana, namun ada yang menganggap wajar sebagai bentuk pilihan dengan \"tidak memilih\" tersebut. Menurut Ahli Hukum Islam Instutu Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon Prof. Dr. H. Adang Djumhur Salikin, M.Ag, KPU dan Panwaslu paling bertanggungjawab atas partisipasi masyarakat dalam Pemilu 2014. Terkait, kecenderungan rakyat untuk tidak memilih karena jengah. \"Toh, pemilu tidak membawa perubahan justru melahirkan para koruptor. Elit-elit partai politik banyak yang terlibat dalam korupsi maka kemudian melahirkan apatisme di tengah masyarakat,\" ujar Ahli Hukum Islam di sela-sela acara Partisipasi dalam Pemilu 2014 menurut Perspektif Islam, Komplek Masjid Raya At Taqwa, Kota Cirebon, Kamis (27/2). Lebih lanjut, Adang menambahkan, tahun 2009, fenomena golput sudah cukup kuat maka MUI mengeluarkan fatwa \"Golput Haram dan Umat Islam Wajib Memilih dalam Pemilu\". Ternyata, fatwa tersebut, tidak signifikan untuk mengerem laju golput. \"Dalam perspektif Islam golput hukum asalnya boleh. Apapun di dunia ini hukum asalnya mubah, termasuk golput. Tetapi, hukum golput ini bisa bergeser tergantung niat dan dampak yang diakibatkannya,\" imbuhnya. Secara terpisah, persoalan golput, Ketua KPU Kota Cirebon Emirzal Hamdani menyatakan, golput bukan urusan KPU. \"KPU tetap dari sisi teknis itu adalah tanggung jawab KPU. Jika masyarakat tidak tahu hari H dan tidak tahu tata cara memilih yang benar sehingga rendah partisipasi pemilih adalah tanggung jawab KPU. Tetapi, golput karena ideologi, masyarakat sudah bosan dengan janji-janji partai politik dan caleg, sudah diluar kewenangan KPU,\" pungkasnya kepada Radarcirebon.com. Sebelumnya, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Marciano Norman menilai Pemilu 2014 menjadi momen yang rentan dimanfaatkan oleh kaum separatis maupun radikalis. Bahkan hingga saat ini dari pantauan intelijen, tingkat kerawanan meningkat di sejumlah daerah, termasuk upaya separatis menyuarakan golput atau tidak menggunakan hak memilih di pemilu. Demikian disampaikan Marciano di Balai Sidang Senayan, Jakarta, lima belas hari lalu. Seperti biasa, KontraS mengeluarkan pernyataan keprihatinan dengan pernyataan dari pejabat-pejabat Bawaslu, Polri dan BIN yang menyatakan bahwa Golput dapat dipidana. \"Larangan untuk Golput sebagaimana yang dilakukan oleh Bawaslu, Polri dan BIN justru merupakan pelanggaran hukum sebagaimana diatur diatas. Kami khawatir ada pihak-pihak yang ingin menunggangi Pemilu kali ini dan mulai menunjukan sikap anti demokrasinya,\" ujar Badan Pekerja KontraS, Koordinator Haris Azhar melalui selular kepada Radarcirebon.com, Kamis, (27/2) Dalam pandangan KontraS, ‘Golongan Putih’ atau ‘Golput’ adalah suara abstain di pemungutan suara. Mekanisme Abstain atau tidak memilih dikenal secara resmi ataupun secara faktual. Perserikatan Bangsa-Bangsa, dimana Indonesia menjadi anggotanya, mengenal hasil Abstain dari setiap voting. Di ASEAN, Abstain seringkali secara faktual berarti tidak setuju pada hasil mufakat. Oleh karenanya larangan untuk Golput dan penganjur-penganjurnya adalah sebuah tindakan anti demokrasi dan anti rule of law. Sebagaimana UU Pemilu menyatakan bahwa yang dilarang adalah tindakan pemaksaan, yang dalam konteks Pemilu, pemaksaan memilih atau tidak memilih. Dalam pasal 308 Undang-undang No 8 tahun 2012 tentang Pemilu dikatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan, dan/atau menghalangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih, melakukan kegiatan yang menimbulkan gangguan ketertiban dan ketenteraman pelaksanaan pemungutan suara, atau menggagalkan pemungutan suara dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) Maka jelas yang dibutuhkan informasinya adalah bentuk pemaksaan atau pengaruh-pengaruh negatif, seperti politik uang alias suap dan jual-beli suara, intimidasi dan teror terhadap simbol-simbol partai politik sebagaimana yang terjadi di Aceh, atau menghalangi berekspresi dan menunjukan pilihannya.(wb)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: