Kasus Tipikor Bisa “Dikesampingkan”
KEPALA Kejaksaan Negeri (Kajari) Cibinong, Kabupaten Bogor, Mia Amiati kembali sukses meluncurkan buku keduanya yang berjudul “Memaknai Kepentingan Umum dalam Oportunitas Jaksa Agung”. Buku pertamanya yang berjudul “Perluasan Penyertaan dalam Tindak Pidana Korupsi Menurut UNCATOC 2OOO dan UNCAC 2OO3,”sukses diluncurkan tahun lalu. Peluncuran buku kedua yang dibuat Mia bertempat di Hotel Lorin, Sentul, Kecamatan Babakanmadang, Bogor. Acara itu sekaligus merayakan hari ulang tahun wanita kelahiran Kuningan 4 Maret 1965 tersebut. Mia menjelaskan, pada buku yang keduanya sangat berbeda dengan buku pertama yang diluncurkan tahun lalu. Jika pada yang pertamanya merupakan disertasi doktoral di Fakultas Hukum Unpad, sementara buku keduanya merupakan hasil temuan dan analisis di lapangan di mana tempat dirinya bekerja. Menurut Mia, dirinya sengaja hasil disertasinya dibukukan, agar dapat menjadi referensi orang lain. Ia berharap buku pertamanya tersebut dapat diaplikasikan untuk penanganan tindak pidana korupsi ke depan. “Karena dapat dibaca orang banyak, ilmu dapat ditularkan,” kata dia. Lebih detail Mia menjelaskan, ide dasar buku keduanya terkait pelaksanakan penangan perkara di kejaksaan, oleh penyidik kasus tersebut dinaikkan menjadi tuntutan karena tindakan pelaku dinilai merugikan negara. “Namun yang bersangkutan (pelaku, red) merupakan tokoh masyarakat dan sudah mengabdi pada negara sudah sekian lama,” papar dia. Menurut Mia, meski sudah ada asas oportunitas, kasus tersebut tidak dapat dihapuskan dari perkara pidana. Di dalam ketentuan Pasal 35 huruf c UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI mengatur tentang kewenangan khusus yang dimiliki Jaksa Agung, yakni kewenangan untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum atau asas oportunitas. “Dengan catatan, hanya berlaku bagi Jaksa Agung saja yang memiliki kebijakan ini,” tuturnya. Meski demikian, menurutnya, Jaksa Agung pun dalam memutuskan untuk mengesampingkan suatu perkara demi kepentingan umum harus ada pertimbangan dari lembaga-lembaga terkait. “Sehingga tak dapat asal begitu saja diambil keputusan, meski sudah ada aturannya,” tegasnya. Alumni Universitas Padjajaran ini menekankan, yang dimaksud kepentingan umum juga harus jelas batasannya. Hal itu menurutnya dapat dijelaskan dalam pasal 35 huruf C, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara atau kepentingan masyarakat luas denga cara mengesampingkan perkara. Di dalam rancangan KUHAP disebutkan, yang dapat menentukan asas oportunitas adalah DPR RI. Namun rancangan tersebut ditolak praktisi hukum. Sebab, di lembaga DPR terdapat kepentingan politis. Karena itu mengesampingkan perkara demi kepentingan umum tak hanya berlaku pada tindakan korupsi, namun kasus lainnya juga bisa. “Sudah jelas asas kepentingan umum dalam oportunitas tidak terkait dengan masalah korupsi saja, di Indonesia ini sudah banyak (perkara, red) yang sudah dikesampingkan,” pungkasnya. (mus)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: