Tak Lagi Perdata, Ingkar Janji Dikenakan Pasal Pidana

Tak Lagi Perdata, Ingkar Janji Dikenakan Pasal Pidana

JAKARTA - Perbuatan wanprestasi atau ingkar janji, harus dijerat dengan pasal hukum pidana. Penerapan sistem yang tidak tepat di antara hukum perdata dan pidana, membuat masyarakat mengalami ketidakpastian hukum. “Keadilan harus diberikan kepada seluruh warga negara, termasuk dalam hubungan kontrak yang berisiko terjadi tindak penipuan,” ujar Harris Arthur Hedar SH MH, saat Promosi Ujian Terbuka Pendidikan Doktor (S3) Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana Universitas Jayabaya (Ubaya), Kamis (3/4) kemarin, di Jakarta. Menurut Harris, yang lulus menjadi doktor ke-65 di Ubaya dengan predikat cum laude ini, tindakan default (kegagalan) dalam hubungan kontraktual dapat diproses hukum. Perbedaan karakteristik antara standar tindakan dan penipuan kriminal adalah waktu penipuan, keadaan palsu, dan tindakan berbohong. “Pasal 378 KUH Pidana dan pasal 1328 BW hukum perdata adalah implikasi hukum dari ketidakjelasan hasil sebuah kerjasama,” tegas pria kelahiran Makassar, 24 Juni 1962 ini. Dikatakannya, meski penyatuan hukum perdata dan pidana pada hubungan kontraktual cukup berat, tapi akan memberikan titik terang bagi penanganan kasus sejak dari kepolisian, pengadilan, hingga Mahkamah Agung. “Selama ini, perbedaan penerapan pasal oleh para penegak hukum di setiap tingkatannya, justru menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat,” ujar Head of Corporate Lawyer Lion Group ini. Di hadapan para penguji yang terdiri dari Prof Dr HRT Sri Soemantri SH, Prof Dr MS Tumanggor SH MSi, Prof Dr Teguh Prasetyo SH MSi, Dr H Fauzie Yusuf Hasibuan SH MHum, dan Prof A Masyhur Effendi SH MS, Harris dengan tegas menyatakan akan mendesak lembaga DPR untuk melakukan revisi UU KUHP, termasuk penanganan perbuatan wanprestasi hubungan kontraktual. Pun halnya, mengusulkan Mahkamah Agung mengeluarkan pedoman berupa Peraturan MA. “Hal yang seharusnya dilakukan demi menjamin investor baik dari dalam dan luar negeri untuk menanamkan modalnya di Indonesia,” tutur anggota Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) ini. Menjawab pertanyaan Dr Teguh tentang penggunaan tes kebohongan (Lie Detector) sebelum melakukan perjanjian, Harris mengatakan, belum perlu diterapkan. “Tidak tercapainya prestasi atau janji, dapat dilihat dari jalannya proses,” bebernya. Selain itu, guna memberikan efek jera, ungkapnya, hukuman badan dapat diberikan kepada para pelaku. Dirinya menyarankan, para penegak hukum harus merujuk pada ketentuan tentang wanprestasi. Dan konsisten menjalankan UU hukum pidana, yang disesuaikan dengan perkembangan menyangkut hubungan kontraktual sebelum memutus suatu perkara. Terkait langkah pemerintah yang memberikan jaminan kepada Satinah yang terancam hukuman pancung, Harris dengan tegas menolaknya. Dari perspektif hukum, keadilan harus diberikan kepada keluarga korban. Apalagi, TKI tersebut mengakui perbuatannya membunuh majikannya. “Saya pun akan meminta KPK mengusut uang yang disiapkan oleh pemerintah yang bernilai sekitar Rp15 miliar tersebut,” katanya, menjawab pertanyaan Dr H Fauzie Yusuf Hasibuan. Terpantau, sidang yang berlangsung terbuka tersebut dihadiri Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divhumas Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar, Direktur Umum Lion Group Edward Sirait, pengurus Peradi, para kolega yang terdiri dari advokat, hakim, polisi, dan jaksa. (cw-02)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: