Mulai Hari Ini, Dolly Tinggal Memori

Mulai Hari Ini, Dolly Tinggal Memori

SURABAYA – Riwayat lokalisasi yang dulu disebut-sebut sebagai lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara, Dolly, berakhir hari Rabu ini (18/6). Pemerintah nanti malam resmi mendeklarasikan bahwa lokalisasi yang berumur lebih dari 40 tahun tersebut ditutup. Deklarasi yang menyatakan Dolly tinggal sebagai sejarah itu akan dipimpin langsung Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri. “Secara resmi, mulai besok (hari ini, Red) kawasan Dolly dan Jarak bukan lagi lokalisasi,” kata Sekretaris Daerah Kota Surabaya Hendro Gunawan. Penutupan rencananya dilakukan secara simbolis. Tidak ada rencana untuk datang ke lokalisasi dan memasang segel. Informasi yang dihimpun Jawa Pos menyebutkan bahwa penindakan terhadap Dolly baru dilakukan setelah bulan Ramadan. “Jadi, mungkin masih ada satu-dua yang buka secara sembunyi-sembunyi dan baru resmi tutup pas bulan puasa. Kalau ada yang balik dan beroperasi setelah Lebaran, baru ditindak,” ucap seorang petugas yang ikut menangani kebijakan penutupan Dolly Selasa (17/6). Kendati indikasinya mengarah ke pidana untuk setiap wisma yang masih nekat buka, polisi menyatakan memilih untuk melihat perkembangannya. “Yang jelas, kami fokus pada pengamanan deklarasi,” kata Kapolrestabes Surabaya Kombespol Setija Junianta. Polisi memang pantas berhati-hati. Sebab, menjelang penutupan kemarin, situasi di Dolly memanas. Sejumlah warga dan kelompok yang menentang penutupan terus berjaga-jaga. Apalagi berdasar pantauan Jawa Pos, ada beberapa insiden yang membuat suasana semakin panas. Yang pertama adalah insiden seorang preman yang tidak sengaja menabrak seorang PSK di Jarak hingga terjatuh dan tidak sadarkan diri. Sempat terjadi keramaian, namun tidak berlangsung begitu lama. Namun, insiden yang kedua membuat suasana makin panas. Kejadiannya kemarin sekitar pukul 09.00. Seorang pria yang tidak dikenal tiba-tiba saja melempari jendela dua wisma, yakni Putri Ayu II dan Sumber Rejeki. Belakangan diketahui bahwa pelaku pelemparan tersebut terindikasi kurang normal kejiwaannya. Ketika ditanya, pria yang kemudian diketahui bernama Nanang Arokhman tersebut menjawab ngawur. Kendati terindikasi kurang waras, Setija mengatakan bahwa pihaknya masih menelusurinya sebelum mengambil kesimpulan akhir. Meskipun penutupannya mengundang pro-kontra, berdasar pengamatan Jawa Pos, pamor Dolly dari tahun ke tahun terus meredup. Pada masa “kejayaannya” antara 1990-an sampai 2005, total jumlah PSK lebih dari 9.000 orang. Ketika ditutup hari ini, jumlah PSK tinggal 1.200-an orang. Kontrol ketat Pemerintah Kota Surabaya dalam bentuk pemasangan CCTV dan larangan menambah PSK baru seperti membunuh pelan-pelan kawasan lokalisasi yang diperkirakan menempati lahan sekitar 2 hektare di gang-gang kawasan Jarak dan Putat Jaya tersebut. Selain itu, layanan PSK di Dolly kalah bersaing dengan panti pijat dan prostitusi terselubung di Surabaya. Ketakutan konsumen terhadap potensi penyakit kelamin menular membuat Dolly semakin dijauhi. Bukti semakin kurang diminatinya Dolly adalah tarif PSK di Dolly yang tidak kunjung mengalami penyesuaian dalam sepuluh tahun terakhir. Misalnya, Wisma Barbara. Wisma yang disebut-sebut terbesar dan termahal se-Dolly tersebut membanderol tarif Rp 200 ribu untuk sekali kencan short time 30 menit hingga satu jam. Itu tidak berbeda jauh dengan sepuluh tahun lalu yang Rp 150 ribu. Tarif rata-rata di Dolly Rp 80 ribu–Rp 100 ribu. Persentase pembagian tarif tersebut adalah 40 persen PSK, 50 persen untuk wisma, dan sisanya untuk jasa para makelar. Dengan tarif yang minim, padahal biaya hidup, biaya berdandan, dan tarif kos yang terus naik, pilihan satu-satunya bagi PSK adalah mempercepat layanan. Maka tidak heran, seorang primadona bisa mendapat tamu lebih dari 20 orang semalam. Sebab, sekali kencan paling banter hanya 20 menit–30 menit. “Sekarang sepi. Semalam paling banter hanya sepuluh orang. Padahal, mau tutup,” keluh Reni, seorang primadona yang ditemui di Wisma Barbara tadi malam. Perempuan asal Indramayu tersebut mengatakan, situasinya berbeda dengan dua tahun lalu saat dirinya kali pertama datang ke Dolly. ’’Paling sepi 15 orang,’’ imbuh perempuan dengan tato di tangan itu. Ketika ditanya soal rencana penutupan tersebut, Reni tergolong pasrah. Dia memilih akan pulang dan belum punya rencana terkait uang Rp 3 juta yang diberikan untuk modal usaha. “Orang tua sudah perjalanan ke sini (Surabaya, Red),’’ katanya. “Tapi, saya ngaku kerja di kafe,’’ ucapnya. Reni juga menyebutkan bahwa dalam setahun terakhir, pelanggannya terus menurun. Kalau ditutup, Reni mengaku tidak terlalu mempermasalahkan. “Capeknya tidak enak. Karena nunggu tamu saja,” ucapnya. Teman-temannya pun memilih pulang kampung. Dari yang biasanya sekitar 60 orang, Reni mengatakan yang tersisa tinggal 30 orang. Menurut seorang makelar yang mengaku bernama Toni, sebagian besar pelanggan sekarang berasal dari luar kota. ’’Yang dari Surabaya sendiri jarang,’’ katanya. Sejumlah isu dan perkembangan yang ada memang membuat pamor Dolly terus meredup. Mulai adanya 192 PSK yang mengidap HIV/AIDS dan masih bekerja, semakin variatifnya pelayanan di tempat prostitusi lain (seperti panti pijat), hingga terakhir rencana penutupan yang didengungkan sejak tiga tahun lalu membuatnya terus menurun. Bahkan, banyak yang menyebut Dolly lama-lama bisa bernasib seperti Kremil, lokasi lama di Surabaya yang sudah tutup. Lama-lama makin sedikit dan akhirnya mati sendiri. Terlepas dari kontroversi keberadaannya, deklarasi penutupan Dolly hari ini mengakhiri sejarah panjang lokalisasi yang konon jumlah PSK-nya terbanyak di Asia Tenggara itu. Dolly diperkirakan ada lebih dari 40 tahun lalu. Kapan tanggal dan bulan pasti Dolly berdiri dan bagaimana sejarahnya, masih banyak perdebatan. Temuan Jawa Pos dari kesaksian warga sekitar dan catatan Pemkot Surabaya, Dolly berdiri pada awal 1970-an pasca penggusuran warga stren Kali Jagir oleh Wali Kota Surabaya saat itu, R. Soekotjo. Para warga korban penggusuran itu dipindahkan ke sebuah lokasi yang dekat dengan makam warga Tionghoa Kembang Kuning. Yakni, di kawasan Putat Jaya dan Girilaya. Karena kultur warga stren kali saat itu yang dekat dengan kemiskinan, pelacuran pun tumbuh. Lalu, muncullah seorang PSK bernama Dolly. Ada dua versi mengenai PSK yang disebut-sebut masih punya darah keturunan Belanda tersebut. Yang pertama bernama Dolly van Der Mart dan yang kedua adalah Dolly Khavit. Apa pun namanya, dia mempunyai visi tidak hanya menjadi PSK. Dia kemudian mengorganisasi teman sesama PSK dan muncullah wisma pertama di kawasan tersebut. Kawasan itu terus berkembang hingga dari jumlah PSK dan luas wilayah operasi, Dolly disebut-sebut mengalahkan distrik lampu merah Phat Pong di Bangkok, Thailand, ataupun kawasan Geylang di Singapura. Pada masa jayanya, hampir 100 ribu orang berkunjung setiap malam ke Dolly. Liputan investigatif Jawa Pos pada akhir 2004 menyebutkan bahwa uang yang berputar di sana mencapai Rp 5 miliar sehari dan ada sekitar 15 ribu orang yang menggantungkan hidupnya di sana. Mulai sopir taksi, penjual makanan, hingga warga yang menyewakan lahan parkir. Bahkan, sebagian aliran uang panas tersebut jatuh ke aparat. Mulai RT, RW, satpol PP, polisi, hingga tentara. Penelusuran Jawa Pos sepuluh tahun lalu juga mengungkapkan bahwa dari 56 wisma besar di Dolly saja, terkumpul uang kontrol Rp 7,5 juta per hari. Per bulan mencapai Rp 420 juta. Itu dengan asumsi tamu yang datang setiap hari sekitar 1.500 orang. Kini sepuluh tahun berlalu. Dolly sudah tidak segemerlap dan sehiruk-pikuk dulu lagi. Bahkan, nanti malam penutupannya dideklarasikan di Islamic Center, Dukuh Kupang, sekitar 3 kilometer dari gang legendaris itu. Ada yang merayakan berakhirnya pusat prostitusi yang dianggap “jerawat” bagi wajah bersih dan hijau Surabaya di bawah kepemimpinan Tri Rismaharani itu. Namun, tidak boleh juga diabaikan mereka yang sedih dan bingung karena kehilangan sumber penghidupan, harapan, dan bisa jadi kenangan. Dolly memang akan abadi di memori. Puluhan wisma boleh ditutup dan berganti fungsi. Para penghuninya: para PSK, penjual minuman, tukang parkir, hingga tukang cuci bisa pindah dan semoga mendapat pekerjaan lebih baik, namun Dolly tetap Dolly. Ceritanya tidak pernah bisa terhapus dan ikut membentuk sejarah Surabaya, kota metropolitan yang warganya pantang menyerah untuk mendapat tempat lebih baik bagi siapa saja. (shy/dor/las/yoc/ano/c6/kim)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: