Sepenggal Kisah di Musim Kemarau

Sepenggal Kisah di Musim Kemarau

Oleh : Qurotu Aini* Bel pelajaran telah usai. Suara gaduh anak-anak memenuhi semua sudut ruangan kelas. Aktifitas hari ini cukup melelahkan. Ditambah lagi tadi pagi rapat evaluasi dadakan. Sampai di kantor, banyak dewan guru yang masih duduk-duduk di meja kerjanya. Biasanya mereka pulang agak lama hanya sekadar ingin beristirahat setelah mengajar anak-anak. Berbeda dengan aku yang selalu pulang lebih awal. Kurapikan meja kerjaku lalu bergegas pulang. Pak Rio yang selalu menawari tumpangan pun tak lagi berusaha memaksaku untuk pulang bersamanya. Di lingkungan sekolah, aku dikenal sebagai salah satu guru yang cuek, tertutup. Tapi aku menikmati cara hidupku. Tak menghiraukan banyak orang di luar sana yang terkadang membicarakan perihal sikapku yang berbeda dari kebanyakan orang. Siang itu, tak biasanya aku menunggu angkot begitu lamanya. Mentari begitu teriknya menyengat wajahku. Peluh pun mulai bercucuran. Dan sepertinya jalan pun dipenuhi banyak kendaraan yang lalu lalang. Tak lama kemudian terdengar olehku bunyi sirine mobil pemadam kebakaran menuju pasar belakang sekolah tempatku mengajar, udara pun semakin panas. Kulihat dari kejauhan kepulan asap hitam membumbung di udara. Aku kaget bukan kepalang, terjadi kebakaran kah di sana? Langsung aku teringat kekasihku, Tara. Tempat tinggalnya tak jauh dari pasar itu. Pikiranku tiba-tiba kacau dibuatnya. Ingin hati menengok ke sana, tapi tubuh ini sudah terasa lemas melihat kepulan asap hitam yang masih saja menari-nari di depan mataku. Kulihat dari kejauhan angkot warna biru berjalan menuju tempatku berdiri. Ingin aku urungkan naik melihat penumpang yang berdesak-desakan memenuhi angkot itu, tapi kaki rasanya sudah tak sanggup untuk terus berdiri. Akhirnya aku duduk di depan, sebelah sopir, itu pun masih harus berdesakan dengan penumpang lain. Suasana jalan pada siang itu begitu padat dipenuhi beribu manusia. Tapi pikiranku selalu tertuju pada Tara. Bagaimana kalau tempat tinggalnya dilalap oleh si jago merah? Aku tak bisa berharap lebih, ponsel mati, angkot pun seakan melambatkan lajunya sambil mencari-cari orang yang rela berdesakan lagi. Ingin rasanya aku menggantikan sopir itu untuk mempercepat laju kendaraannya. Aku hendak mencari tau kabar kekasihku. Setelah lama menggerutu dalam hati, akhirnya sampai juga aku di rumah dengan selamat. Segera aku charger ponselku, langsung menyalakannya. berharap orang yang aku sayangi tidak kenapa-napa. Berulang-ulang aku memencet kontaknya, tetap saja tak ada jawaban di seberang sana. Hatiku mulai tak tenang. Apa yang harus saya lakukan, tiba-tiba tubuhku lunglai sambil menatap setiap sudut ruangan yang tiba-tiba menjadi gelap. Keesokan harinya badanku terasa tak bertenaga, aku putuskan untuk meminta izin tidak berangkat mengajar ke sekolah. Ibu mengabariku bahwa Tara dan keluarganya baik-baik saja. Hanya depan rumahnya saja yang terkena amukan si jago merah, dan untungnya pada waktu kejadian itu rumah dalam keadaan kosong. Hatiku mulai lega dengan kabar yang dibawa oleh ibu. Ditambah lagi dengan kabar yang dibawa oleh Tara, bahwa pernikahan akan dimajukan satu bulan lagi. Hatiku semakin bahagia dengan rencana itu. Badanku mulai pulih dan bersemangat kembali, mungkin ini karena keadaan hati yang dibaluti kebahagiaan yang mulai tampak di depan mata. Aku mulai mempersiapkan perlengkapan untuk kelangsungan pernikahanku. Hari-hari terasa begitu indah aku lalui. Satu per satu aku datangi kolega yang nanti akan memenuhi segala perlengkapan pernikahanku. Dalam satu hari aku dapat menyelesaikan itu sendiri. Sungguh sangat tak terasa semua kelelahan itu jika diganti dengan kebahagiaan yang akan menghampiriku sebentar lagi. Segala aktivitas yang aku lakukan terasa menyenangkan. Mengajar di sekolah pun terasa menyenangkan dan hubungan dengan pengajar lainnya pun mulai mencair. Acara pernikahan pun sudah semakin dekat. Undangan sudah tersebar. Riasan pengantin yang begitu megah sudah aku pesan jauh-jauh hari. Acara hiburan sudah disiapkan. Sampai kepada masalah dapur pun ibuku sudah mempersiapkan segalanya. Lengkap sudah untuk resepsi pernikahanku yang tinggal menghitung hari. ** Malam itu, aku sekeluarga salat berjamaah di masjid lingkungan rumahku. Sungguh aku sangat bersyukur atas nikmat-Nya yang tak terkira. Aku bersujud kepada-Nya seraya berdoa untuk kelancaran acara pernikahanku. Belum selesai aku berdoa, orang di luar sana bersahutan memanggil nama ayah, “Rumah Pak Burhan kebakaran…kebakaran…” Aku langsung kaget dengan teriakan orang-orang di luar. Serasa tak percaya dengan panggilan nama ayah yang disebut-sebut dalam teriakan itu. Aku bergegas keluar, dan ternyata apa yang aku lihat bukanlah keinginanku. Api merah sangat ganas melahap rumahku. Apalagi ini musim kemarau, api sangat cepat merambat ke seluruh ruangan. Aku masih belum percaya dengan pemandangan yang ada di depan mataku. Orang-orang pada sibuk menyiramkan air ke rumahku. Aku sekeluarga menatap dengan pandangan kosong. “Apa salahku Tuhan?” Pernikahan yang tinggal menghitung hari. Mata ibu yang telah bercucuran air mata. Tubuh ayah yang lemas tak berdaya. Tangisan histeris adik-adik. Suasana kian tak menentu. Mataku tak mampu lagi melihat di sekitarku. (*)   *) Cerpenis adalah mahasiswi IAIN SNJ, Jurusan Sejarah Peradaban Islam, Fakultas ADDIN, semester tujuh, tinggal di Cirebon.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: