PPP Mau (Dibawa) ke Mana?
Oleh Syamsudin Kadir: Penulis adalah Direktur KOMUNITAS, Penulis buku POLITICS, Pegiat Ilmu Pengetahuan di STAI BBC. SEBAGAIMANA partai yang “seumuran” seperti Golkar dan PDI (kini PDIP), khususnya pasca reformasi, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang eksis sejak 1971 mengalami dinamika internal yang cukup pelik dan menggoda untuk dikaji. Bagaimana tidak, dulu PPP diposisikan sebagai “rumah besar” umat Islam. Bahkan dalam tagline PPP dan di berbagai momentum sejak tahun 1971 sampai saat ini, elite PPP selalu “mengklaim” bahwa PPP adalah “rumah besar” umat Islam. Dengan demikian, PPP mestinya menjadi tempat di mana berbagai gagasan umat Islam ditampung dan dielaborasi menjadi kebijakan penting negara. Namun apa daya, politik selalu dihantui oleh berbagai intrik dan kepentingan. Dalam konteks PPP, “klaim” semacam itu ternyata mengalami degradasi yang cukup pelik dan menjadi tantangan tersendiri bagi soliditas bahkan masa depan PPP dalam pentas politik kebangsaan juga kenegaraan kita. Tak perlu jauh-jauh, menjelang pileg dan pilres yang lalu PPP mengalami dinamika yang cukup memantik perhatian banyak kalangan, terutama pemerhati politik. Dinamika PPP tentu bukan saja soal konsistensi PPP dalam memegang ideologi politiknya, tapi juga soal pilihan sekaligus sikap politik PPP yang dapat saya sederhanakan dalam sebuah pertanyaan: masih otentik kah posisi PPP sebagai “rumah besar” umat Islam, atau sekadar klaim politis? Yang terpampang, misalnya, Kubu Ketua Umum PPP Suryadharma Ali (SDA) begitu keukeuh dengan pilihan dan sikap politiknya yang diklaim sebagai keputusan partai untuk konsisten memilih bergabung dalam Koalisi Merah-Putih (KMP), baik pada momentum pilpres maupun pasca pilpres. Sementara kubu Sekjen PPP Romahurmuziy (sering disapa Romi) kekukeuh dengan pilihan dan sikap politiknya untuk bergabung dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), baik pada momentum pilpres maupun pasca pilpres. Walau dalam beberapa waktu lalu kedua kubu (baca: SDA dan Romi) sempat menemukan titik temu (bahkan kubu Romi selalu hadir dalam acara konsolidasi KMP), namun titik temu selalu dibayangi oleh intrik politik atau kepentingan kedua kubu. Pada perjalanan selanjutnya, dinamika semacam ini menghadirkan aroma politik yang berbeda pula di internal bahkan di luar PPP. Kubu SDA yang sejak awal sudah memilih bergabung dengan KMP sampai saat inipun mengklaim masih memilih bersama KMP dengan mengambil sikap tegas sebagai kekuatan penting di perlemen dan beroposisi dengan pemerintahan Jokowi-JK. Sementara kubu Romi lebih cenderung untuk bergabung dalam kabinet pemerintahan Jokowi-JK bersama KIH. Uniknya, kedua kubu selalu mengaku bahwa semuanya demi kepentingan keumatan dan kebangsaan. Betulkah demikian? Kepastiannya hanya keluarga besar PPP dan nurani publik yang tau. CATATAN UNTUK PPP Terkait kondisi terakhir, terutama soal sikap dan pilihan politik PPP yang tak menentu, sebagai bagian dari publik saya memiliki catatan sebagai wujud tausiyah untuk PPP. Harapannya, elite PPP dan publik memiliki kesempatan untuk mengambil manfaat dari catatan ini. Pertama, dinamika yang terjadi menunjukan kepada publik bahwa PPP masih kaku dalam mewujudkan kehendaknya sebagai parpol Islam modern. Untuk itu, daripada sibuk mengejahwantahkan sesuatu yang masih dalam tahap “ujicoba”, PPP mestinya tetap konsisten untuk mengambil posisi sebagai parpol “rumah besar” umat Islam. Sebagai rumah besar, PPP semestinya siap menampung semua gagasan yang berserakan dan berbagai dinamika yang muncul di tengah arus politik umat Islam. Bukan saja gagasan warga PPP tapi juga gagasan warga (baca: umat Islam) non PPP. Ciri utama rumah besar adalah mampu menampung, termasuk hal-hal yang kecil. Jika hal-hal kecil saja tak mampu ditampung atau tak mampu diselesaikan, lalu bagaimana dengan hal-hal besar? Kedua, agar solid dan kembali “berjaya” PPP mesti keluar dari kepentingan yang sifatnya pragmatis, lalu masuk dalam jenjang apa yang disebut oleh Kuntowijoyo sebagai aksi politik pengetahuan. Dengan lompatan atau sikap semacam ini, elite PPP tidak sibuk dengan tarik-menarik kepentingan yang “dihegemoni” oleh kekuatan politik dominan yang ada di KMP ataupun KIH, tapi PPP justru sibuk menghadirkan gagasan besar tentang pembangunan bangsa dan negara. Bahkan dalam kondisi macetnya komunikasi dua kubu koalisi (KMP dan KIH), PPP mestinya hadir menjadi pencetus rekonsiliasi. Sebab secara historis dan dinamika politik, PPP sangat mungkin untuk bertemu, memiliki titik temu dan mempertemukan titik temu dengan dan antar kedua kubu kekuatan. Ketiga, sebagai salah satu parpol tertua dan berbasis masa Islam, PPP semestinya punya karakter yang khas, misalnya, konsisten dan tegas dalam bersikap. Dinamika internal PPP akhir-akhir ini yang nyaris tak menentu telah menimbulkan berbagai kecurigaan dan pertanyaan publik. Satu sisi dalam keputusan resminya pada momentum pilpres yang lalu secara tegas PPP memilih bersatu dalam KMP. Bahkan pada beberapa keputusan strategis di perlemen pun PPP begitu giat menjadi bagian penting dari KMP. Namun pada konteks tertentu, seperti momentum pemilihan pimpinan MPR beberapa waktu lalu, PPP justru menarik diri dari KMP dan memilih bergabung ke KIH. Publik pun dihantui oleh pertanyaan sederhana: PPP mau (dibawa) ke mana? Soal kelak apakah PPP benar-benar memilih bergabung dengan KIH sebetulnya bukan soal yang rumit dan dipermasalahkan oleh publik. Dalam pengertian bahwa jika berdasarkan ijtihad politik PPP memandang perlu dan penting bergabung dalam KIH, maka itu sah-sah saja bahkan bisa jadi itu justru baik bagi pemerintahan Jokowi-JK dan publik ke depan. Sebab dengan begitu, kekuatan pemerintahan Jokowi-JK dapat ditopang oleh kekuatan perlemen yang tak begitu “jomplang” dengan KMP yang dominan di perlemen sekaligus mengambil posisi oposisi dengan pemerintahan Jokowi-JK. Namun lagi-lagi, minimal sampai detik ini publik justru mendapatkan suguhan yang “tak elok” dari elite PPP, misalnya, ketidaktegasan pilihan dan sikap politik, yang membuat PPP sendiri seperti “anak yatim” tanpa teman hingga dalam konteks tertentu menurunnya kepercayaan publik kepada PPP. Dalam bahasa yang agak “kasar”, karena ketidaktegasan pilihan dan sikap politik PPP akhirnya ke mana pun atau bergabung dengan koalisi apapun di antara dua kubu yang ada, PPP tetap saja tidak mendapatkan apa-apa. Betul bahwa politik tidak selalu berbicara soal “berapa” atau “apa” yang didapatkan. Namun membela kepentingan keumatan dan kebangsaan sebagaimana yang kerap digaungkan oleh elite PPP hanya akan mewujud manakala PPP punya andil dan posisi yang jelas dalam kubu atau kekuatan politik dalam dinamika kebangsaan. Di atas segalanya, politik memang penuh intrik. Namun kemampuan memahami intrik politik secara subtantif adalah modal besar dalam menata kepentingan bangsa dan negara. Pada konteks itu, jika PPP mampu memahami intrik politik secara subtantif, maka PPP pun akan mampu menemukan jati dirinya sebagai parpol yang kerap dikampanyekan elite-nya sebagai “rumah besar” umat Islam dan kembali pada posisi sekaligus peran pentingnya dalam perpolitikan negeri ini ke depan. Secara terbuka dan praktis, hal itu hanya dapat diwujudkan manakala PPP mampu mengambil sikap tegas dalam berpolitik. Sekali lagi, publik tidak begitu hirau apakah kelak PPP benar-benar memilih KMP atau KIH, yang dinantikan oleh publik (bahkan pengurus, kader dan simpatisan PPP di seluruh nusantara) adalah ketegasan pilihan dan sikap PPP yang dilakoni oleh elite PPP: KMP atau KIH. Dengan begitu publik dan keluarga besar PPP di lapisan bawa tak perlu dihantui oleh pertanyaan : PPP mau (dibawa) ke mana? (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: