Membangun Kesadaran Sejarah Budaya Cirebon

Membangun Kesadaran Sejarah Budaya Cirebon

Haliemah Noor Q : Penulis adalah Pendidik di Ponpes Kampung Damai, Sumber, Kabupaten Cirebon   “Jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Slogan edukatif tersebut sangat arif bila diaktualisasikan oleh para pemuda sepanjang zaman. Bahwa sejarah menoreh beberapa peristiwa masa lampau, baik dari segi perjuangan para pahlawan dan interaksi masyarakat masa lalu dalam membentuk sebuah kebudayaan. Sejarah dapat dijadikan pedoman bagi regenerasi setelah hari ini, bagaimana sebuah perjuangan pemuda suatu masa dalam merekonstruksi arti sebuah perjuangan yang aktual dengan zamannya yang dapat disepadankan dengan perjuangan bambu runcing oleh para pahlawan kemerdekaan. Festival Seni dan Budaya Pesisiran yang sudah digelar di Keraton Kesepuhan Cirebon menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Cirebon sebagai tuan rumah dari lima provinsi peserta festival, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI Jakarta dan Banten. Sebuah perpaduan buadaya yang sangat unik untuk diramu dalam sebuah festival seni dan budaya pesisiran. Beragam kebudayaan yang dimiliki oleh masing-masing daerah dipadukan untuk mendorong masyarakat dalam memaknai arti penting seni dan budaya bagi masyarakat, baik aspek pengetahuan, ekonomi dan pelestarian kebudayaan daerah sebagai kekayaan nilai bangsa Indonesia yang beragam dalam slogan “Bhinneka Tunggal Ika”. Peran tokoh Syarif Hidayatullah yang lebih populer dengan nama Sunan Gunung Jati menjadi suri tauladan bagi masyarakat Cirebon dengan pepatahnya “Ingsun titip tajug lan fakir miskin”. Sebuah pesan yang sarat nilai-nilai Islami yang menggambarkan akan keterpaduan perwujudan hablun minallah wa hablun minannaas. Ibadah secara vertikal kepada Sang Khalik harus selaras dengan kesalehan sosial terhadap sesama, selayaknya diaplikasikan oleh masyarakat Cirebon sebagai generasi penerus dakwah Syarif Hidayatullah. AKTUALISASI AJARAN SUNAN GUNUNG JATI MASA KINI Sunan Gunung Jati bukan hanya sebagai tokoh agama yang bertugas mesyi’arkan agama Islam sebagai wali kesembilan dari wali songo, namun beliau juga sebagai pemimpin politik yang berhasil membangun sistem dan struktur kenegaraan yang religius. Elastisitas politik sangat penting dalam rangka merangkul beberapa pemangku kepentingan, baik dari lapisan masyarakat, pejabat dan ulama untuk membentuk sebuah pemerintahan yang arif dan bijaksana. Bahwa sejarah tidak dapat dilupakan, sebelum NKRI ini diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 sebuah sistem kerajaan telah terbentuk di atas nusantara ini dikarenakan oleh pengaruh Hindu-Budha yang menggantikan sistem kesukuan yang melekat pada kehidupan awal masyarakat Indonesia. Maka, sinkronisasi pemerintah keraton dan pemerintah daerah sangat dibutuhkan untuk membangun jalinan matualisme bagi pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat. Sejarah peran Sunan Gunung Jati dalam mengembangkan peradaban Islam patut dilestarikan oleh masyarakat Cirebon, bahwa Cirebon telah dinobatkan menjadi kota wali agar tetap dicerminkan dalam tatanan sosial politik masyarakat Cirebon. Ajaran Sunan Gunung Jati yang menekankan pada aspek teosentrik yang lebih menekankan sisi ke-Tuhanan dalam setiap langkah umat Islam. Bahwa ajaran teosentrik ini jangan hanya dipahami dalam konteks “salat” saja sebagai bentuk ibadah secara vertikal, namun nilai-nilai ketuhanan yang terinternalisasi dalam setiap aktivitas umat Islam selayaknya untuk dicerminkan dengan menghindarkan diri dari tipu daya dunia yang bersifat pragmatis. Ajaran teosentrik tersebut dapat diaktualisasikan dalam sebuah sistem ekonomi berbasis Islam, yang lebih akrab dikenal dengan realisasi sistem ekonomi syariah yang sangat relevan dengan iklim Cirebon yang beranjak menuju Kota Bisnis. Bahwa sistem ekonomi Islam telah teruji ketahanannya ketika krisis moneter tahun 1997, Bank Muamalat yang menganut sistem ekonomi syariah tidak dilanda krisis global. Hal ini membutuhkan political will dari Pemkot Cirebon dan Kabupaten Cirebon untuk mengaktualisasikan ajaran teosentrik Sunan Gunung Jati dalam sistem ekonomi daerah. Pilihan sistem ini telah dianut di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan maraknya daerah-daerah yang melaksanakan pariwisata yang berbasis syariah. BAGUS RANGIN SEBAGAI TOKOH PAHLAWAN CIREBON Berangkat dari salah satu tema yang diangkat dalam acara seminar sejarah dan budaya dalam Festival Seni dan Budaya Pesisiran, seorang tokoh Bagus Rangin memiliki peran yang cukup dominan dalam perjuangan masyarakat Cirebon melawan kompeni selama tujuh tahun (1805-1812). Waktu yang dirasa cukup lama dalam memperjuangkan sebuah kemerdekaan atas hak asasi manusia yang ditindas dalam bentuk penjajahan oleh para kompeni. Perjuangan besar yang dipimpin oleh seorang Bagus Rangin belum banyak dikenal oleh masyarakat Cirebon sendiri dikarenakan oleh faktor sosialisasi sejarah Cirebon yang dianggap masih minim. Silabus Mulok di tiap-tiap tingkat pendidikan masih lemah dalam mengkonstruksi para murid untuk memiliki kepekaan yang cukup tinggi terhadap nilai-nilai sosial dan budaya daerah setempat. Sedangkan pada kurikulum 2013 tidak didapatkan lagi kurikulum Mulok yang telah dicanumkan pada Kurikulum KTSP 2006. Berbagai bentuk peperangan di beberapa daerah dan pahlawan di beberapa daerah diajarkan, namun tidak diajarkan mengenai perjuangan tokoh Bagus Rangin yang berhasil memimpin perlawanan terhadap kompeni Belanda dari beberapa daerah, yakni dari masyarakat Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan, Karawang dan Purwakarta. Sebuah kepemimpinan yang sangat dibanggakan, seorang tokoh Bagus Rangin yang berjuang keras melawan penjajahan sampai di akhir hayatnya pada tahun 1812 dengan cara dihukum mati di tepi sungai Cimanuk dekat Karangsembung. Namun perjuangan beliau tidak begitu saja padam, melainkan dilanjutkan oleh Bagus Jabin sehingga terjadilah sebuah pertempuran antara lain peristiwa Kedongdong pada tahun 1818. Semangat perjuangan yang diteladani oleh masyarakat Cirebon untuk tidak pernah takluk kepada kompeni Belanda dan tidak menghendaki penjajahan di atas bumi Indonesia ini. KESADARAN SEJARAH BUDAYA CIREBON Pementasan wayang kulit yang digelar pada penutupan Festival Seni dan Budaya Pesisiran terlihat sepi dari penonton. Hal ini merupakan bukti riil atas minimnya kecintaan budaya pada masyarakat Cirebon. Bahwa historisnya Sunan Gunung Jati pada masa syiarnya menggunakan strategi dakwah dengan pendekatan sosiologis, yakni dengan menggelar gamelan dan wayang kulit dengan mewajibkan pembacaan syahadatain bagi calon penontonnya. Namun hari ini tidak didapatkan kesemarakan dalam pagelaran wayang kulit tersebut. Hal ini juga dikarenakan oleh masalah teknis yang tidak diiringi oleh penerjemahan dalam slebaran akan alur cerita kisah wayang yang dipertontonkan, mengingat wayang kulit belum terlalu melekat pada masyarakat Cirebon hari ini bila dibandingkan dengan masyarakat Jawa Tengah yang memiliki antusias sangat tinggi terhadap kisah-kisah wewayangan. Peran para guru dan budayawan Cirebon sangat diperlukan dalam meningkatkan kesadaran sejarah dan budaya masyarakat Cirebon. Hal tersebut dapat dilakukan dengan pengemasan materi sejarah yang lebih menarik oleh para guru dan tutor, bahwa sejarah sangat penting untuk melihat kilas balik para pahlawan dahulu dalam perjuangan mereka sebagai suri tauladan generasi selanjutnya. Diharapkan, mata pelajaran sejarah tidak hanya mengajarkan sejarah secara nasional dan dunia namun dilengkapi dengan sejarah daerah yang dikondisikan dengan sejarah daerah masing-masing khususnya sejarah Cirebon beserta tokoh-tokoh pejuang yang telah menoreh sejarah di tanah Cirebon ini. Upaya mengabadikan nama-nama tokoh pejuang daerah Cirebon untuk diabadikan dalam bentuk nama jalan dan gedung sejarah dianggap sangat aktual untuk merelevansikan isu daerah yang melekat dengan masyarakat. Sehingga masyarakat memiliki peningkatan kesadaran sejarah dan budaya Cirebon yang kental akan nuansa politis dan dinamika perjuangannya untuk merebut sebuah kemerdekaan yang hakiki. (*)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: