Anak Sekolah Anarkistis, Siapa yang Salah?
Badrul Munir: Penulis adalah dokter spesialis saraf, tulisan ini diambil dari Jawa Pos (Radar Cirebon Group) MASYARAKAT Indonesia digegerkan adegan kekerasan anak sekolah dasar (SD) di Bukittinggi, Sumatera Barat. Kecanggihan teknologi dan fasilitas media sosial mempercepat penyebarluasan adegan kekerasan itu. Kita terkesima dengan adegan tersebut. Hal itu didasari beberapa hal. Pertama, pelaku adalah anak SD, masa di mana seseorang masih polos dan belum layak melakukan kekerasan seperti itu. Kedua, insiden tersebut terjadi di Bukittinggi, sebuah daerah yang selama ini terkenal sebagai tempat kelahiran para ulama besar dan punya kearifan lokal yang tinggi. Publik pun yakin kejadian kekerasan seperti itu tidak hanya terjadi di Sumatera Barat. Tapi, ini merupakan salah satu contoh yang kebetulan tersebar di dunia maya. Masih banyak kejadian serupa yang tidak diketahui dan ini yang disebut fenomena gunung es. Satu hal yang menjadi pertanyaan, ada apa dengan pendidikan kita selama ini? Mengapa anak belia seperti itu menjadi beringas dan anarkistis? NEUROBEHAVIOR ANAK SD Usia 7–12 tahun, menurut ilmu neurobehavior, adalah periode emas di mana dasar sebuah perilaku manusia sedang terbentuk. Dan ternyata perilaku manusia sangat bergantung pada kerja sekelompok otak di bagian otak yang disebut lobus frontalis dan parietalis (otak bagian depan dan ubun-ubun). Dan perilaku didasari sistem memori yang terekam dalam otak manusia. Bila memori yang terekam baik, perilaku akan bersifat baik. Begitu juga sebaliknya. Jika memori yang terekam jelek, perilaku anak cenderung jelek. Memori yang terbentuk bergantung pada stimulus (paparan) yang masuk secara terus-menerus. Stimulus bisa dalam bentuk visual maupun auditorial. Taktil dari lingkungan sekitarnya akan dibawa serabut otak dan disimpan di suatu area yang disebut sistem limbik (bagian otak yang mengurus memori dan emosi). Di dalam kehidupan yang serbamodern ini, paparan yang masuk kepada anak SD sangat variatif dan beraneka ragam. Selain dari televisi yang sering menayangkan adegan kekerasan (film kartun, sinetron, dan lainnya), anak juga gampang sekali terpapar kekerasan dari permainan (game). Seolah sudah menjadi kebiasaan semua anak bisa mengakses atau bermain game sesuai dengan keinginannya. Permainan game tersebut sebagian besar mengandung adegan kekerasan (di samping adegan pornografi). Dan mirisnya, banyak orang tua yang tidak mampu mengontrol materi game yang sedang digandrungi anak-anaknya. Penyebabnya, selain kesibukan orang tua, adalah mudahnya anak mengakses permainan tersebut. Game yang mengandalkan kecepatan otak dan alat gerak untuk menghancurkan lawan tandingnya, bila dimainkan terus-menerus dan tanpa bimbingan orang tua, akan membentuk memori di otak yang bersifat menghancurkan lawan. Maka, perilaku yang muncul adalah potensi menghancurkan lawan. Parahnya lagi, di dalam kehidupan sehari-hari, anak-anak lebih sering ”dididik” untuk mengalahkan orang lain. Lomba-lomba yang sering dipertandingkan lebih banyak mengedepankan mengalahkan lawan daripada membangun kebersamaan. Termasuk memberi peringkat (ranking) dalam penilaian prestasi siswa. Maka, kewajiban kita sebagai orang tua harus berperan aktif untuk mengontrol dan memberikan pemahaman tentang game yang mendidik. Juga memberikan lingkungan positif untuk memberi stimulus dalam rangka tumbuh kembang otak agar memberi manfaat bagi perilaku anak kita semua. Selain itu, menurut ilmu psikoneurobehavior,perilaku anak SD (7–12 tahun) adalah aktif bergerak dan bermain, mengerjakan sesuatu secara langsung, dan senang bekerja dalam suatu kelompok. Tugas kita sebagai orang tua dan guru adalah memberikan kegiatan positif dalam sebuah kelompok untuk menyalurkan energi di dalam tubuhnya. Kelompok olahraga, kepanduan/pramuka, atau kelompok musik sangat baik untuk menyalurkan energi positif mereka. Tetapi sayang, permainan yang menggunakan gerak tubuh seperti berlari dan meloncat sudah tidak diminati lagi oleh sebagian besar anak. Di samping tidak ada lahan kosong untuk permainan, juga semakin padat pelajaran siswa SD. Belum lagi, seabrek les yang harus diikuti semakin memupus harapan anak untuk bermain aktif. Belajar dari kasus ini, semua harus berintrospeksi. Terutama orang tua dan pihak sekolah, harus mendampingi dan memilihkan pergaulan yang baik bagi anak. Begitu juga pemerintah, harus aktif memberikan teguran kepada media yang terus menyiarkan kekerasan. Pemerintah dan pemimpin juga mesti memberikan contoh yang baik kepada masyarakat karena perilaku mereka sering disorot media massa dan disiarkan berulang-ulang. Misalnya tindakan di ruang sidang DPR yang lebih mengandalkan otot (kekerasan verbal) daripada otak. Demikian pula ormas anarkistis yang sering ditayangkan media, juga akan terekam kuat di memori anak. Di samping itu, pemerintah harus proaktif mengontrol media yang menyiarkan kekerasan. Kita berharap pelaksanaan kurikulum baru 2013 yang lebih banyak mengedepankan pembentukan karakter dan pengembangan diri bisa memberi dampak positif. Yakni perilaku yang santun dan pribadi yang luhur, di samping pengembangan intelektual, sehingga kasus kekerasan anak sekolah seperti ini tidak terjadi lagi. Semoga. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: