Revolusi Mental Birokrat

Revolusi Mental Birokrat

(Catatan untuk Kampus IAIN Syekh Nurjati Cirebon)  Oleh: Mamang M Haerudin     UNTUK mengawali diskursus ini saya ingin lebih dulu mengutip pandangan Michael G Roskin, et al., mengenai apa itu birokrasi. Ia menyebut pengertian birokrasi adalah setiap organisasi yang berskala besar yang terdiri atas para pejabat yang diangkat, di mana fungsi utamanya adalah untuk melaksanakan (to implement) kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh para pengambil keputusan (decision makers). Sebab itu idealnya, birokrasi seharusnya dapat menuntun pada efisiensi dan efektivitas berjalannya seluruh kebijakan publik. Akhir-akhir ini tentu kita merasa cemas dan heran, mengapa dalam institusi Islam bernama IAIN Syekh Nurjati Cirebon, bisa melakukan perbuatan yang justru mencoreng nama sendiri dan institusi. Terutama menodai kemuliaan Islam. Memang bukan hal yang baru, tetapi karena terjadi dalam waktu yang berlanjut dan lama, ini justru menjadi ironi tersendiri. Kampus yang digadang-gadang menjadi gerbong peradaban Islam Cirebon, justru mundur tanpa arah. Sebagai salah seorang yang pernah mencicipi bangku studi di kampus ini, saya merasa punya beban moral untuk terus memberikan spirit perubahan untuk IAIN Cirebon. Catatan ini tidak dimaksudkan untuk memperkeruh, apalagi men-generalisasi secara serampangan. Catatan ini hanya catatan sederhana yang mudah-mudahan bisa dicerna, direnungi, dan direalisasikan bagi seluruh civitas kampus dan terutama para birokratnya. INTELEKTUAL-BIROKRAT Ada catatan panjang dan menarik dari Imam Suprayogo, mantan Rektor UIN Maliki Malang yang patut direnungkan. Tentang pengalaman Imam Suprayogo memimpin UII Malang hingga sukses mengantarkan UII menjadi STAIN untuk kemudian bermetamorfosis menjadi UIN, tanpa menapaki IAIN terlebih dahulu. Siapa yang tidak kaget, STAIN langsung bermetamorfosis menjadi UIN. Sebuah loncatan yang fantastis sekaligus mengagumkan. Ada dua catatan penting yang harus saya paparkan di sini. Catatan yang begitu menohok dan sekiranya dapat mengantarkan para birokrat menuju intelektual-birokrat. Catatan pertama, Imam Suprayogo menjadi lokomotif dan teladan intelektual-birokrat itu sendiri. Ia berhasil mendobrak segala hal-hal yang berbau formalitas dan kejumudan. Komitmen itu ia buktikan dengan mentradisikan budaya menulis setiap hari tanpa jeda. Aktivitas intelektual itu mengantarkan pada pencapaian sebagai intelektual yang mendapatkan dua kali Rekor MURI. Ia juga menggerakkan para dosen untuk getol melakukan riset dan menulis buku. Catatan kedua, adalah tentang independensi golongan. Ia mengatakan, jika di berbagai perguruan tinggi Islam, hampir di seluruh Indonesia terdengar muncul polarisasi warga kampus atas dasar idiologis-NU, Muhammadiyah, al-Wasliyah dsb, etnis, kelompok, asal kelahiran (asli daerah atau tidak asli) -sehingga mengakibatkan suasana kampus tidak rasional, maka di STAIN Malang, fenomena itu, sekalipun kadang terasakan, tetapi berhasil diredam oleh semua pihak. Atas dasar suasana itu, maka iklim akademik berhasil dikembangkan. Suasana politik kampus yang kontra produktif sebagaimana terjadi di berbagai perguruan tinggi Islam lainnya, tidak pernah terjadi di STAIN Malang dan bahkan hingga saat ini ketika sudah menjadi UIN Malang. Imam melanjutkan, oleh karena itu, ketika Dirjen Pendidikan Islam dijabat oleh Dr Yahya Umar, yang selalu mensinyalir bahwa perguruan tinggi Islam lebih bernuansa politis, daripada akademik, maka sinyalemen itu tidak tepat jika ditujukan pada UIN Malang. Sebaliknya, warga kampus UIN Malang dengan kegiatan kultural seperti selalu berjama’ah di masjid pada setiap salat fardhu, banyak membaca shalawat, khatmul Quran dan lain-lain menjadikan persatuan dan kesatuan warga kampus semakin lama, semakin kokoh. Apalagi, model pendidikan yang dikembangkan dengan mensintesakan antara tradisi perguruan tinggi dan ma’had, rasanya memang sangat menunjang terjadinya hubungan-hubungan kekeluargaan yang lebih dekat. Dua catatan penting itu hanya bisa diteladani dan dicapai jika mental para civitas kampus, terutama para birokratnya menjiwai mental yang sehat, rasional, dan independen. Kasus-kasus yang banyak menjerat para birokrat IAIN Cirebon sejak dulu awal alih status dari STAIN menjadi IAIN, adalah tidak lain karena mental yang sakit para birokrat dan menganut golongan. Terkuaknya kasus demi kasus dan dibuinya para oknum tersebut anggap saja sebagai bagian dari upaya pembersihan dan revolusi mental para birokrat. Sekali lagi saya ingin menegaskan, yang fundamen dan substansial dari sebuah birokrasi dan organisasi ada mental manusianya. BIROKRAT RABBANI  Salah satu alasan utama yang sering saya dengar adalah keluhan soal sulitnya mengatur berbagai macam orang dengan karakter yang juga beragam. Tetapi memang itulah tantangan bagi setiap individu yang bergelut dalam sebuah organisasi. Perbedaan karakter tersebut justru dapat melecut kreativitas. Jadi, perbedaan karakter tersebut tidak jadi masalah selama berproses menuju kreativitas berpikir dan berkarya. Tentu saja acuan dan referensinya adalah visi, misi, dan tujuan yang telah digagas bersama. IAIN Cirebon sebetulnya punya titik temu. Titik temu itu apa yang oleh civitasnya disebut sebagai ‘Muhsin sejati’. Seseorang yang punya karakter ihsan dalam menjalankan tugas birokrasi dan akademik. Ihsan sendiri merupakan puncak dari sebuah komitmen dalam menjalankan pekerjaan dan pengabdian yang sesuai dengan ajaran Islam. Kendalanya memang pada tahap komitmen dan konsistensi implementasi. Ego dan fanatisme golongan masih sulit ditanggalkan. Untuk mempertegas karakter birokrat rabbani, saya kembali ingin mengutip pandangan Imam Suprayogo, katanya, selanjutnya, yang lebih aneh, jika ada honorarium yang bisa diterimakan -karena merupakan kegiatan proyek yang harus dipertanggung-jawabkan, maka daftar penerimaan honorarium setelah ditandatangani, uangnya tidak pernah seluruhnya diterima. Uang itu dikumpulkan kembali dan dibelanjakan untuk kepentingan lembaga yang dianggap harus segera diwujudkan. Beberapa mobil dinas yang dibeli pada tahun 1998, 1999 dan awal 2000-an adalah hasil dari pengumpulan honorarium ini. Di antara mereka tidak ada yang berkeberatan dengan cara kerja dan pengumpulan uang seperti ini. Mereka bekerja keras sekaligus harus berkorban secara bersama-sama. Ketika itu saya pernah membuat joke, bahwa memang berjuang harus selalu diikuti oleh kegiatan berkurban. Tidak pernah ada orang berjuang tanpa berkurban. Orang yang menyatakan diri sebagai pejuang, akan tetapi selalu segera berharap mendapatkan keuntungan, sesungguhnya mereka bukan pejuang, melainkan lebih pantas disebut sebagai broker/syimsarah atau makelar. Saya ketika itu selalu mengatakan, tidak mau menjadi pemimpin para makelar. Saya ingin di kampus ini menjadi pemimpin para pejuang, ialah pekerja keras dengan diikuti oleh keikhlasan untuk berkurban. Karena itu, birokrat rabbani sudah tidak peduli lagi dengan uang atau honor. Bahkan sebagaimana diteladankan oleh kampus UIN Malang, mulai dari Rektor dan seluruh civitas lainnya malah menyedekahkan honornya untuk -sementara waktu- kemajuan dan progresivitas kampus secara hakiki. Fokus dari birokrat rabbani adalah memberikan pengabdian yang tulus dan selalu berorientasi pada kerja akademik yang dapat mencerdaskan civitas kampus, terutama para mahasiswa. Hal itu dilakukan semata-mata pengabdian kepada umat dan Allah. Dengan kondisi darurat seperti dialami IAIN Cirebon, tidak ada jalan lain, kecuali rektor, para birokrat, dosen, karyawan, dan mahasiswa harus bekerjasama dan menjadi mitra sejajar. Semua civitas ikhlas menghabiskan waktu di kampus hingga lembur. Semua program kerja (akademik) disusun berdasarkan musyawarah yang terbuka. Dan yang paling utama adalah upaya mengembalikan budaya membaca, menulis, dan kajian yang selama ini hanya formalitas dan cendrung hilang. Terakhir, semoga kasus demi kasus yang sedang menjerat, dapat memberi pelajaran dan hikmah demi perbaikan IAIN Cirebon ke depan. Saya juga berharap, dalam tahap pemilihan rektor baru, yang masih sedang berjalan ini, agar dapat diseleksi dengan jujur dan terbuka. Rektor yang punya kriteria inteletual birokrat dan birokrat rabbani. Rektor yang tidak hanya peka dunia tetapi juga akhirat. Wallahua’lam bis-Shawab.   *) Alumni IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Ketua LP3M STID Al-Biruni Cirebon  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: