Nasi Kecap

Nasi Kecap

Oleh: Lisna Priyanti SPd*     “Jum…jum… bangun nak! Kita kesiangan…” Teriakkan itu membuatku terperanjat dari tidur. “Kenapa Mak? Kita kesiangan ya? Waduh gawat bisa habis aku dimarahin si bos nih..,” ucapku sambil melompat dari tempat tidur. “Emak berangkat dulu ya,” diulurkan tangan kanannya dan aku pun menyalaminya “Ati-ati Mak,” ucapku “Oya Jum, beli nasi bungkus untuk makan siangmu ya! Emak sepertinya tidak sempat pulang lagi banyak kerjaan,” kata emak sambil membuka pintu dan berlalu. “Iya Mak,” ucapku singkat. “Jangan lupa titipkan saja kunci rumah sama Karyo!” Ya Mak,” jawabku... Karyo adalah tetangga sekaligus saudara buat kami. Emak tidak pernah lupa menyempatkan membuat nasi kecap untuk sarapanku sebelum bekerja. Hal itu yang membuat aku selalu sayang sama emak. Nasi kecap buatan emak itu sederhana saja, hanya nasi liwet yang dibumbuhi kecap dan bawang goreng, tapi rasanya tak kalah dengan makanan restoran. Kulihat jam tak berkaca milik emak sudah menunjukan pukul lima. Dengan tergesa aku segera bungkus nasi itu dengan kertas minyak.Nasi kecap lezat buatan emak yang sayang kalau tidak dimakan. Nasi ini sebetulnya sederhana saja, namun yang membuat istimewa karena diakel, sehingga menjadi pulen dan lembut… “He…he… Ko Aho pasti menertawakanku karena membawa nasi ini,” umpatku pada diri sendiri. “Maaf Ko semalam ikut bongkar pasir dulu di rumah tetangga, jadi bangun telat Ko… maaf ya,” “Ya sudah, tapi jatahmu pagi ini berkurang ya!” kata Ko Aho dengan sedikit tergesa karena truk-truk itu telah lama menunggu. “Langsung Kau angkut ke truk ya karung-karung ini,” lanjutnya. “Baik Ko,” kutimapali. Beginilah pekerjaanku setiap pagi, membantu Ko Aho mengangkut beras ke truk-truk setiap hari yang dibawa dari kiosnya. Setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah. Karena kebetulan aku sekolah di siang hari. Karena aku bersekolah di sekolah terbuka yang biayanya minim. Nasi kecap yang kulahap setiap pagi membuat ko aho tertarik dan ingin mencobanya. Awalnya Ko Aho setiap pagi minta aku bawakan, lalu anak dan istrinya juga ikut-ikutan menyukainya. Sehingga aku harus membawa empat bungkus nasi kecap setiap hari. “Bosku ternyata suka juga nasi kecap buatan emak. He he....” ujarku dalam hati. “Jum, kenapa kamu tak coba berjualan nasi kecapmu ini,” kata Ko Aho suatu pagi saat truk penggangkut beras datang telat. “Ah Ko Aho bisa saja, mana laku dijual Ko..,”kataku menimpali “Lok kamu kok pesimis gitu, Jum. Buktinya aku dan istriku suka nasi kecap buatanmu, kenapa tidak mencoba dijual? tanyanya lagi. “Ga ada modalnya Ko, ini saja upah kerja di sini selalu habis untuk beli beras dan ongkos aku ke sekolah,” “Saya bisa modalin,” kata Ko Aho melanjutkan sambil mengeluarkan sejumlah uang berwarna merah dari laci tempat uangnya dan menyerahkannya padaku. Serius Ko???tanyaku setengahkaget, karena terus terang bosku ini perhitungan sekali kalau soal uang. “Ini ambil.” Sembari mengulurkan beberapa lembar uang ke arahku. “Tapi saya tidak memberi cuma-cuma, nanti kalau sudah ada kamu kembalikan,” pesannya “Soalnya aku kasian sama kamu anak perempuan masa ngangkut barang berat-berat,” lanjutnya. “Tapi bener ni Ko?” tanyaku lagi Dia mangut-mangut, “Ya sudah sana pulang! Semoga berhasil ya!” ucapnya Dalam perjalanan pulang aku masih bingung kira-kira emak mau tidak ya kalau harus berhenti jadi tukang cuci untuk berjualan nasi kecap, gumamku dalam hati. Tapi, apa nanti laku? Aku bertanya pada diri sendiri Ah… sudahlah nanti kuobrolkan lagi dengan emak. Kuselusuri trotoar yang mengantarkanku pada sebuah rumah petak beratap seng dan berdinding triplek tempat aku dan emak tinggal. Rumah ini menjadi rumah kami sejak 6 tahun lalu. Aku masih ingat emak membawaku ke Jakarta setelah 40 hari meninggalnya bapa, kami melanjutkan hidup dan merajut mimpi dari nol. Aku menitikkan airmata manakala kuingat wajah bapak... Gusti, beri bapak tempat yang mulia disisi-Mu. Pertemukan kami lagi suatu hari nanti... Sambil kukenang masa indah dikampung bersama dulu...Tapi sudahlah semua sudah takdir Allah, hidup terus berjalan. Aku harus tetap kuat dan tegar demi emak satu-satunya harta yang kumiliki didunia ini... Mentari sangat terik bersinar, kucoba bergegas. Karena aku harus mengukir asaku disekolah... Sungguh, aku dan emak sangat bersyukur bisa bertahan hidup. Meskipun kami hanya bekerja menjadi kuli, bisa tetap bersekolah saja aku sudah senang. “Mak… gimana kerja emak hari ini?” tanyaku seusai salat Magrib. “Ya biasa Jum, badan emak rasanya cape semua” “Sini mak aku pijit.” Sambil kupijit emak kupandangi wajahnya yang kini mulai tampak garis-garis tua di sana. Sebagian rambutnya memutih, letih dan lelah kurasakan saat emak menarik nafas panjang. “Mak…” “Ehm,” jawabnya “Nasi kecap buatan emak itu enak lo.” Aku mulai membuka obrolan sembari memijitnya, “Masa Jum, paling-paling kamu ada maunya ya sampe ngrayu begitu…” Dengan acuhnya emak menimpali. “Beneran Mak, malah bukan aku saja yang bilang begitu Ko Aho juga” Setengah kaget emak bangun dari sandarannya. “Aduh Jum, sejak kapan kamu berikan makanan orang miskin untuk majikanmu itu?” tanya emak seperti tidak percaya. “Sudah seminggu ini Mak. Karena waktu itu tak sengaja aku membawa nasi kecapku ke tempat kerja karena aku sudah kesiangan.” “Terus apa katanya?” tanya emak sambil meneguk air yang ada di cangki. “Enak Mak, pulen katanya malah sekarang aku disuruh berenti kerja dan berjualan saja.” “Ya Allah Gusti, celaka Jum.” Emak menepuk jidatnya. “Celaka apa Mak? Memangnya ada yang salah?” “Ya iya Jum, kalo kamu gak kerja lagi darimana bayaran sekolahmu itu?” Aku tertawa dan membuat emak makin bingung “Gini lo Makku sayang, Ko Aho kasihan liat aku kerja berat. Itu kan kerjaan laki-laki Mak, gak pantes buat aku. Meskipun badanku besar tetap saja aku perempuan, iya kan Mak?” “Terus?” Seperti menonton pertandingan sepak bola emak begitu serius memperhatikan penjelasanku “Terus, Ko Aho memberiku ini.” Sambil aku keluarkan sejumlah uang dari Ko Aho tadi pagi sebelum berangkat sekolah. “Banyak banget Jum.” Sambil menerima uang yang kusodorkan dan emak mulai menghitungnya. “Itu untuk berjualan nasi kecap yang emak buat itu.”     “Kalau segini rasanya lebih dari cukup untuk modal dagangan Jum. Terus Jum kapan kita harus kembalikan uang ini?” “Nanti saja Mak kalau dagangan kita sudah dapat untung, ini pinjaman lunak Mak,” gayaku menirukan guru ekonomi di sekolah saat menjelaskan Emak manggut-manggut, “kalo gitu emak berenti kerja ya Jum?” “Ya iya Mak, kasian emak sekarang kan tenaganya tidak seperti dulu lagi,” lanjutku. “Iya Jum lagian emak sudah tidak nyaman lagi jadi tukang cuci, seringnya emak di fitnah merusak baju.” Rupanya niatku disambut baik emak... Alhamdulillah, mudah-mudahan berkah ya Mak.” “OyaMak satu lagi,” kataku. “Apa itu jum?” “Ko Aho bilang siap membantu pemasaran dagangan kita.” “Bismillah ya Jum mudah-mudahan laku, oya Jum tolong kamu catat yang akan emak beli,” katanya begitu bersemangat. Kulihat ada harapan baru di wajah emak seperti halnya aku berharap untuk bisa terus bersekolah lebih dari sekadar SMA… (*)   *Penulis adalah Pengajar SDN Krimun I Losarang Indramay  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: