Pesta Sastra

Pesta Sastra

Oleh Fathan Mubarak Meski karya saya ditolak panitia lantaran baru diterima setelah melewati batas waktu pengiriman, namun saya senang bisa menjadi undangan di Temu Sastrawan MPU. Kali ini diadakan di DKI Jakarta—di sebuah kota yang terlanjur jadi parameter hampir segalanya. Saya senang. Paling tidak, saya bisa berhari-hari suntuk bergumul dalam lorong-lorong budaya dan sastra Indonesia. Paling tidak, di sana, saya bisa berbincang langsung dengan sejumlah sastrawan yang sebelumnya hanya saya kenal nama dan karya-karyanya. Atau paling tidak saya sudah bermalam-malam di hotel kelas internasional dengan pagi yang sekadar sarapan dan memenuhi kewajiban dari panitia untuk mengunjungi beberapa destinasi wisata di Jakarta. Jangan bertanya urgensi MPU, sebab niscaya saya kerepotan menjawabnya. Acara dibuka di Kampung Betawi. Rerupa adat penyambutan tamu digelar. Peserta MPU dari Sembilan provinsi pun disuguhi aneka pertunjukan khas Betawi dengan diselingi musikalisasi-musikalisasi puisi. Saya dan beberapa teman duduk menikmati sambil sesekali bertegur sapa dengan peserta lain yang dikenal. Beberapa teman “mangkal” di Jogja ada juga di sana. Dalam ingar-bingar suasana, dalam pekat malam yang dikelilingi obor-obor menyala, dari kejauhan, tampak lelaki senja tengah berjalan menuju meja dengan kawalan beberapa panitia. Kepalanya putih meski tak memakai kopiah haji. Ia berjalan seraya memegangi sebuah tas kecil yang menyelempang di tubuhnya. Semula saya sangka Hatta Rajasa. Setelah agak dekat, baru saya tahu ia ternyata cerpenis Beni Setia. Aku pun menyalami dan bercakap-cakap sebentar dengannya. Sudah cukup lama rasanya kami tak bersua. Esok paginya kami dibawa oleh panitia ke Taman Menteng—satu seminar sastra sudah menanti di sana. Siang itu Jakarta ada di puncak kemaraunya. Dan sebentar lagi matahari akan ada tepat di atas kepala. Panas meranggas, baur dengan polusi kendaraan yang memadati jalanan. Barangkali sudah biasa. Yang bikin saya dan beberapa kawan agak kaget adalah bahwa forum ditempatkan di sebuah rumah kaca. Panasnya kota Jakarta pasti akan jadi berlipat ganda. Tapi apa boleh buat, rundown acara sudah menjadi semacam takdir yang digariskan oleh panitia. Benar saja, suara Damhuri Muhammad dan Aprianus Salam sebagai pembicara hanya samar terdengar. Keringat yang terus bercucuran dibadan telah benar-benar menyita perhatian. Dua AC yang dinyalakan seakan tak berdaya menghadapi terik matahari yang menembus ruangan. Alih-alih dibaca, print out makalah pembicara yang dibagikan oleh panitia pun berramai-ramai dipakai untuk mengipasi kepala. Saya sendiri memutuskan “walkout” dan ngadem di luar, di bawah rindang pepohonan sambil memainkan gitar yang saya bawa dari rumah dan saatnya nanti saya pakai untuk mengiringi pembacaan puisi. Lebih tepatnya mengkomposisi: puisi dan nada-nada klasik Cirebonan saya buat saling bersahutan, seperti dua kawan lama dalam satu pertemuan tak terduga. Saat genjrang-genjreng itulah saya melihat empat orang keluar dari seminar. Satu di antaranya tampak sibuk nyrucus tak karuan. Tak salah lagi, itu pasti Cokorda Sawitri, penyair perempuan dari Bali yang terkenal cerewet itu. Mereka mendekati. “Hei, Bung, kacau betul ini acara”. Aku hanya tersenyum. “Kacau orang-orang Jakarta. Bukan saja panasnya, diskusinya pun mirip penataran P4. Heran aku dengan mereka yang masih di dalam sana”. Ia terus berkata-kata dengan tanpa titik-koma. Ia lalu menyalakan rokoknya dan mendadak nyletuk: “Tapi kok bisa kau keluar lebih dulu dari aku?” Saya ngakak. Saya bilang ke Cok Sawitri: “Yang mestinya ada di dalam sana itu kalau bukan kecambah, bonteng, ya, semangka hibrida”. Sebentar kemudian Hamdy Salad ikut bergabung. Diam-diam kami pun membuat forum sendiri. Kian lama kian ramai. Setelah semua, menjelang Magrib kami kembali ke hotel. Baru malamnya balik lagi ke Taman Menteng untuk menyaksikan pementasan tiap-tiap Provinsi. Sebagai yang ada di tengah-tengah kota metropolitan Jakarta, kali itu Taman Menteng terlihat begitu archaic. Panitia tak perlu ngotot membangun suasana jika hendak “mentransendensikan” acara pembacaan/musikalisasi puisi. Yang menarik di antaranya adalah Mustofa W Hasyim. Sajak Mencari Malioboro yang lucu dan satir itu jadi lebih lucu dan satir saat dibacakan oleh penulisnya. Semua yang menyaksikan tak henti-hentinya mikir dan tertawa. Lalu ada juga Isbedy Setiawan, penyair Lampung yang bagi para pegawai Provinsi pasti sudah tidak asing lagi. Isbedy membacakan puisi: “Mengapa kau datang lagi/ Dan aku bertanya padamu/ Mengapa kau datang dan datang lagi”. Dengan penuh berapi-api ia menyindir tentara Israel di Palestina. Tapi di kuping saya, bait-bait puisi tersebut terdengar tengah juga menyindir tuannya: Temu Sastra MPU mana yang tanpa Isbedy? Seorang kawan bahkan menyebutnya sebagai penyair spesialis MPU. Dua hari kemudian saya sudah ada di Cirebon. Kembali saya bertemu dengan para penghuni Rumah Kertas sambil ngopi dan ngobrol sana-sini. Rencana kawan-kawan yang akan menggelar acara sastra membuat kami harus menghitung ulang jumlah honor menulis yang tak pernah diambil buat makan itu—termasuk uang hasil penjualan kaos dan buku-buku. Bingo! This is the real life. Another just is a fantasy. Pada akhirnya saya sampai di satu kesimpulan: di luar karya, pencapaian seorang sastrawan tidak boleh diukur dari riwayat pesta-pesta yang pernah dihadirinya sebagaimana yang sering dipamerkan para penulis di biografi singkat dalam antologi-antologi. Sebab di luar pesta—ini menjadi problem pokok sastra Indonesia, setidaknya menurut saya—yang ada hanya kecuekan dan keterasingan yang sudah seakan melembaga. Satu nasihat singkat dari sastrawan mashur Ernest Hemingway akan terus saya ingat: you must be prepared to work always without applause. (*)   @FathanMu, tinggal di Rumah Kertas

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: