Izin Bupati Diatur Perbup

Izin Bupati Diatur Perbup

Saat Ini Sedang Digodok Bersama Disperindag dan Satpol PP KUNINGAN - Jaminan bupati terkait tidak akan mengeluarkan izin penjualan mihol di bar hotel bintang tiga, bakal diatur dalam perbup (peraturan bupati). Perbup tersebut saat ini masih digodok bersama disperindag (Dinas Perindustrian dan Perdagangan) dan Satpol PP. “Perbup-nya sedang digodok. Masalah pengendaliannya di Satpol PP, sedangkan untuk izinnya di disperindag,” jelas Kabag Hukum Setda, Andi Juhandi SH kala dikonfirmasi Radar, kemarin (21/10). Menurutnya, secara aturan perbup dikeluarkan paling lama enam bulan setelah perda disahkan. Sehingga jika saat ini belum ada perbup, menurutnya tidak menyalahi aturan. Soal uji materiil Perda 6/2014 yang dilakukan Ormas Pekat IB, pernyataan Andi sama dengan apa yang pernah dilontarkan Wabup H Acep Purnama MH. Menurutnya, uji materi tersebut merupakan hak setiap masyarakat. Yang jelas, pihaknya akan siap untuk meladeni gugatan itu. “Tapi setelah kami telusuri, ternyata uji materiil dari Ormas Pekat IB belum teregistrasi. Kami juga dari pemda belum menerima surat tertulisnya dari MA,” terangnya. Jika nanti uji materi perda dimulai, Andi mengemukakan, substansi dari perda tersebut yang akan diuji. Apakah sesuai dengan Perpres No 74/2013 atau tidak. Apabila keputusan MA menyatakan Perda 6/2014 tidak sesuai perpres, berarti perda tersebut akan dibatalkan. Artinya, pengendalian dan pengawasan mihol akan langsung mengacu pada Perpres No 74. “Tapi untuk usulan perda mihol nol persen tanpa kecuali, tampaknya akan bertentangan dengan perpres. Pengalaman pada 2001 silam, perda nol persen dibatalkan waktu itu,” kata Andi. Terpisah, mantan Ketua Banleg DPRD Dede Sembada mengatakan, uji materiil Ormas Pekat IB ke MA itu sudah tepat. Karena itu merupakan hak konstitusi siapa pun yang telah diberikan ruang oleh UU 12/2011. Politisi asal PDIP tersebut mengulas kembali proses pembahasan raperda dulu sebelum jadi perda. Dikatakannya, tuntutan muncul akibat Keppres No 3/97 yang mengatur tentang mihol dicabut. Konsekuensi dari pencabutan itu, terjadi kefakuman pengendalian mihol di daerah. Sementara perda mihol nol persen yang pernah dibuat, dibatalkan MA. “Dalam rangka merespons aspirasi masyarakat, kemudian eksekutif mengajukan raperda ke legislatif dengan Perpres 74/2013 sebagai landasannya,” sebut Dede. Dalam menjelaskan keppres dan perpres yang sama-sama mengatur soal mihol, menurut dia, terdapat perbedaan cukup mencolok. Di keppres tidak diatur kewenangan bupati untuk membatasi. Sedangkan di perpres sebaliknya. Interpretasinya waktu itu, mihol hanya diperbolehkan di zona tertentu. “Saat itu kami dari banleg membahasnya dengan mengacu pada Perpres No 74, di mana ada toleransi di zona tertentu. Bahkan kami sampai meminta pendapat dari kejaksaan dan kepolisian. Tapi ternyata di pansus dipersempit lagi, hanya dibolehkan di bar hotel berbintang tiga,” ungkapnya. Penafsiran Dede waktu itu, pembatasan yang dilakukan bupati terdapat pengecualian di wilayah tertentu. Karena di perpres tidak disebutkan hotel berbintang tiga. Kembali ke persoalan gugatan perda, Dede menyebutkan, sebetulnya seminggu setelah pengesahan perda tersebut segera dilaporkan ke gubernur dan menteri untuk diklarifikasi. Batasannya 60 hari, apakah perda tersebut lolos klarifikasi atau tidak. “Yang jadi persoalan, apakah perda tersebut dilaporkan tidak ke gubernur dan menteri untuk diklarifikasi,” kata Dede. Karena menurutnya, jika tahapan itu ditempuh maka bukan saja yudicial review yang dilakukan, melainkan pula eksekutif review. (ded)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: