Perilaku Kekerasan di Sekolah

Perilaku Kekerasan di Sekolah

Oleh: Rini S Minarso SE SPsi MPsi *) Penulis adalah psikolog di Cirebon   BELUM lama ini publik dihebohkan dengan adanya video perilaku kekerasan yang dilakukan anak-anak SD di sebuah SD di Bukittinggi. Tentu saja korbannya juga anak SD yang menjadi teman kelasnya. Ada lagi berita siswa sebuah SMA negeri di Kota Cirebon mendapat perlakuan kekerasan dari kakak kelasnya. Si anak, yang kebetulan adalah putra dari seorang pengacara, akhirnya melaporkan hal ini kepada pihak yang berwenang (Sumber berita: Radar Cirebon). Perilaku kekerasan yang dilakukan oleh siswa tersebut dalam istilah psikologi disebut dengan bullying. Bullying sebenarnya terjadi bukan hanya pada masa-masa sekarang ini saja, banyak kejadian yang tidak kalah “seram” terjadi jauh sebelum kedua kasus di atas terekspos. Misalkan kasus kekerasan di sebuah sekolah tinggi pemerintahan di Bandung, yang berakibat kematian pada korbannya. Lalu, ada lagi kejadian di sebuah sekolah akademi pelayaran di Jakarta, yang juga mengakibatkan korbannya meninggal dunia. Sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan bullying? Mengapa terjadinya justru kebanyakan pada siswa sekolah, yang notabene memiliki metode pelajaran budipekerti seperti Agama dan PKN (Pendidikan Kewarganegaraan) serta Bimbingan Konseling? Adakah yang salah dengan pendidikan siswa di sekolah? Praktisi pakar bullying, Dan Olweus, mendefinisikan tentang bullying sebagai suatu kegiatan yang meliputi: adanya upaya melancarkan permusuhan atau penyerangan terhadap korban yang dianggap lemah atau tak berdaya dan menimbulkan efek buruk bagi fisik atau jiwanya (Preventing Bullying, Kidscape, UK, 2001). Victorian Departement of Education and Early Chilhood Development mendefinisikan bullying sebagai tindakan berupa gangguan atau ancaman keselamatan dan kesehatan berupa ancaman properti, reputasi atau penerimaan sosial seseorang yang dilakukan berulang dan tanpa henti, dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, baik secara fisik maupun psikologis. Karena yang dilukai tidak saja fisik tetapi juga psikologisnya, maka tidak heran jika kemudian didapati korban bullying mengalami tidak saja luka fisik, seperti lebam tubuh, luka, dan lain-lain, namun juga luka psikis seperti kecemasan, ketakutan, phobia sekolah bahkan tidak jarang yang menimbulkan depresi berkelanjutan. Depresi berkelanjutan jika dibiarkan akan membuat korban menjadi pribadi yang memiliki jiwa tidak sehat di kemudian hari. Seorang anak jika didapati mendapatkan perlakuan kekerasan secara fisik dan psikis terus menerus dan berulang oleh temannya (bermain atau sekolah), baik yang lebih besar maupun lebih kuat dengan tujuan untuk menyakiti dan si anak merasakan sakit atau terluka baik fisik maupun psikis hingga menimbulkan trauma, meskipun dengan alasan ‘bercanda’ oleh pelaku dapat dikatakan sebagai tindakan bullying. Lalu, mengapa hal ini bisa terjadi pada siswa sekolah? Adakah yang salah dengan pendidikan di sekolah? Sebenarnya, bullying bisa terjadi dimana saja, kapan saja oleh siapapun. Selama ada unsur, menyakiti secara fisik & psikis serta adanya ancaman yang terus menerus, dan biasanya dilakukan oleh “yang lebih kuat”. Namun karena sekolah adalah sebuah lembaga pendidikan yang notabene adalah berisi orang-orang terdidik, semestinya hal-hal yang bukan menjadi prilaku terdidik tidak terjadi di sekolah. Sehingga menjadi lumrah jika kasus bullying di sekolah menjadi lebih disoroti ketimbang kasus bullying di tempat lain. Apalagi jika pelakunya adalah anak-anak masih dibawah umur. Prilaku bullying disekolah dapat terjadi antara lain karena adanya tradisi & balas dendam (biasanya dilakukan oleh kakak kelas pada masa orientasi sekolah), adanya keinginan pada siswa untuk menunjukkan kekuasaan dan senioritasnya di sekolah, adanya rasa marah karena korban tidak berperilaku sesuai dengan yg diharapkan misal : tidak patuh, tidak hormat, bahkan hal-hal sepele seperti tidak mau tersenyum ketika bertemu, adanya rasa puas dan besarnya keinginan menyakiti, salah satunya karena disebabkan iri hati. Misal: korban adalah anak dari keluarga terkaya, terhormat, keluarga terpandang, bahkan juga memungkinkan si korban adalah dari keluarga sebaliknya, termiskin, paling tidak pandai, dan lain-lain. Kemudian nampak penampilan korban menyolok dan berbeda. Misal : anak yang tidak percaya diri, sangat pemalu, sangat pendiam, paling pandai, paling berbakat, paling gendut, paling kurus, paling cantik, paling hitam, dan lain-lain, tidak berperilaku dengan sesuai norma yang diakui. Misal: orientasi seksual berbeda, paling mengganggu di kelas, dll, serta perilaku dianggap tidak sopan. Melihat alasan dan sebab-sebab yang sudah disebutkan di atas, rasanya tidak adil sekali kalau menyebutkan adanya kesalahan ini hanya pada pihak sekolah saja. Lingkungan justru memegang peran besar terjadinya tindakan tersebut. Orang tua yang acuh pada kebiasaan anak sehari-hari, misalkan prilaku agresivitas anak yang mendapatkan pembiaran dari orang tua, dapat pula menjadi salah satu faktor pemicu terbentuknya pelaku bullying. Keacuhan orang tua misalkan membiarkan anak menggunakan barang-barang mewah di sekolah, memungkinkan anak menjadi salah satu korban bullying. Orang di lingkungan yang melihat kejadian bullying dan membiarkan, karena menganggap itu sebagai tindakan candaan, juga dapat disebut faktor yang mempengaruhi terjadinya bullying. Sehingga tindakan yang paling efektif yang dapat dilakukan adalah berupa tindakan bersama. Orang tua dapat menunjukkan, memberi contoh dan mengajari anak untuk selalu menjadi orang baik dan mampu berempati (untuk menghindarinya dari pelaku bullying) namun juga tidak takut melawan tindakan anarkis (sehingga juga terhindar dari kemungkinan sebagi korban bullying). Guru dapat membantu melakukan tindakan yang sama, mengajari dan menanamkan pendidikan budi pekerti di sekolah, memberikan punish dan reward. Serta jika memungkinkan selalu memberikan pelajaran empati. Jika perlu buat kesepakatan tertulis dengan berbagai pihak, tidak hanya agar pasti dipatuhi oleh semua komponen sekolah, tetapi juga agar memungkinkan anak, aman dari penindasan atau bullying. (*)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: