Menilik Keberadaan Perpustakaan

Menilik Keberadaan Perpustakaan

Mamang M Haerudin: Penulis adalah Pengurus PPPA Daarul Quran Cirebon   The health of our civilization, the depth of our awareness about underpinnings of our culture and our concern for the future can all be tested by how well we support our libraries  – Carl Sagan--   AKHIR September 2014 lalu, Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah (Bapusipda) Kota Cirebon menyelenggarakan event untuk pemilihan Duta Baca Cirebon, selain beberapa event lain yang menyertainya. Event ini menurut saya betapa penting, bukan hanya karena untuk menumbuhkan minat baca masyarakat Cirebon yang rendah, melainkan juga karena membaca merupakan salah satu tolok ukur kualitas SDM dan kemajuan sebuah daerah. Saya perhatikan, jumlah peserta saat itu tidak lebih dari 25 orang. Ini menandakan bahwa memang minat pelajar dan mahasiswa akan membaca betapa rendah. Padahal, membaca merupakan aktivitas paling penting seseorang untuk membuka jendela wawasan. Kondisi ini diperparah dengan minimnya jumlah perpustakaan. Kalau pun ada perpustakaan, kondisinya begitu memprihatinkan. Sulit, menemukan sebuah perpustakaan di mana di dalamnya disertai fasilitas yang representatif, lengkap, dan nyaman. Pun dengan perpustakaan di sekolah atau kampus. Volume dan koleksi buku-bukunya masih minim, bahkan buku-buku tersebut tampak tidak terawat, berdebu, dan lapuk. Padahal, perpustakaan yang dikelola pemerintah daerah dan sekolah/kampus adalah jantung pendidikan. Mustahil kiranya, jika kita menginginkan kualitas pendidikan maju dan berkualitas sementara minat baca masyarakatnya—terutama pelajar dan mahasiswa—rendah dan perpustakaan tidak menjadi tempat yang diminati. NASIB PERPUSTAKAAN KINI? Perpustakaan yang tidak representatif, koleksi buku-bukunya tidak variatif, fasilitas penunjang (akses internet, dan lain-lainnya) tidak tersedia, tata letak perpustakaan yang tidak artistik, SDM (pustakawan) langka, manajemen dan administrasi masih konvensional, dan lain sebagainya adalah beberapa masalah yang sering kali muncul di perpustakaan. Barang kali ada benarnya jika perpustakaan dan minat baca masyarakat, khususnya para pelajar dan mahasiswa masih rendah. Apalagi digempur dengan derasnya arus teknologi dan informasi. Karena sebagaimana kita tahu, kecanggihan teknologi dan informasi memiliki dua sisi; positif dan negatif, yang senantiasa beriringan. Kalau saja kecanggihan teknologi dan informasi dijadikan pemantik minat baca masyarakat, hal itu justru akan menjadi nilai tambah. Di sinilah pentingnya fasilitas penunjang seperti internet. Berbagai macam ketersediaan media sosial (facebook, twitter, dll) seharusnya bisa dijadikan media untuk menarik minat baca masyarakat. Media sosial dijadikan alat untuk menggerakkan, mempromosikan, dan membudayakan minat baca di perpustakaan. Media lainnya seperti SMS center, call center, BBM, WhatsApp, LINE, WeChat, dan lain sebagainya, bisa memudahkan dalam mensyiarkan budaya membaca. Para petugas perpustakaan mesti pandai mengikuti zaman. Oleh karena itu kualitas SDM bagi pengelola perpustakaan juga penting. Yang tak kalah penting, kepala perpustakaan dialah yang pantas menjadi teladan. Kepala perpustakaan yang rajin membaca, menulis, dan kajian ilmiah. Karena aktivitas membaca tidak bisa dilepaskan dari aktivitas membaca dan kajian ilmiah. Terlebih soal teladan, pelajar dan mahasiswa zaman sekarang adalah mereka yang super-kreatif. Mana mungkin budaya membaca (selain juga menulis dan kajian ilmiah) dapat diminati masyarakat, jika tidak ada teladan. Kalau tidak ada spirit untuk berubah dan berinovasi, saya khawatir, perpustakaan hanya akan menjadi gedung ‘horor’ yang semakin menakutkan. Na’uzubillah, sehingga mengakibatkan para remaja dan pemuda kehilangan ‘masa emas’-nya untuk mengeksplorasi diri melalui aktivitas membaca, menulis, dan kajian ilmiah. MEREMAJAKAN PERPUSTAKAAN Sejak lama saya mendambakan sebuah perpustakaan yang di dalamnya penuh kesegaran. Tidak seperti kebanyakan yang ada sekarang, berbentuk gedung formal, desain ruangan terkesan kaku, koleksi buku tidak up to date, dan sejumlah kekurangan fasilitas penunjang lainnya. Telah lama saya mendambakan sebuah perpustakaan yang multi-fungsi. Fungsi utamanya memang sebagai tempat membaca, tetapi di dalamnya disertai dengan desain ruangan yang santai dan menenangkan, tersedia kedai (sekedar makanan dan minuman ringan), dan juga pelayanan prima dari petugas perpustakaan, terutama kelembutan dan keramaahan. Namun daripada itu, pustakawan dan petugas lainnya di perpustakaan juga mesti diperhatikan hak-haknya. Pemerintah daerah mesti mengutamakan nasib mereka. Jangan sampai mereka dituntut menunaikan kewajiban dalam memberikan pelayanan yang prima, sementara hak-hak mereka masih jauh dari harapan. Walhasil, perpustakaan harus menjadi kembali jantung pertahanan kualitas dan masa depan sebuah daerah yang dominan. Karena, tidak ada peradaban di belahan dunia mana pun, yang maju dan berkualitas tanpa diawali dan disadari dengan pentingnya budaya membaca, selain dibarengi dengan budaya menulis dan kajian ilmiah. Wallahua’lam bis-Shawab. (*)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: