Antara Filsafat dan Puisi

Antara Filsafat dan Puisi

Sebuah Pengantar Oleh : Bakhrul Amal    aku bukan filsafat, bukan pula puisi, aku hanyalah kepingan kata, yang bebas kau tafsirkan sesukamu namun jangan kau hakimi statusku.....”   Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa puisi adalah bagian dari filsafat. Sebagian lainnya berujar jikalau filsafat itu sesungguhnya puisi yang di teorikan. Selain anggapan di atas, ada juga yang mengatakan sebetulnya filsafat dan puisi itu menunjukan titik di mana apa yang dinamakan dengan bahasa itu bekerja. Bahasa tergantung daripada bagaimana pengguna itu memperlakukannya. Bahasa terkadang kita pakai untuk mengurai fakta yang ujungnya adalah kesepakatan (agreement). Dalam keadaan yang lain, kita memperlakukan bahasa sebagai sarana untuk mengekspresikan diri untuk menemukan keunikan dan pengalaman pribadi. Bahasa memungkinkan kita menemukan jawaban atas pertanyaan yang praktis tetapi juga membukan wawasan serta prespektif baru. Bahasa melampaui antara ilmu pengetahuan dan seni.Ernie Lepore, profesor dari Universitas Rutgers adalah pemantik perbincangan ini. Sepintas keduanya benar, tetapi apakah memang begitu? Yang pasti, dalam lanjutan tulisan di bawah ini, paragraf kedua tidak begitu mencolok terpakai. Filsafat datang dari sebuah pertanyaan. Yaitu pada saat kita merasa bahwa apa yang sudah menjadi ‘berwujud’ tak dapat lagi memuaskan jawaban atas pertanyaan kita. Dari titik itulah, filsafat kemudian berimajinasi dan mencari bentuk ideal yang baru melaui proses perenungan yang dalam. Filsafat selalu menuntut alasan atau nonspekulatif. Sementara puisi berangkatnya dari perasaan. Puisi adalah catatan daripada kondisi yang dilihat untuk kemudian berkolaborasi dengan apa yang sedang ada di hati kita. Puisi meronta dan membahasakan kondisi tersebut dengan bahasa yang tak pernah bisa dibahasakan. Oleh karenanya, tidak jarang, puisi membentuk makna-makna yang setiap orang memiliki kebebasan untuk menafsirkan artinya sesuai dengan kehendak masing-masing. Tidak ada unsur ‘tirani akademik’ dalam puisi. Persamaan keduanya, filsafat dan puisi, terletak hanya pada sisi pertanyaan yang dibentuk atas dasar kegilisahan. Cukup. Sisanya, berbeda. Seorang pemikir Spanyol abad 80-an, George Santayana, memiliki sebuah definisi menarik, yang mungkin bisa memberikan kita penerangan terhadap perbedaan antara filsafat dan puisi. Suatu ketika dia mengatakan bahwa, “filsafat itu sesuatu yang beralasan dan berat, sedangkan puisi adalah sesuatu yang bersayap, berkedip dan terinspirasi......itu adalah poin besar/penting untuk ‘kehidupan memahami kehidupan’, ketinggian puisi adalah berbicara dengan bahasa para dewa...” Apa yang dikatakan oleh Santayana sedikit banyak ada benarnya. Jikalau puisi adalah bahasa para dewa, maka, satu hal yang tidak mungkin dilakukan oleh puisi adalah memberikan pernyataan yang membuat terluka orang lain. Puisi setidaknya harus indah dan mengandung kebahagiaan serta niat pembebasan. Oleh karenanya, dalam tragedi Auschwitz yang begitu negatif dan nyinyir, Adorno mengatakan, “...setelah Auschwitz, puisi tak boleh lagi ditulis. Karena puisi terlalu indah dan berbunga-bunga untuk melukiskan kepahitan dan penderitaan korban yang demikian hebat...” Perbedaan tersebut bukanlah menjadi alasan untuk kemudian kita sekonyong-konyong memisahkan antara filsafat dan puisi. Nyatanya, dalam beberapa kesempatan, filsuf terkesan menemukan kemudahan untuk menggambarkan idenya melalui bahasa yang puitis. Kolaborasi keduanya pun, tidak bisa kita simpulkan bahwa yang ini menyambi yang itu. Dalam bahasa akademik, mungkin, gabungan keduanya dikenal dengan multidisipliner. Ambillah contoh dari apa yang dituliskan oleh Lao Tzu mengenai paradoks. Esensinya hampir sama dengan apa yang sering didengungkan Hegel. Lao Tzu tuliskan, “..Seorang pria yang lentur dan lemah ketika hidup, tapi sulit dan kaku ketika mati. Rumput dan pohon-pohon yang lentur dan rapuh ketika hidup, tapi kering dan keriput saat mati. Dengan demikian keras dan kuat adalah teman-teman kematian; lentur dan lemah adalah teman-teman hidup...” Pada bagian lain, Philosophical Society menjelaskan, jikalau penyair juga dapat masuk dalam panggung filsafat. Hal itu terjadi ketika penyair terjebak untuk mulai meninggalkan gayanya dan juga bentuknya. Penyair berbalik menguatkan deskripsi dan metafornya untuk sebuah tema yang memiliki power besar seperti hak dan yang baik, kematian dan keabadian, serta juga sketsa dari sebuah alam. Mereka merasa, (secara tak sadar) puisi tidak memiliki kemampuan mempertahankan argumen dan mengakibatkan mereka ‘dijuluki’ spekulatif. Pada akhirnya, apa yang diuraikan dalam ‘kolom sastra’ ini akan menjadi sesuatu wacana yang menarik. Yang mungkin sampai pada titik akhir pun, tidak akan pernah kita temukan ujungnya.Namun setidaknya, dari apa yang tersirat di atas, kita menjadi tahu bahwa puisi dan filsafat dapat pula bergabung untuk menjelaskan sebuah ide besar. Karena jika kita sadar, filsuf pun seringkali menggunakan sepatah kalimat puitis untuk meringkas gagasan yang besar, seperti Descartes dengan “cogito ergo sum”, Sartre melalui “\'existence précède l\'essence”, Zizek menyoal “first as tragedy, then as farce”-nya. (*)   Penulis adalah sahabat ngopi di Rumah Kertas

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: