Mulut Kami Enggan Bersuara

Mulut Kami Enggan Bersuara

Cerpen oleh: Aka Seharusnya bapak bahagia, karena selain gerobaknya masih baru dan kokoh usahanya juga lancar. Tak sehari pun bapak libur jualan meskipun hari Minggu. Ya, seharusnya bapak bahagia. Namun mengapa seminggu belakangan ini raut mukanya tampak muram dan sedih? Setiap kali memandang gerobak bakso raut muka bapak tampak muram dan sedih. Padahal, itu adalah gerobak bakso buatannya sendiri. Yang sangat ia bangga-banggakan, karena dengan bahan-bahan serba murah dan peralatan seadanya mampu membuat gerobak bakso yang besar dan kokoh. “Untuk mendapatkan hasil maksimal kadang tak perlu biaya mahal. Asal otak kita diputar,” katanya, dua minggu yang lalu, ketika ibu memuji hasil pekerjaannya. Banyak tetangga terkagum-kagum melihat gerobak itu. Karena tampak lebih besar daripada gerobak-gerobak bakso yang biasa keliling di kota kami. Juga tampak sangat kokoh, karena tak sedikit pun terdengar keriat-keriut saat didorong menanggung beban berat sebagaimana gerobak yang mulai usang dan rapuh. Ukuran gerobak itu sebenarnya standar saja. Sama besarnya dengan gerobak bakso pada umumnya. Mungkin karena masih baru dan bersih, maka terlihat lebih besar. Bukankah setiap kali melihat barang yang masih baru akan selalu tampak ada lebihnya dibandingkan barang usang? Aku sering membayangkan jika gerobak bakso itu mulai rusak dengan catnya yang mengelupas di sana-sini. Kacanya buram oleh uap, lemak dan jarang dibersihkan. Juga tulisan-tulisan yang terdapat di kaca atau badan gerobak tak lagi utuh menunjukkan merek dagangan yang dijual dan siapa penjualnya. Tentu, kondisi demikian akan berpengaruh mengurangi kesan “besar dan kokoh” gerobak tersebut. Siang selepas pukul 12 bapak biasa duduk-duduk di teras. Itu tandanya ia sudah merampungkan semua pekerjaan rutinnya sepulang dari pasar tadi pagi: meracik bumbu, membuat bulatan bakso, menyeduh sohun, mengiris daun cesim dan seledri serta menata semua itu dalam gerobak. Ia akan duduk di situ hingga tiba waktunya berangkat jualan, pukul 14.00. Mungkin, selain istirahat juga waspada jika terjadi apa-apa pada gerobak. Sebab di dalamnya ada kompor gas menyala dengan api kecil merebus kuah bakso dalam dandang. Tepat pukul 14.00, bapak akan keliling jualan menyusuri gang demi gang. Dan selalu pulang menjelang magrib. Kecuali jika terhambat hujan atau sedang apes sepi pembeli, maka isya—habis atau masih banyak sisa, ia akan pulang. Kebiasaan bapak duduk di teras, memandang nanap gerobak dengan raut muka muram dan sedih, terus berlanjut pada hari-hari berikutnya. Diam-diam timbul perasaan khawatir pada bapak. Membiarkannya terus bermuka muram akan berpengaruh pada kesehatannya. Padahal kesehatan itu harus dijaga. Jika sakit, siapa yang mencarikan makan dan biaya sekolah? Aku sudah beberapa kali memberitahu ibu bahwa bapak sering duduk melamun di teras. Tapi ibu tak pernah menanggapi serius. “Itu bukan ngelamun. Itu istirahat. Atau mungkin ngantuk. Kamu kan nggak tahu bagaimana repot dan capeknya bapak. Bangun subuh, ke pasar, sibuk  mengurus dagangan. Sementara ibu tidak bisa membantu karena repot dengan cucian, masak dan mainan-mainan kamu yang berantakan!” Memang benar apa yang dikatakan ibu. Aku tidak tahu  betapa repotnya bapak bekerja sendirian. Sebab, ketika ia pulang dari pasar aku berangkat ke sekolah. Aku duduk di kelas enam. Pulang dari sekolah sekitar pukul 12.30. Kadang lebih. Tergantung seberapa cepat aku jalan kaki dari sekolah menuju rumah. Sebab, tidak jarang, aku melihat-lihat dulu mainan atau ikan hias di rumah teman yang kulewati. Dan hari Minggu? Pada hari Minggu aku pun tak sempat memerhatikan kesibukan bapak. Pagi-pagi sehabis sarapan aku langsung ngelayap ke rumah teman. Bermain bola atau layangan sampai siang menjelang makan. Tiba-tiba terlintas dalam be­nakku: ja­ngan-jangan ba­pak bersedih kare­na perilaku di­riku. Tapi, bu­kankah setiap kali aku dekati bapak—jika hari Minggu ke­betulan ti­dak main ke ma­na-mana, sa­at ia sedang si­buk bekerja, ba­pak malah menyuruhku menjauhinya? Seakan keha­diran anak se­u­muranku tak layak mem­ban­tunya se­di­kit meringankan beban per­kerjaan. Dan hanya menimbulkan kegaduhan atau jadi penghambat. Begitulah. Maka aku tak pernah merasa bersalah walau tidak sekali pun membantu pekerjaan bapak. *** Sejak menyadari perilaku diriku yang “pemalas” itu, aku langsung mengubah beberapa kebiasaan burukku. Sehabis sekolah aku langsung ke rumah. Tanpa acara main atau mampir ke rumah teman lagi. Mainan, buku serta sepatu yang biasanya berantakan kini selalu kurapikan tersimpan pada tempatnya. Juga pada hari Minggu aku tidak ke mana-mana. Bapak dan ibuku terheran-heran. Dan pada Minggu siang itu ibu menyelidikku. Hingga bapak yang perhatiannya sedang tercurah meracik bumbu-bumbu untuk dicampur dengan daging yang sudah lumat digiling bersama tepungnya, ikut andil bicara. “Kamu ada masalah dengan temanmu?” tanya ibu, awalnya. “Tidak. Biasa saja. Kenapa sih, Bu?” “Ibu perhatikan sudah beberapa minggu ini kamu jadi penurut dan betah di rumah. Dan  jarang sekali main ke tempat teman. Benar tidak ada masalah?” “Benar, Bu. Baik-baik saja.” Suaraku mantap karena memang begitu kenyataanya. Aku tidak punya masalah apa pun dengan semua temanku. “Jangan bohong…!” kata bapak. “Suer! Sumpah!” “Hus. Jangan sumpah-sumpahan. Apalagi kalau memang iya!” ibu tertawa. Ya, ibu tertawa. Lepas. Tapi bapak tidak. Sikap bapak mendadak dingin dan raut mukanya bertambah muram. Kedua tanganya yang belepotan tepung bercampur serpihan daging, lemas terjuntai ke baskom adonan bakso. Puluhan bakso yang mengambang bulat di atas air yang meletup-letup semakin panas dibiarkan saja. Padahal seharusnya diangkat, ditiriskan. Itulah yang membuatku spontan saja menegur bapak. “Kenapa sih, Pak? Akhir-akhir ini banyak ngelamun?” “Ng…ng…nggak!” “Berani sumpah?” tantangku. “Hus! Sumpah lagi disebut-sebut. Saru! Tidak baik!” seru ibu. Sungguh sangat tidak diduga, ibu tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang membuatku lega. Sekaligus memancing rasa penasaran. Pertanyaan itu ditujukan pada bapak. “Apa benar sering melamun, Pak? Aku di dapur terus jadi tak pernah lihat ke teras.” Bapak mengeluh. “Benar kan, Bu? Bapak tidak menjawab berarti iya.” Bapak tampak tersudut. Mulutnya diam tapi gerak-geriknya gelisah. Kemudian ia sadar harus secepatnya mengangkat dan meniriskan bulatan bakso. “Sudahlah! Jangan banyak tanya! Lihat, kerjaanku masih numpuk!” bentak bapak. Aku dan ibu terdiam. Dan heran. Tidak biasanya bapak emosional begitu. “Maaf, Pak. Soalnya sudah berkali-kali Rahmat cerita bahwa Bapak sering melamun di teras. Rahmat sering lihat itu kalau pulang dari sekolah…” Bapak diam saja. Tetap sibuk membuat bulatan bakso dengan sendok sebagai alat pencetaknya. *** Sekarang ibu mulai percaya kata-kataku bahwa bapak suka melamun di teras. Lebih-lebih ketika dengan diam-diam ibu mengintip dari balik gorden, di ruang tamu. Ibu menceritakan hal itu kepadaku. “Jadi ibu sampai mengintip bapak?” tanyaku. “Ya. Soalnya ibu penasaran. Apalagi setelah di hari Minggu itu bapak sampai marah…” Lalu ibu menyatakan, jika ada waktu senggang, akan menanyakan langsung pada bapak oleh sebab apa jadi sering melamun. Siang itu kami ngobrol sambil nonton TV. Bapak baru saja berangkat jualan. Bunyi “teng-teng-teng” mangkok yang dipukulnya dengan sendok masih terdengar. Tapi semakin samar. Acara sinetron yang digemari ibu terpotong iklan. Ibu buru-buru menjangkau remote. Memilih chanel lain. Sinetron. “Kurang bagus,” katanya. Aku juga muak dengan sinetron itu, juga sinetron kesukaan ibu. Bagiku, semua cerita sinetron itu banyak bentakan dan air mata. Jarang ada silat atau kungfu-nya. Membosankan! Aku merajuk pada ibu agar memilih chanel lain lagi. Kali ini, film animasi dari negeri seberang, tetapi gambarnya tidak jelas dikerubuti “semut”. Dipindah lagi ke chanel lain. “Huh! Semua membosankan. Iklan melulu. Gosip melulu. Sinetron melulu!” gerutuku. “Ya sudah. Supaya adil kita pilih berita saja,” putus ibu seraya memijit salah satu angka pada remote. Kami pun menonton berita. Diam. Tak lagi banyak ngobrol atau cerita. Sehingga satu demi satu berita bisa kami cerna dengan baik. Ketika iklan, ibu tidak tertarik mengganti ke chanel lain sebagaimana biasanya. Kami terus memantau berita-berita di TV dengan diam dan penuh perhatian. Lalu kami berdua terpaku dan tercenung tatkala pembaca berita itu mewartakan bahwa sudah sejak lama para pedagang mencampurkan bahan-bahan berbahaya seperti boraks, formalin, pemutih, pewarna pakaian dan lain-lain pada aneka makanan serta jajanan misalnya snack, kerupuk, mi (basah maupun kering), bakso dan lain-lain. Dijelaskan, semua bahan terlarang itu secara perlahan memicu timbulnya kerusakan pada beberapa organ tubuh bagian dalam seperti radang tenggorokan, kanker hati, jantung dan beberapa jenis penyakit berat lainnya yang sulit disembuhkan. Seusai berita itu aku dan ibu menghela napas. Itu bukan berita baru. Tapi baru sore itu aku dan ibu mendengarkannya dengan “hati”, dengan diam dan penuh perhatian. Tiba-tiba aku ingin melihat bagaimana reaksi ibu. Sebab tadi ada disebut kata “bakso”. Ternyata ibu melakukan hal yang sama. Ibu pun melirik ke arahku. Kami saling pandang, saling tatap. Sorot mata kami seolah bertanya: bagaimana dengan bapak? Tapi, mulut kami enggan bersuara… (*) *) Penulis adalah Aka adalah nama pena dari Abdul Kodir. Penulis lahir di Kuningan, Jawa Barat, sedang menulis novel Rumah Besar dalam Rumah Kecil.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: