Contempt of Parliament di DPR

Contempt of Parliament di DPR

PARA ahli hukum tata negara (HTN) terhenyak dengan pembentukan pimpinan DPR tandingan yang baru saja dilakukan oleh KIH (Koalisi Indonesia Hebat). Bahwa HTN memang bersifat normatif dalam arti ketika sebuah peristiwa hukum dalam ketatanegaraan terjadi, seharusnya ada landasan hukum yang kukuh, tidak multitafsir. Pembentukan pimpinan tandingan itu tidak memiliki landasan hukum. Apalagi, ketika pembentukan pimpinan dewan itu, KIH yang berhadapan dengan KMP (Koalisi Merah Putih). Dua koalisi sarat kepentingan golongan tersebut menunjukkan terjadinya tarik ulur kekuasaan yang tidak didasarkan pada logika yang benar. Bagaimana tidak, ketika pemilihan pimpinan DPR dan MPR telah dilakukan melalui proses yang benar serta KIH menerima hasil pemilihan tersebut tanpa protes, artinya pimpinan DPR yang sudah ada itu konstitusional. Menyimak pembentukan pimpinan DPR tandingan, tindakan itu diawali dengan mosi tidak percaya kepada pimpinan DPR yang ada. Untuk mosi tidak percaya itu saja, tidak ada dasar hukumnya. Legal reasoning mosi tidak percaya adalah ketika ada indikasi atau petunjuk kuat bahwa pelaksanaan tugas yang menjadi tanggung jawab dari yang dimosi menyimpang. Pimpinan DPR yang ada dan sudah dilantik secara resmi baru beberapa hari berjalan. Bau minyak harum pada jas pelantikan belum hilang. Artinya, belum ada penyimpangan. Indikasi saja tidak ada. Jadi, dasar mosi tidak percaya atas kepemimpinan DPR yang baru saja dilantik itu tidak ada. Pasal yang menunjukkan mosi tidak percaya internal DPR, baik dalam UUD 1945 maupun UU tentang kelembagaan DPR pun, tidak ada. Jadi, menurut HTN, tindakan itu inkonstitusional karena tidak ada aturannya dan pasti menghambat kinerja dewan. Bahwa DPR menurut HTN mempunyai tiga fungsi utama, yaitu legislasi, pengawasan, dan anggaran, sampai saat ini tiga fungsi itu belum berjalan sama sekali. Bahkan, pembentukan alat kelengkapan dewan pun masih diproses dan belum final. Bagaimana ada mosi tidak percaya yang dasarnya adalah implementasi dari kinerja? Apa yang tidak dipercayai, wong DPR belum bekerja? Apalagi ketika dasar pembentukan yang menjadi refleksi dari kubu-kubuan, yang dalam bahasa politik diperhalus menjadi koalisi itu. KIH –yang merasa bahwa kekuasaan strategis di parlemen dikuasai KMP– ketakutan ketika nanti arah kinerja DPR yang memproduksi UU itu tidak sejalan dengan pihak eksekutif. Namun, itu semua sebenarnya menurut HTN adalah perasaan. Ketakutan dan perasaan adalah sesuatu yang bersifat maya atau semu. Tidak terukur dan tidak bisa diukur. Manakala hal tersebut direfleksikan dalam tindakan konkret, itu adalah tindakan yang berkualifikasi inkonstitusional. Bahwa bahasa yang selama ini digunakan untuk menghadapi permasalahan yang bersumber pada perasaan itu seluruhnya bahasa politis, benar, DPR adalah lembaga politis. Namun, ketika diaplikasikan, harus diketahui pasti bahasa politis bersifat elastis. Tidak akan dapat ditemukan ukuran kuantitatifnya dan sulit diapresiasi berdasar landasan hukum yang pasti. Itulah manfaat dari aturan yang memberikan jaminan atas terjemahan yang bersifat kualitatif. Landasan politis itu, misalnya, pembentukan pimpinan DPR tandingan sebenarnya merupakan bentuk dari blunder politik. Hal tersebut akan membawa akibat runyamnya Kabinet Kerja Jokowi dalam memperoleh dukungan parlemen. Namun, blunder politik yang dimaksud masih belum terjadi dan itu masih sebatas perasaan. Demikian pula ukuran runyam seperti apa, juga abstrak. Pembentukan pimpinan DPR tandingan juga merupakan buah dari tersumbatnya komunikasi politik. Bentuk dan akibat dari komunikasi politik yang dimaksud juga tidak bisa dicarikan ukuran konkretnya. Ketentuan yang didasarkan pada UUD 1945 maupun UU dan peraturan perundangan di bawahnya tidak dapat menjangkau komunikasi politik itu serta bagaimana mengatasi blunder yang terjadi. Pada aspek lain, dinilai bahwa ketika ada pimpinan DPR yang berkinerja, akan melakukan monopoli kekuasaan, yang artinya memprihatinkan bagi perkembangan demokrasi. Bagaimana bentuk perkembangan demokrasi yang dijadikan dasar keprihatinan juga abstrak dan tidak ada ukuran pasti. Apakah demokrasi yang selama ini berkembang nyata terhambat dengan tidak dibentuknya pimpinan DPR tandingan, tentu dipertanyakan. Bukankah dengan pembentukan pimpinan tandingan justru berakibat menghambat perkembangan demokrasi? Gontok-gontokan yang terjadi di DPR itu telah mengeliminasi prinsip musyawarah mufakat yang seharusnya dijadikan dasar dalam mengelola parlemen. Sementara pengelolaan kekuasaan yang menjadi dasar dari kinerja parlemen lebih cenderung dimaknai sebagai proses dan pertunjukan adu kekuatan. Ketika musyawarah mufakat tidak ditemukan dan sebagai langkah ke hilirnya dilakukan voting, itu adalah pilihan yang secara normatif dibenarkan oleh konstitusi. Namun, itulah yang dinilai tidak benar oleh pihak yang kalah voting. Konkretnya, ketika hal itu diterapkan serta pihak KIH dinyatakan dan ”merasa” kalah, mengapa refleksinya adalah pembentukan pimpinan tandingan. Hal demikian, di samping tidak ada dasar hukumnya, menyalahi pakem atas solusi ketika musyawarah mufakat tidak ditemukan dan konsekuensinya harus voting. Intinya, yang terjadi di DPR saat ini dengan pembentukan pimpinan tandingan itu menjadi drama politik yang inkonstitusional. Dalam bahasa HTN, tidak ada dasar hukum yang membenarkan atau memberikan legitimasi. Sepanjang yang dapat dianalisis atas peristiwa tersebut adalah berdasar kekuasaan yang direfleksikan pada pertunjukan kekuatan yang tidak ada ujungnya. Dalam pandangan HTN, pembentukan pimpinan DPR tandingan itu dapat dikualifikasikan sebagai pelecehan terhadap parlemen (contempt of parliament). Pelecehan yang tidak dipandang pada prosesnya, namun pada akibatnya. Mengapresiasi karut-marut demikian, seharusnya dapat diaplikasikan ketentuan tentang contempt of parliament yang secara universal dijadikan dasar hukum atas tindakan yang melecehkan parlemen. Istilah itu sebenarnya dimaksudkan untuk menunjuk perilaku yang merupakan penghinaan atau pelecehan terhadap parlemen. Pembentukan pimpinan tandingan kendatipun tidak secara kasar merupakan penghinaan, tetapi dengan menghambat kinerja sudah lebih berat daripada penghinaan secara kasar. Memang secara normatif tidak ada ukuran yang dapat dijadikan dasar untuk menilai suatu perilaku contempt of parliament. Apalagi aturan normatif. Namun, kekosongan pengaturan itu memberikan dampak negatif terhadap klasifikasi perilaku untuk kategori contempt of parliament. Logika hukumnya, DPR sebagai institusi demokrasi yang merefl­eksikan kedudukan dan fungsi­nya sebagai pilar legislatif dalam HTN seharusnya menjadi pilar utama dalam mengim­plementasikan nilai demok­rasi. Begitu juga dalam menja­lankan hubungan antara tiga pilar pemegang kekuasaan kenega­raan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif, DPR harus dapat berkinerja dengan baik. Apalagi, kedudukannya adalah wakil rakyat yang dipilih secara masal, harus menjadi contoh dalam penerapan demokrasi dengan segala implikasinya. Tindakan pembentukan pimpinan DPR tandingan berkualifikasi menghambat kinerja dewan. Karena itu, pelakunya layak dikenai ketentuan yang bersumber pada etika, yaitu contempt of parliament tersebut. (*) *) Penulis adalah guru besar hukum tata negara. Tulisan ini diambil dari Jawa Pos (Radar Cirebon Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: