Sulit Air, Biaya Produksi Membengkak

Sulit Air, Biaya Produksi Membengkak

SUMBERJAYA - Meski hujan sudah mulai turun di sejumlah wilayah di Majalengka, namun bukan berarti ketersediaan air bagi areal lahan pertanian tercukupi. Hal tersebut seperti terjadi di areal pertanian di Desa Panjalin Lor Kecamatan Sumberjaya yang masih kekurangan air. Imbasnya, para petani di desa tersebut kembali memanfaatkan pompa air. Terlebih pasokan air dari hulu Sungai Cidongsong mulai didistribusikan yang dimanfaatkan para petani setempat. Salah seorang petani di wilayah Panjalin Lor, Kusnadi (53) mengatakan, musim kemarau kali ini dirinya sengaja tidak mengganti padi dengan tanaman palawija. Alasannya, lahan yang dimilikinya seluas satu 3/4 hektare tetap ditanami padi lantaran hasil produktivitas panen masa tanam sebelumnya kurang begitu maksimal. Oleh karena itu, musim ketiga (kemarau) kali ini dirinya sengaja kembali menanam padi terlebih risiko yang dihadapi sudah menjadi pertimbangan dirinya. “Untuk itu, pertimbangan ini saya jalankan tetapi harus ada sarana seperti pompa penyedot air. Namun kondisi ini sedikitnya membuat saya kerepotan karena ketersediaan air sangat sulit didapat,” tuturnya, Minggu (2/11). Menurut Kusnadi, pasokan air yang datang dari hulu Sungai Cidongdong dimanfaatkan para petani setempat dengan menggunakan pompa penyedot. Minimnya sarana drainase menjadi penyebab petani sebagian menggunakan alat tersebut. Modal yang dikeluarkan petani pun sangat tinggi karena harus membeli premium dengan jumlah takaran cukup banyak. Ia mengakui, dari luas areal pertanian miliknya saja bisa menghabiskan 20 liter premium dalam satu hari semalam. Jika dikalkulasi, biaya yang dikeluarkan dirinya pada musim kemarau kali ini sebanyak Rp5 juta. “Biaya segitu berikut biaya perawatan seperti pupuk sampai dengan modal untuk pompa penyedot air yang sehari semalam menghabiskan 20 liter bensin. Itu belum tentu bisa balik modal saat panen mendatang karena pertumbuhan padi tidak normal akibat kurangnya ketersediaan air,” ujarnya. Ia mengungkapkan, padi yang tumbuhnya normal biasanya bisa mencapai ketinggian hampir satu meter. Berbeda sekarang, saat usia padi sudah sekitar dua bulan itu hanya mampu tumbuh setengah meter saja. Padi miliknya sudah mulai berisi buliran dan perlu air yang cukup banyak. “Sekarang ketinggian padi hanya setengahnya saja. Tetapi sudah mulai ngapat (berbuah) jadi butuh air yang banyak. Apalagi lahan sudah retak-retak. Saya menanam jenis Ciherang dan infari. Sekarang usianya sudah dua bulanan dan satu bulan lagi panen. Untung-untungan bisa balik modal tapi daripada lahan pertanian dibiarkan,” tandasnya. Sementara itu, Kepala Desa Panjalin Lor Dulmanan mengaku banyak sarana irigasi di wilayahnya rusak dan tidak berfungsi. Karenanya, setiap memasuki musim kemarau menyebabkan petani kesulitan mengakses air untuk kebutuhan tanaman padi maupun palawija jenis kacang hijau terutama saat mulai musim tanam. Namun akibat minimnya sarana irigasi membuat petani harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk pemanfaatan pompa penyedot air guna areal lahan pertaniannya. Soal jenis tanaman yang dipilih para petani di musim kemarau kali ini, pihaknya tidak begitu mempersoalkan. “Karena namanya juga petani terus memanfaatkan lahan pertaniannya daripada dibiarkan tidak digarap. Memang kami sudah meng­imbau kepada para petani dimusim ketiga itu agar bisa menanam jenis tanaman palawija. Namun tetap saja karena ketersediaan sarana seperti minimnya drainase membuat petani harus mengeluarkan biaya cukup besar,” pungkasnya. (ono)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: