Kepahlawanan, Buah dari Ketaatan yang Prima
(Untuk Bekal Renungan di Hari Pahlawan) Oleh: Dudi Farid Wazdi Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kecamatan Sliyeg dan Kecamatan Widasari Kabupaten Indramayu. Alumnus Ponpes Darusalam Ciamis TAK terbayang, bagaimana para pendahulu negeri ini berjuang merebut kemerdekaan dari para penjajah yang unggul dalam segala hal. Tak terbayang pula bagaimana mereka bisa tetap semangat, tetap kuat, tetap stabil dalam niatnya sehingga tetap terus mencurahkan segala daya fikir dan daya fisiknya untuk mengusir penjajah laknat. Padahal, beliau-beliau itu berjuang tanpa ada jaminan materi yang akan didapat, seperti pada umumnya manusia zaman sekarang ketika hendak berbuat (bekerja dan atau bahkan berperang). Bandingkan pula dengan kita yang kadang malas berangkat bekerja (meneruskan cita-cita pahlawan), enggan menjadi pelayan rakyat dengan pelayanan ‘prima’ (hanya alakadarnya, tekstual dan bahkan kaku) padahal setiap bulan ada materi yang tetap sebagai imbalannya. Para pahlawan, dengan alat perang seadanya mampu menyemangati jiwa sehingga tetap memberikan kekuatan fisik yang dalam perhitungan matematis terasa tidak mungkin. Keadaan ini jelas adalah buah dari keikhlasan dalam berbuat. Ia bisa menata diri. Dan itu hanya bisa timbul dari hati yang tenang (tidak kacau). Karena mampu berbuat ikhlas sudah dipastikan ia pun berarti memiliki ketaatan yang prima terhadap Tuhannya. Segala sesuatunya hanya bersandar pada keridloan-Nya semata, tak ada tujuan dan target yang lain selain bentuk dan bukti dari ketatan yang prima terhadap Tuhan-Nya. Mustafa Shadiq ar Rifa’i dalam Wahyul Qalam menulis “Kesalahan paling fatal adalah bila engkau berusaha mengatur dan menata kehidupan sekitarmu, tapi engkau membiarkan kekacauan di hatimu.” Ikhlas yang diartikan dengan usaha maksimal tanpa disertai putus asa itu senantiasa menjadi aliran energi yang tiada terputus sehingga pada akhirnya menghasilkan ketentraman dan kemenangan. Berbicara tentang keikhlasan. Sungguh! Keikhlasan menghasilkan keberanian yang tiada terkira. Kita diingatkan, misalnya: Bung Hatta yang tak gentar dikucilkan dari lingkungan dan bahkan dipenjara. Bung Karno yang lantang dengan gagasan briliannya dihadapan Majelis PBB tentang konsep Non-Bloknya (keprihatinan beliau terhadap perang dingin yang membikin was-was masyarakat dunia). Kemudian, Bung Tomo, yang memiliki keberanian tiada terkira ketika mengobarkan perang kepada KNIL yang padahal senjatanya teramat lengkap itu. Beliau menghadapinya dengan keikhlasan, keimanan dan semangat yang kuat, tekad yang tetap sehingga pada ujungnya bisa menghalau rintangan dan memporak-porandakan nafsu jahat penjajah. Nah, atas dasar keyakinan dan mental itulah pada akhirnya moment itu dijadikan sebagai Hari Pahlawan. Ibnu Qayyim al Jauziah, dalam bukunya Madaarij as Saalikiin menulis, “Sesungguhnya dalam hati terdapat sebuah robekan yang tidak mungkin dapat dijahit kecuali dengan menghadap penuh kepada Allah. Di dalamnya terdapat juga yang tidak mampu diobati kecuali dengan menyendiri bersama Allah. Di dalam hati juga ada sebuah kesedihan yang tidak akan mampu diseka kecuali dengan kebahagiaan yang tumbuh karena mengenal Allah dan ketulusan berinteraksi dengan Nya. Di dalam hati juga terdapat sebuah kegelisahan yang tidak mampu ditenangkan kecuali dengan berhimpun karena Allah dan pergi meninggalkan kegelisahan itu menuju Allah. Di dalam hati juga terdapat gejolak api yang tidak dapat dipadamkan kecuali oleh keridhaan akan perintah, larangan, dan keputusan Allah, yang diiringi dengan ketabahan dan kesabaran sampai tiba saat perjumpaan dengan-Nya. Kita bersyukur kepada Allah SWT, sebenarnya sedari dahulu negeri ini banyak dihuni oleh orang-orang yang taat kepada-Nya sehingga tercapailah keberkahan yang berujung pada kemerdekaan. Sungguh! Teramat disayangkan kalau kita tidak dapat mewarisi sifat mulia para pahlawan dan perjuangannya. Dalam hal ini kita diingatkan dengan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah “Akibat ternikmat dalam kebaikan adalah menghadirkan kebaikan pula. Begitu pula kemaksiatan akan mengundang kemaksiatan-kemaksiatan yang lain. Nothing personal, karena semua tindakan kita akan berakibat pada tindakan-tindakan kita yang lain. Bahkan pengaruhnya bisa sangat besar. Fudhail ibnu Iyadh berkata, “Aku bermaksiat kepada Allah, kemudian aku lihat dampaknya pada istriku bahkan hewan-hewan peliharaanku”. Perumpamaan ini, jelas kita bisa melihat dengan kasat mata, misalnya: kita bisa melihat penderitaan para koruptor, teroris, pengguna narkoba dsb. Alih-alih dapat mewarisi yang diperjuangkan oleh para pahlawan terdahulu, yang ada malah merusak keluarga dan bahkan membangkrutkan negara, perbuatannya telah menghancurkan dirinya bahkan keluarga dan lingkungannya. Sejatinya, mereka telah menjerumuskan dirinya pada derajat terendah ’mahluk’ dan bahkan lebih rendah dari ’mahluk’ hewan sekalipun. Jadi, hal mendasar yang paling perlu kita perbaiki guna mendapatkan dan mewarisi sifat-sifat serta mental para pahlawan terdahulu adalah wujudkan dan terus tingkatkan ketaatan kita kepada Sang Pencipta. Semoga Allah SWT menetapkan ketenangan pada hati ini sehingga dapat menghadirkan keikhlasan. Kemudian kita dapat meniru jejak para pahlawan negeri ini yang memiliki keberanian tiada terkira dan sifat ikhlas dalam bertindak sebagai buah dari ketaatan kepada-Nya, sehingga pada akhirnya dapat meneruskan cita-citanya. Amien. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: