Harapan untuk Kemenristek dan Dikti

Harapan untuk Kemenristek dan Dikti

Biyanto: Penulis adalah dosen dan pengurus pada PW Muhammadiyah Jatim. Tulisan ini diambil dari Jawa Pos (Radar Cirebon Group)   SALAH satu perubahan yang dilakukan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) adalah membagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menjadi dua. Pertama, Kementerian Bidang Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen). Kedua, Kementerian Bidang Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Dikti). Perubahan itu bertujuan meningkatkan kinerja kementerian yang sangat menentukan nasib pendidikan nasional. Harus diakui, selama ini loading kegiatan Kemendikbud sangat berjubel. Anggaran yang disiapkan pun sangat besar. Sebagai gambaran, anggaran Kemendikbud mencapai Rp371,2 triliun dari total APBN 2014 yang mencapai Rp1.816,7 triliun. Besarnya anggaran tersebut digunakan untuk mengurus pendidikan, mulai anak usia dini, taman kanak-kanak, dikdasmen, hingga dikti. Itu belum termasuk berbagai bentuk pendidikan informal dan nonformal. Karena yang diurus sangat banyak, arah pendidikan nasional sejauh ini terkesan kurang fokus. Dampaknya, mutu pendidikan nasional tertinggal dari negara lain. Ranking pendidikan nasional level dunia juga tercecer di bawah. Padahal, pada 2015, kita memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Jelas dibutuhkan keseriusan untuk mengelola pendidikan agar lulusan berdaya saing internasional. Dalam kaitan itulah, perubahan kementerian pendidikan nasional terasa sangat relevan. Pembentukan Kementerian Riset, Teknologi, dan Dikti yang terpisah dari Dikdasmen bisa mendorong kiprah perguruan tinggi (PT) dalam melaksanakan tugas-tugas penelitian. Apalagi jika penelitian itu menghasilkan teknologi tepat guna yang bermanfaat praktis bagi kehidupan masyarakat. Seorang akademisi Melbourne University, Profesor Richard James (2010), pernah membuat definisi menarik tentang penelitian. Menurut dia, substansi penelitian terletak pada publikasi dan kegunaan (research is publication and using). Pandangan itu menegaskan, untuk mengukur mutu penelitian, harus dilihat publikasi yang dihasilkan dan manfaat praktisnya bagi masyarakat. Melalui publikasi, akan terjalin komunikasi timbal balik antarilmuwan. Bermula dari publikasi itulah keinginan membangun budaya akademik (academic atmosphere) di dunia pendidikan dapat tercapai. Publikasi hasil penelitian juga berguna untuk meminimalkan praktik plagiat yang marak terjadi di dunia pendidikan. Berkaitan dengan problem plagiat, perguruan tinggi (PT) harus memiliki mekanisme yang ampuh. Salah satu caranya adalah memublikasikan ringkasan hasil penelitian melalui media cetak nasional atau internasional. Apalagi kini publikasi ilmiah juga dapat dilakukan secara online. Sayangnya, banyak peneliti yang belum berani memublikasikan hasil penelitian mereka. Padahal, selalu dikatakan, tugas utama civitas academica PT adalah pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Tiga tugas itulah yang populer disebut tridarma PT. Itu berarti seluruh civitas academica harus memahami tridarma sebagai satu kesatuan yang saling terkait (linkage). Berkaitan dengan keinginan untuk membuat linkage tridarma, civitas academica harus menyadari bahwa penelitian tersebut sangat penting. Hasil penelitian bisa menjadi referensi untuk meningkatkan mutu pendidikan dan pengabdian masyarakat. Kesadaran itu terasa kurang di kalangan civitas academica. Dampaknya, praktik pendidikan dan pengabdian tidak mengalami kemajuan berarti. Padahal, dunia pendidikan telah berkembang begitu pesat. Kebutuhan masyarakat juga bergerak begitu cepat seiring dengan tuntutan zaman. Konteks pendidikan terkini jelas meniscayakan pembelajaran berbasis penelitian. Karena itu, banyak PT yang menjadikan penelitian sebagai branding (label). Tidak mengherankan jika ada universitas yang mengenalkan diri dengan label university based research. Untuk menjadikan penelitian sebagai budaya, setiap dosen harus mendesain pembelajaran dengan mengutamakan model induktif. Model pembelajaran induktif mengharuskan mahasiswa mengamati problem sosial di tengah-tengah masyarakat untuk dicarikan solusinya. Itulah sesungguhnya model pembelajaran otentik (authentic learning). Inti pembelajaran otentik adalah pelibatan mahasiswa secara aktif untuk menemukan beragam ilmu pengetahuan dengan bersumber pada pengalaman dalam kehidupan sehari-hari. Metode induktif dapat menjadi alternatif untuk menggantikan pembelajaran deduktif. Sudah saatnya mahasiswa dilatih untuk memiliki sense bertanya, mengobservasi, dan mengajukan solusi dari persoalan yang dihadapi. Pola pembelajaran itu bisa menjadi media membentuk mahasiswa haus ilmu sehingga selalu merasa ingin tahu (curiosity). Melalui cara itu, berarti dosen telah memberikan soft skill kepada mahasiswa untuk menjadi calon peneliti pada masa mendatang. Karena itu, penting ditekankan pelibatan mahasiswa dalam penelitian oleh dosen. Dalam sudut pandang penilaian Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT), komponen penelitian yang melibatkan mahasiswa bernilai sangat tinggi. Demikian pula penelitian yang diikuti publikasi. Dua kegiatan tersebut, penelitian dan publikasi, memberikan kontribusi yang sangat besar dalam akreditasi program studi dan institusi. Untuk membangun budaya penelitian dan publikasi, direktur jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kemendikbud sejatinya telah menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor 152/E/T/2012 tentang kewajiban melakukan publikasi ilmiah bagi mahasiswa S-1, S-2, dan S-3. Sayang sekali, terobosan Dirjen Dikti itu belum efektif. Masih banyak PT yang enggan menjalankan amanat peraturan tersebut. Keengganan PT menerapkan peraturan Dirjen Dikti patut disayangkan. Sebab, publikasi seharusnya menjadi bagian tidak terpisah dari penelitian. Bahkan, mutu PT sesungguhnya dapat diamati dari jumlah publikasi ilmiahnya. Termasuk, jumlah hak paten dan hak karya ilmiah yang dihasilkan dari penelitian dosen dan mahasiswa. Sudah saatnya PT berkomitmen memperbanyak penelitian yang berorientasi pada publikasi dan kegunaan. Itu penting agar civitas academica tidak terus-menerus berada di menara gading. Kini civitas academica harus turun gunung, menunjukkan tanggung jawab soial mereka. Caranya, melakukan penelitian yang melahirkan teknologi tepat guna sehingga bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Itulah harapan untuk Kementerian Riset, Teknologi, dan Dikti. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: