Kerja 4.0

Kerja 4.0

Mohammad Nuh: Penulis adalah mantan Mendiknas   SATU minggu lebih Kabinet Kerja telah bekerja. Kita berikan kesempatan dan dukungan kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla untuk merealisasikan janji-janjinya saat kampanye. Ada hal yang menarik untuk dicermati saat Presiden Joko Widodo mengumumkan para menteri –anggota kabinet yang akan membantunya. Beliau memberi nama Kabinet Kerja, dengan semangat kerja, kerja, kerja. Ungkapan ’’kerja’’ yang diulang beberapa kali itu menarik untuk disimak. Ungkapan ’’kerja’’ yang diulang beberapa kali biasanya digunakan untuk membangunkan orang atau sekelompok orang yang sedang tidur atau bermalas-malasan (semacam weak-up call) untuk segera bangun atau bangkit karena waktunya harus bekerja. Bisa juga untuk menegaskan satu-satunya jawaban terhadap suatu persoalan sehingga jawaban tersebut harus diulang beberapa kali. Dan itu benar! Dari sudut apa pun, tantangan dan persoalan bangsa yang sangat besar dan rumit tersebut harus dihadapi dengan kerja. Persoalannya adalah kerja seperti apa yang bisa menjawab tantangan dan persoalan, yang memberikan hasil (output) maksimal dan yang bisa memberikan dampak (outcome) terbesar. Kerja bukanlah untuk kerja itu sendiri, tapi kerja untuk menghasilkan sesuatu sebagai jawaban terhadap tantangan dan persoalan. Meminjam rumus dasar dalam Teori Sistem, yaitu hubungan antara input [I(s)], proses [X(s)], dan output [Y(s)] bahwa output Y(s) merupakan perkalian antara input I(s) dan proses X(s), atau Y(s)= I(s).X(s). Dengan rumusan tersebut, tidak selamanya proses itu pasti menghasilkan sesuatu, tetapi tanpa proses bisa dipastikan tidak akan menghasilkan sesuatu. Dengan demikian, proses itu hanya untuk memenuhi syarat perlu, tetapi belum memenuhi syarat cukup (necessary but not sufficient). Kerja itu ibarat sebuah proses, yang dengan kerja semata tidak menjamin membuahkan hasil yang dibutuhkan untuk menjawab tantangan dan persoalan. Masyarakat pada umumnya tidak terlalu hirau terhadap kerja itu sendiri, it’s your own business. Biasanya yang mereka butuhkan adalah hasil dari kerja itu. EVOLUSI KERJA Dalam dinamikanya, kerja telah mengalami evolusi seiring dengan perkembangan ilmu, teknologi, manajemen, kepemimpinan, ketersediaan sumber daya, kultur, dan peradaban. Evolusi tersebut ditandai dengan versi sehingga muncul Kerja 1.0, Kerja 2.0, demikian, dan seterusnya. Kerja 1.0 (Kerja Versi 1.0) adalah kerja nir (tanpa): visi, pemahaman substansi persoalan, perencanaan, dan target. Pokoknya kerja, tanpa berpikir panjang. Kerja versi tersebut biasanya dilakukan masyarakat tradisional dengan tingkat kultur dan peradaban yang masih rendah dan penuh ’’kepasrahan’’. Hasil Kerja 1.0 itu dicirikan dengan rendahnya tingkat keberhasilan dan keberlangsungan, hasilnya hanya bisa untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek, sangat rentan terhadap kompetisi, dan hampir bisa dipastikan sebagai pecundang dalam era kompetisi. Kerja 2.0 adalah kerja yang berbasis pada input (input based), yaitu kerja dengan berpandangan bahwa peningkatan output hanya bisa dicapai dengan meningkatkan input. Proses dianggapnya sebagai sesuatu yang tetap dengan apa adanya (given). Contoh sederhananya adalah seorang petani dengan modal lahan 1 hektare menghasilkan Rp 10 juta per tahun. Untuk menaikkan penghasilan menjadi Rp. 20 juta per tahun, yang dia lakukan ialah menambah lahan dari 1 hektare menjadi 2 hektare. Secara matematika sederhana, pandangan tersebut tidak salah. Hanya, dia belum mengenal prinsip intensifikasi yang bersumber dari prinsip efisiensi dan optimasi. Kerja 2.0 itu biasanya dilakukan oleh mereka yang bekerja tanpa visi meskipun sudah mengenal dasar-dasar manajemen.Kerja 3.0 adalah kerja yang berorientasi kepada hasil (output based). Pada versi itu, ketersediaan input tidak dijadikan sebagai kendala utama dalam mencapai target, tetapi lebih berfokus kepada pemanfaatan kemajuan manajemen, kepemimpinan, dan teknologi untuk mencapai target. Dengan luas lahan yang sama 1 hektare, dengan Kerja 3.0, hampir bisa dipastikan hasilnya jauh lebih besar. Kerja 3.0 adalah kerja berdasar visi, tidak terjebak pada hal-hal yang sifatnya kekinian, berpikiran terbuka, dan adaptif terhadap kemajuan manajemen, kepemimpinan, serta teknologi. Kerja 4.0 adalah kerja yang berorientasi kepada dampak (outcome based). Bukan sekadar hasil yang menjadi target utama, namun seberapa jauh dampak yang ditimbulkan dari hasil tersebut, atau dalam bahasa agama adalah kemanfaatan dan kemaslahatan yang dihasilkan. Pembangunan jembatan adalah contoh sederhana dari Kerja 4.0. Jembatan itu adalah hasil (output), tetapi arus orang dan barang yang menjadi semakin banyak dan lancar adalah dampak dari jembatan tersebut. Yang menjadi pertimbangan bukan sekadar jembatannya, tetapi kemanfaatan dan kemaslahatan maksimal yang menjadi pertimbangan utamanya. Untuk itu, harus dimanfaatkan jejaring dan sinergitas. Dalam Kerja 4.0, visi yang kuat, jelas, dan terukur menjadi dasar utama. Visi tersebut harus mampu diterjemahkan dalam tahapan-tahapan teknis yang berkesinambungan secara jelas dan terukur. Jangan sampai kita hanya menang dalam pertempuran, tapi kalah dalam peperangan (you may win the battle, but you’ll loose the war). Dalam mengelola bangsa dan negara, sudah saatnya digunakan pendekatan Kerja 4.0. Sebenarnya kita sudah punya Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005–2025 (Undang-Undang No 17 Tahun 2007) sebagai visi bangsa. Tetapi, tampaknya, kita lebih tertarik kepada visi-misi presiden lima tahunan dan terkadang lepas (disconnect) dari apa yang sudah diamanahkan dalam UU tersebut. Bahkan, kita lebih tertarik kepada kehebohan kerja yang dikemas ala infotainment, bukan pada substansi hasil kerja itu. Saking hebohnya, terpaksa harus melakukan labelisasi program yang selama ini sudah berjalan. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: