Abdullah Ali, (Paling) Teliti dan Ganti Judul

Abdullah Ali, (Paling) Teliti dan Ganti Judul

SUNGGUH saya tak percaya ketika mendapat seliweran SMS tentang wafatnya Prof DR H Abdullah Ali, MA,, guru besar Sosiologi dan Antropogi IAIN Cirebon pada selasa 30 September 2014 pukul 19.00. Yang pertama beri kabar ke saya adalah Syamsudin Kadir, ‘’penulis subur’’ dan mantan aktivis Mahasiswa Bandung. Terkadang, info kondisi kesehatan almarhum saya dapatkan dari sang ‘’juru bicara’’ keluarga yakni kang Khaerudin Imawan. Hari selasa siang, saya ketemu dengan DR Ahmad Fauzi, M. Pd, dosen IAIN, di rumahnya. seperti biasa kami berdua ngobrol ngalor-ngidul tentang berbagai hal. Kemudian beliau memberikan informasi tentang kondisi kesehatan terakhir Prof Ali-----demikian biasa almarhum dipanggil-- - yang tengah dirawat di Rumah Sakit Ciremai. Makanya, Ketika SMS mampir ke saya kedua orang itulah yang terus-menerus saya ‘’titir’’ pertanyaan, apakah berita ini dhaif atau shahih. Ternyata berita yang sampai ke saya betul adanya. Prof Ali tutup usia sore hari sekitar pukul 17.00 setelah beberapa hari di rawat melawan sakit karena faktor usia. Bagi berbagai kalangan di wilayah Cirebon, sosok Abdullah Ali tidaklah asing. Perjalanan hidupnya diabdikan untuk mendidik, berkiprah dalam kegiatan kemasyarakatan, berceramah, menulis dan seterusnya. Beliau adalah sosok guru besar yang memiliki dedikasi tinggi di ranah akademik dan kemasyarakatan. Dari catatan riwayat hidupnya, beliau semasa muda aktivis di dunia organisasi merangkak dari mulai Pelajar Islam Indonesia (PII) hingga Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI). Untuk yang satu ini, saya sangat mengapresiasi, Walau usia beliau sudah tidak muda lagi, namun, beliau tetap enerjik dan produktif berkarya via tulisannya yang menghiasi berbagai media massa. Di tengah IAIN ‘’panen’’ Doktor dan kandidat Guru Besar saat ini, namun dari Doktor – Doktor dan kandidat Guru Besar itu sangat jarang bahkan sepi gagasan untuk mengartikulasikan gagasan lewat tulisan-tulisannya di berbagai media massa. Padahal media massa lokal menyediakan ruang untuk ‘’mempertanggungjawabkan’’ gagasan seorang akademisi yang dimaksud. Kolom yang tersedia sering dihiasi oleh tulisan Prof Ali. Ketika saya ‘’bertapa’’ di STAIN Cirebon, selama tiga tahun selalu berjumpa dengan mata kuliah yang diampu oleh almarhum. Dari mulai mata kuliah Sosiologi Pedesaan, Antropologi Indonesia sampai dengan Teori-teori Ilmu Sosial. Yang saya pahami, beliau sangat fasih menyetir Emile Durkheim, Pitirim A. Sorokim, Talcott Parson, Max Weber dan lainnya. Hal yang selalu saya ingat dan membekas dalam memori saya hingga saat ini adalah perkataan beliau ‘’jika kita belajar ilmu sosial harus selalu didasarkan pada fakta sosial (Social Fact) dengan terjun langsung penelitian’’, tandasnya. Seingat saya, ketika mengikuti mata kuliah yang diampu oleh almarhum baik Antropologi maupun Sosiologi dapat dipastikan ada tugas penelitian. Baik penelitian yang bersifat individual maupun kelompok. Sisi yang lain, ketika beliau mengampu mata kuliah dan saat bersamaan ada tugas kelompok untuk membuat makalah, kerap kali makalah yang disodorkan ke beliau di corat-caret agar diperbaiki. Beliau menginginkan antara kutipan dari buku dengan artikulasi pikiran sang pembuat makalah harus jelas. Pendek kata, yang bisa saya tangkap dari pesan beliau ketika membuat makalah adalah jangan memindahkan saja dari buku. Tak jarang, ketika makalah dikembalikan banyak teman-teman saya yang ngerundel, apalagi beliau sangat teliti sampai ke titik dan koma. Tak heran, di kampus beliau dikenal sebagai dosen yang disiplin, tegas dan kebapakan. Sehingga mahasiswa begitu akrab dengan Prof Ali. Ketika skripsi saya dipertanggung jawabkan dalam sidang kebetulan beliau menjadi penguji I. Hampir setengah skripsi dicoret dan beliau menginginkan saya agar mengganti judul skripsi. Betapa kagetnya saya ketika itu. Akhirnya direvisilah skripsi saya. Kalau tidak salah, pada saat itu beliau sedang merampungkan program S3 nya di Universitas Padjadjaran Bandung. Terkadang ketika saya hendak bertandang ke rumah beliau untuk merevisi skripsi harus datang sebelum pukul 07.00 pagi. Jika beliau usai beraktivitas, tak jarang beliau sampaikan agar revisi skripsi sore hari. Terus terang, saya hampir dibuat frustasi karena revisi skripsi sama halnya dengan bimbingan lagi. Dalam revisi, beliau selalu berujar ke saya, apa yang beliau sarankan ke saya kelak di kemudian hari akan mendapatkan faedah dan ‘’buahnya’’. Usai menamatkan strata I di STAIN Cirebon, saya lama tidak pernah ketemu dengan beliau. Saya dan Prof Ali hanya ‘’berjumpa’’ lewat tulisan di media. Dan pernah dalam suatu ketika tulisan beliau saya tanggapi. Selang lima tahun kemudian saat saya hendak melegalisir ijazah, di halaman kampus beliau memanggil saya dari dalam mobilnya. Saya pun menghampiri dan kaget melihat kondisi beliau. Pendek kata, fisiknya tidak lagi enerjik seperti saat masih menularkan ilmunya pada mahasiswanya sekitar sepuluh tahunan yang lalu, beliau langsung mengatakan ‘’saya selalu mengamati kiprah dan selalu membaca tulisan kamu di berbagai media’’. Saya pun menimpali ‘’apa yang Prof Ali katakan ketika makalah saya di corat-caret dan ganti judul skripsi itulah yang sangat berpengaruh ke saya hingga saat ini’’. Beliau pun mengatakan ‘’bagus tulisanmu ketika di salah satu media lokal berbalas tulisan dengan saya’’ kata Prof Ali lagi. Mulanya saya kira beliau sudah lupa pada tulisan saya ketika itu, namun tetap ingat pada saya yang meluruskan pendapat Thomas Hobbes tentang saling terkam diantara politisi, kontrak sosialnya Rousseau, tentang kebebasan antara Berlin dan Charles Taylor sampai pada Alexis de Tocqueville ; penemu teori demokrasi. Dari obrolan singkat ketika itu beliau berpesan agar saya tetap menulis dan menulis. Seingat saya, perjumpaan terakhir saya dengan beliau ketika awal tahun 2013 yang lalu di pelantikan pengurus Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Kabupaten Cirebon di Pendopo Bupati. Beliau duduk tepat di barisan depan. Saya langsung menghampirinya dan langsung beliau menanyakan ke saya, mana buku tulisanmu dan itu buku yang ke berapa? Saya jawab pertanyaan beliau. Dalam catatan saya, rupanya itu pertemuan terakhir saya dengan Prof Ali dan selebihnya saya mendapat kabar dari kolega maupun dari orang terdekat beliau. Sungguh kepergian beliau kehilangan bagi saya dan duka yang mendalam bagi kalangan akademis serta masyarakat. Semoga alm. Prof Ali tergolong hamba-NYA yang husnul-khotimah, selamat jalan sang guru besar! Wallahu’alam. (*) *) Penulis adalah Pemikir Sosial-Keagamaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: