Tentang Agama Dalam KTP

Tentang Agama Dalam KTP

Dudi Farid Wazdi: Penulis adalah Penyuluh Agama, Sekretaris Pokjaluh Kabupaten Indramayu   RENCANA pemerintah menghapus kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) menuai kritik. Beberapa fraksi di DPR RI dan ormas keagamaan memandang kebijakan ini bakal mendatangkan banyak mudarat ketimbang manfaat. Di samping itu rencana ini sangat menyakiti kaum agamawan. Entah, mungkin karena presidennya Jokowi dan mendagrinya Cahyo Kumolo, isu peniadaan kolom agama di KTP jadi begini santer? Menurut hemat saya, kalau saja pemerintahnya bukan beliau, isu itu tidak sampai berkembang melambung seperti ini. Isu yang dangkal, mentah dan murahan ini selayaknya sudah ditangkal terlebih dahulu oleh beliau-beliau itu karena senyatanya bertentangan dengan falsafah negeri. Lagi pula isu semacam ini kan sudah ada sejak dahulu kala seperti halnya ketika PKI ingin berkuasa, DI/TII ingin ‘mengabdi’ dan seterusnya. Apakah keinginan mereka (yang tidak mau mencantumkan agamanya pun) mau dikabulkan? Suatu hal yang menandakan kemunduran? Saya yakin, seyakin-yakinnya mustinya isu semacam ini tidak mencuat lagi di negara yang berdaulat ini dan eloknya ketika pun ada letupan asa itu, dengan sendirinya redam terbengkalai oleh kesaktian falsafah negara dan atau kecerdasan abdi negaranya. Pencantuman agama dalam kolom KTP amat penting, untuk kepentingan warga negara itu sendiri. Misalnya: ketika anda berkunjung ke suatu tempat dan nginap di sebuah hotel, di situ ada beragam barang, kegiatan dan bahkan makanan. Dengan sendirinya, tentu segala halnya disesuaikan dengan yang diatur dalam agama anda dan seterusnya. Sesungguhnya agama itu teramat penting, ia mengatur segalanya, ia mengatur hubungan dan bahkan ia mengatur bagaimana menjadi warga negara. Problem akan muncul, jika kolom agama ditiadakan dalam identitas diri, orang lain (karena kita mahluk sosial) akan canggung dan bingung memperlakukan kita. Masalah pun akan muncul, misalnya: dalam persoalan perkawinan, hak asuh anak, waris dan lain-lain. Lagi pula ini untuk menunjukkan bahwa Indonesia bukan negara sekuler. Sekalipun juga bukan negara agama. Manifestasi nyata dari sila pertama Pancasila tegas sekali menunjukkan perbedaan kita dengan negara-negara lain. Memeluk agama adalah manifestasi nyata dari sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu lebih baik pemerintah dan DPR segera mengatur dasar hukum adanya identitas agama seseorang pada dokumen kependudukan. Terutama bagi mereka yang faktanya menganut agama di luar agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Misalnya, dia mengaku beragama Dayak Kaharingan, Sunda Wiwitan dan lainnya yang selama ini dimasukkan ke dalam salah satu dari enam agama tersebut. Terhadap hal itu, perlu disepakati dulu bagaimana penanganannya. Jangan dikosongkan karena itu bisa ditafsirkan bahwa orang tersebut tidak beragama, tidak berketuhanan dan seterusnya. PANCASILA VERSUS HAK ASASI Di sisi lain ada beberapa gelintir orang dengan berdalih hak asasi mendukung rencana pemerintah ini. Misalnya, Direktur Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang, Tedi Kholiludin, mendukung langkah pemerintah menghapus kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP).  Ia beranggapan, kewajiban negara dalam keberagamaan rakyatnya sebatas pada menghormati, memenuhi atau melayani, dan melindungi. Jadi negara dalam perspektif hak asasi tidak ada hak untuk mengatur agama. Kalau mencantumkan identitas agama itu sudah mengatur artinya sudah melanggar hak asasi. Kita, tentu tidak heran, di negeri ini memang ada segelintir orang yang bepikirnya itu selalu membolak-balikan fakta, puter-puter, masalah sederhana dirumitkan, lebih condong pada aturan dan kehidupan nun jauh di sana ketimbang falsafah yang sudah disepakati puluhan tahun dinegeri sendiri. Alih-alih menghormati hak asasi yang jelas mencubak-cabik falsafah negara yang sudah kokoh. Lagi pula, mau pilih yang mana hak asasi atau falsafah pancasila? Saya pikir tugas negara untuk ‘mengajari’ pemikiran ‘nyeleneh’ seperti ini. Pemikiran yang datanganya dari negara antah barantah, yang hanya berfokus hidup di alam dunia saja. Indonesia ini merupakan negara Pancasila atau Berketuhanan Yang Maha Esa. Artinya Indonesia mewajibkan rakyatnya untuk beragama. Di sini, negara pun ikut peduli bagaimana warganya hidup bertoleransi dengan sesama agamanya, antar umat beragama dan bahkan umat beragama dengan Negara (tri toleransi). Di bumi Indonesia tidak bisa tidak, orang harus punya agama. Bagi mereka yang agamanya tidak tertampung peraturan, selayaknya kita bicarakan secara dewasa. Dari sisi administrasi Indonesia berbeda dengan Amerika Serikat atau negara lainnya yang sekuler yang memang tidak mencantumkan kolom agama bagi penduduknya. Di sini pulalah letaknya, Indonesia mempunyai kepentingan dan kepedulian terhadap warganya, yakni berorientasi pada kebahagiaan dunia dan ahirat. Wacana pengosongan kolom agama di KTP pun menandakan program Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) belum menemukan program esensial. Ia bingung, memulainya dari mana agar kelihatan keren, kelihatan ada kerja dan seterusnya. Padahal, masih banyak program-progam Kemendagri ditunggu oleh rakyat yang lebih urgent ketimbang rencana mengosongkan kolom agama di KTP, agama yang tertera dalam KTP merupakan bagian dari identitas yang tidak bisa dihilangkan. Kolom agama di KTP wajib ada, sebagaimana ketentuan dalam UU tentang Administrasi Kependudukan. Dalam UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan Pasal 64 Ayat (1), disebutkan bahwa KTP-el mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, memuat elemen data penduduk, yaitu NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pasfoto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan e-KTP, dan tanda tangan pemilik e-KTP. Senada dengan regulasi ini, saya pun takdim dengan pendapat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang menentang rencana Menteri Dalam Negeri terkait pengosongan kolom agama di KTP. Meski sifatnya sementara, ini selayaknya tidak boleh dilakukan. Seyogyanya, yang harus diperhatikan oleh pemerintah, semua undang-undang harus dipastikan merujuk ke Pancasila. Oleh karena itu tidak boleh ada kebijakan yang bertentangan dengan Pancasila. Lebih jauh lagi, kebijakan pengosongan kolom agama di KTP sama artinya pemerintah menolerir adanya kelompok masyarakat yang tidak mengenal Tuhan. Kondisi ini dikhawatirkan justru mengakibatkan gejolak sosial di masyarakat. Mengenai alasan Tjahjo Kumolo, yaitu menghormati hak masyarakat yang tidak menganut enam agama sah di Indonesia, semestinya hal tersebut tetap tidak boleh mengorbankan Pancasila dan itu tugas pemerintah untuk mencari solusinya, bukan dengan jalan pintas, mengorbankan dan mencobak-cabik Pancasila. Sungguh, kebijakan ini mencederai perasaan umat beragama, tidak hanya Islam, tapi tentunya juga agama lain. Penulisan agama di KTP adalah identitas seorang warga negara yang penting dan harus dihormati. Agama itu merupakan bagian dari identitas yang tidak bisa dihilangkan. Wallahu’alam. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: