Rebutan Menyapa
IING CASDIRIN - Pemimpin Redaksi RCTV SIAPA yang berhak menyapa warga? Pertanyaan ini muncul setelah walikota Cirebon dan DPRD Kota Cirebon ribut di media massa soal program “Sapa Warga”. DPRD kurang berkenan Sapa Warga dilanjutkan, karena akan berbenturan dengan program reses yang dewan ingin lakukan. Sementara wali kota merasa, Sapa Warga adalah trademark-nya, semenjak masih warga biasa sampai ia terpilih jadi wali kota. Bahkan, ada yang bilang berkat kebiasaan menyapa warga dengan cara apa adanya itulah ia bisa jadi dekat dengan rakyatnya. Tampil dengan sosok bersahaja, ternyata cukup bisa meyakinkan pemilih untuk mempercayakannya menjadi walikota. Wajar, bila sekarang wali kota tidak terima bila Sapa Warga dihapuskan, semacam ada balas jasa yang harus dipertahankan. Siapapun, saya dan Anda, tentu sebetulnya bisa menyapa warga kapan saja, di mana saja, dan dengan caranya. Tetapi yang diperebutkan pejabat ini,-- wali kota dan anggota dewan,-- adalah soal anggaran. Istilahnya, tidak akan ada sapaan, kalau anggarannya tidak lebih dulu disiapkan. Kritik pun bermunculan. Sapa Warga yang saat ini dilakukan wali kota memang bukan menyapa biasa. Tetapi menyapa ada duitnya. Mendirikan tenda, bikin acara, lalu mengundang hadir warga. Hal-hal yang lebih dulu dipersiapkan, bahkan cenderung lebih pada acara ceremony, akhirnya menjadikan Sapa Warga menjadi kurang jelas; wali kota yang menyapa warga, apa warga yang datang ke tenda dan menyapa wali kota? Kritik ini cukup berlasan. Dulu Sapa Warga dilakukan dengan cara spontan; menyapa dari rumah ke rumah tanpa persiapan. Sekarang berubah menjadi acara yang lebih dulu dikondisikan dan tentu,--ini yang lagi jadi bahan perdebatan,-- memakan lebih banyak anggaran. Anggaran Sapa Warga bukan lagi hanya ratusan ribu, yang dulu bisa dibiayai dari kantong pribadi. Tetapi sudah miliaran, tepatnya sampai Rp2 miliar. Ini menjadi bahan perbincangan ketika pendapatan dari sektor parkir dalam setahun, tahun 2014, saja tidak sampai Rp1 miliar. Butuh waktu 2 tahun mengumpulkan setoran dari parkir untuk membiayai Sapa Warga dalam setahun. Kritikan itu akhirnya berujung pada penolakan Dewan. Menolak secara halus, sambil bilang sebenarnya Sapa Warga itu bagus, walaupun ini sebetulnya mirip akal bulus. Reses dewan, walaupun sudah termaktub dalam peraturan, juga belum tentu mengandung semua kebaikan. Semangatnya sama-sama tak jauh-jauh dari menghabiskan anggaran. Andai saja Sapa Warga dan reses dewan dilakukan tidak bergantung pada anggaran, mungkin langkah untuk lebih dekat dengan warga akan terasa lebih ringan. Pesannya justru akan lebih terasa kalau dilakukan dengan cara yang apa adanya. Tidak ada rekayasa, apalagi sampai harus mengerahkan massa. Esensi menyapa itu bukanlah sekadar ucapan lisan. Tetapi merupakan sebuah bukti, bahwa di hatinya tidak memiliki masalah dan jarak sedikitpun dengan warga yang disapa. Jika dilihat dari kacamata agama, sering menyapa ternyata bisa menjadikan orang itu masuk surga. Sebab, menyapa adalah bagian dari menyambung silaturahmi, atau sikap menyukai perdamaian dan keselamatan. Menurut banyak pendapat ulama, menyambung seduluran itu juga bagian dari agama. Tetapi bukan seduluran kalau selalu harus menunggu turunnya anggaran. Warga justru akan menjadi antipati, bila disapa bukan dari hati. Rakyat merasa terhormat bila pemimpin dan wakilnya di dewan mau dijadikan sahabat, yang kapanpun bisa turun menyapa dan mengayominya semata-mata karena niat. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: