Belajarlah sebelum Memimpin

Belajarlah sebelum Memimpin

PILEG dan pilpres sudah berlalu. Pada momentum pelaksanannya kita kerap diramaikan dengan hiruk pikuk dan dinamikanya yang begitu kental dan hangat. Bahkan hingga kini pada konteks dan tataran tertentu efeknya masih tersisa dan terasa. Walau begitu, faktanya, kita telah bersepakat (secara konstitusional) dan memahami bahwa kini para pemimpin yang memimpin dan para wakil rakyat di masing-masing lembaga tinggi negara—termasuk di tingkat propinsi dan daerah—yang terpilih melalui mekanisme pemilihan (umum) sudah mulai bekerja; menunaikan amanah rakyat, amanah kita semua. Dalam konteks pembelajaran, baik sebagai pemimpin maupun sebagai rakyat biasa, kita sepatutnya banyak mengambil hikmah dari kepemimpinan para pemimpin besar dan berpengaruh dalam sejarah manusia, misalnya, Umar Bin Khattab ra. Dengan harapan, agar ke depan kita tak “sekadar memimpin” tapi juga mampu spirit kepemimpinan dalam sejarah kemanusiaan lintas sejarah dan peradaban. BELAJAR MEMIMPIN KEPADA UMAR Kisahnya memang unik dan melegenda. Ya, Umar Bin Khattab ra. termenung lama. Lama sekali. Apakah ini kebaikan atau musibah? Begitu ia bertanya pada dirinya sendiri tentang fenomena kemenangan–kemenangan besar yang ia peroleh. Tiba-tiba ia tersadar bahwa eranya terlalu jauh berbeda dengan era kedua pendahulunya: Rasulullah SAW dan Abu Bakar As-Siddiq ra. Di era Umar teritori pemerinta­han­nya menjadi lebih dari 18 negara kalau dikonversi dengan era sekarang. Populasi umat Islam juga bertambah begitu pesat. Lahirlah sebuah masyarakat yang mulitikultur yang sangat besar. Lalu ada kemakmuran dan kesejahteraan serta kekayaan yang melimpah ruah. Ini semua belum ada di era Nabi dan Khalifah pertama. Itu meresahkan Umar. Apakah ini kebaikan? Atau malah musibah? Kalau ini kebaikan, mengapa ini tidak terjadi pada masa sebelumnya? Kalau ini musibah, Apakah Allah hendak memisahkan aku dari kedua pendahulu? Ini bukan keresahan pemimpin biasa, tapi merupakan pemimpin luar biasa yang tidak pernah selesai belajar. Ia adalah pemimpin-pembelajar yang bertanya dan terus bertanya, walau hanya dalam alam kesadaran dirinya. Ia berpikir dan terus berpikir. Dan hasilnya nyata. Hasil pembelajaranya sekarang menjadi sumber pembelajaran nyata. Hasil pembelajarannya sekarang menjadi sumber pembelajaran kita semua. Beliau telah mendampingi Rasulullah SAW. sekitar 18 tahun dan mendampingi Abu Bakar selama 2.5 tahun. Umar telah belajar banyak. Jadi walaupun zaman yang Umar lalui terlalu jauh berbeda, tetapi Umar memiliki sumber pembelajaran lapangan selama 20-an tahun dan itu memadai untuk membantu pemimpin yang sangat tegas dan cekatan itu dalam meletakkan dasar-dasar negara baru di Madinah. Umar sangat berjasa dalam meletakkan dasar-dasar dari konstitusi dan sistem pemerintahan, menata sistem keuangan negara, memulai pembentukan dan pengorganisasian tentara profesional setelah sebelumnya setiap warga negara diharuskan menjadi mujahid dan prajurit negara, mengatur strategi ekspansi militer yang kemudian melahirkan futuhat atau pembebasan-pembebasan besar yang berpuncak pada pembebasan Al-Aqsha, mendistribusi para ulama ke berbagai wilayah, membentuk pemerintahan-pemerintahan daerah di wilayah-wilayah yang telah dibebaskan. Itu sebabnya, Rasulullah SAW dan Abu Bakar ra bersama Umar Bin Khattab ra selalu diletakkan sebagai founding fathers dari Negara Madinah. Suatu saat sang pendiri negara itu berpesan kepada siapapun yang akan menjadi pemimpin: “Ta’allamu Qobla An Tasuuduu: Belajarlah sebelum kalian memimpin.” Dan Umar pun telah mewujudkannya dalam rentang waktu dan sejarah kepemimpinannya. HARAPAN UNTUK PARA PEMIMPIN Dari sejarah kepemimpinan Umar—termasuk juga para pemimpin berpegaruh lainnya—kita dapat memahami beberapa catatan dan hikmah menarik yakni, pertama, pemimpin mesti mampu mewujudkan harapan rakyat. Leader is a dealer in hope. Seorang pemimpin adalah penjual sekaligus pembeli harapan, demikian petuah Napoleon Bonaparte. Pemimpin besar pastilah seseorang yang memiliki karakter yang kuat, punya visi yang mengakar pada kehendak publik, menjadi inspirator dalam setiap situasi, dan—ini yang lebih penting dan mendesak, terutama bagi publik (rakyat) akhir-akhir ini—ia mesti mampu memberi harapan meyakinkan di tengah kesulitan yang mendera bangsa dan negaranya. Kedua, pemimpin mesti menjadi inspirator yang mendapat ekspetasi dari rakyatnya. Selain Umar, dalam sejarah pemimpin dunia kita tentu masih ingat dengan Winston Churchill dan Franklin D. Roosevelt. Keduanya bukan sosok terbesar dalam sejarah. Namun, keduanya adalah figur yang mampu menginspirasi rakyatnya di masa paling sulit yang harus dilalui bangsanya. Chrucill membawa Inggris melewati ganasnya Perang Dunia II, sedangkan Rosevelt menjadi orang nomor satu di Amerika Serikat ketika “Depresi Besar” sedang melanda negaranya. Rosevelt berhasil menyuntikkan harapan kala harapan menjadi satu-satunya yang tersisa dari bangsanya. Ketiga, pemimpin mesti tak pernah berhenti belajar. Dalam konteks Umar, maka dapat dikatakan bahwa pemimpin tak pernah berhenti belajar, karena pemimpin adalah pembelajar sejati. Dalam perjalanan sejarah negeri ini (Indonesia), misalnya, kita juga mendapatkan suguhan menarik yang patut dikaji lebih mendalam bahkan layak diteladani. Kita tentu sangat ingat sejarah kepemimpinan Soekarno (Bung Karno), Mohammad Hatta (Bung Hatta), Mohammad Natsir (Pak Natsir) dan para tokoh besar lainnya. Mereka adalah sosok-sosok yang mampu memimpin dan menjadi pemimpin-pembelajar, bukan saja dalam konteks struktur negara tapi juga dalam geo-psikologis masyarakat (rakyat) secara umum. Mereka mampu mengalahkan ego personal demi melompat jauh menjadi pemimpin yang inspiratif, menggelorakan juga membanggakan rakyatnya (POLITIC, 2014). Akhirnya, belajar dari Umar dan para pemimpin yang lainnya memang mestinya menghadirkan kesadaran baru pada diri kita (baik sebagai pemimpin maupun sebagai rakyat biasa) bahwa menjadi pemimpin meniscayakan kesediaan untuk menjadi model pemimpin yang unik dalam sejarah kemanusiaan. Sungguh, pemimpin sejati adalah mereka yang dikenang sejarah bahkan mampu melahirkan banyak sejarah karena kerja juga karya nyata mereka. Selamat memimpin para pemimpin, selamat menjadi pemimpin-pembelajar. (*) *) Penulis adalah Alumni Ponpes Al-Ishlah Compreng-Subang, Pengajar di SDIT Sabilul Huda Cirebon, Penulis buku Menuju Indonesia yang Beradab.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: