BBM, Benar-benar Mencekik?

BBM, Benar-benar Mencekik?

Syamsudin Kadir: Penulis adalah Direktur KOMUNITAS, penulis buku POLITICS   TIGA hari lalu (Senin, 17/11) saya sempat berbincang dengan seorang sopir angkutan salah satu trayek di Kota Cirebon. Selama puluhan menit dalam angkutan banyak hal yang kami perbincangkan. Di antara ungkapan sang sopir yang menggelitik saya adalah ketika sang sopir tertawa sambil berkata begini “BBM, benar-benar mencekik”. Bagi saya, ungkapan itu bukan sekadar lelucon di tengah panasnya cuaca Cirebon, tapi merupakan suara hati sang sopir, sekaligus suara hari publik (rakyat) Indonesia. Apalagi kini pasca pengumuman kenaikan harga BBM, suara semacam itu sebetulnya semakin “menghantui” hati seluruh rakyat Indonesia. Lalu, masih mungkin dan layak kah publik memberi harapan perubahan, kemajuan dan kesejahteraan rakyat kepada pemerintahan baru: Jokowi-JK? KEBIJAKAN TANPA KEBIJAKSANAAN Berakhirnya perhelatan pilpres dengan terpilihnya Jokowi-JK sebagai pemimpin baru dan terbentuknya kabinet baru (baca: Kabinet Kerja) memunculkan harapan baru bagi publik. Penyebabnya sederhana, presiden terpilih (Jokowi) dinilai sebagai “ratu adil” yang mampu mengeluarkan Indonesia dari berbagai krisis yang menimpa, terutama karena adanya asumsi bahwa pemimpin sebelum-sebelumnya belum mampu menghadirkan reformasi total dalam segala aspek kehidupan publik. Bukan itu saja, “gerak cepat” Kementerian ESDM (yang langsung diprakarsai menteri ESDM Sudirman Said) dalam membentuk Komite Reformasi Tata Kelola Migas pun mendapat respon yang sangat positif dari publik. Bagaimana tidak, lembaga yang dikomandoi oleh ekonom tersohor Faisal Basri itu memiliki tugas penting yaitu mengidentifikasi titik rawan penyalahgunaan wewenang dan penggerusan sumber migas oleh mafia mulai dari hulu hingga hilir (Senin, 17/11). Lembaga semacam ini sebetulnya sudah banyak diusulkan oleh berbagai elemen sejak pemerintahan SBY Kabinet Indonesia Bersatu jilid I. Namun baru terwujud pada pemerintahan periode ini. Walau masih dihantui adegan tak elok anggota perlemen seperti yang disuguhkan berbagai media massa hampir 2 bulan terakhir, publik sangat berharap agar pemerintahan Jokowi-JK mampu membawa Indonesia menemukan sejarah barunya sebagai negara yang berdaulat, berdikari dan berkebudayaan. Publik tak banyak harap selain kesungguhan para elite untuk menunaikan janji politik dan sumpah jabatannya. Namun apa daya, harapan publik yang begitu tinggi justru diawal-awal ini sudah dihadapkan dengan kebijakan tak bijaksana pemerintahan Jokowi-JK dalam menaikkan harga BBM, yang bukan saja “mencekik” rakyat banyak tapi juga memberi “noda hitam: bagi pemerintahan Jokowi-JK sendiri. Ya, bulan pertama pemerintahan Jokowi justru “dinodai” oleh satu kebijakan yang jauh dari harapan publik. Sebagaimana yang sudah dilansir berbagai media massa juga media sosial bahwa pada Senin malam (17 November 2014) lalu di Istana Negara Jokowi yang didampingi sejumlah menteri kementerian Kabinet Kerja mengumumkan kenaikan harga BBM sebesar Rp2.000.  Faktanya, dua pekan sebelum keputusan kenaikan harga BBM diumumkan, berbagai kebutuhan pokok (sembako) di hampir semua daerah sudah melonjak, bahkan nyaris melampaui batas kewajaran. Sebagaimana dilansir Republika (10/11), running Metro TV (11-12/11) bahwa di sejumlah daerah sudah terjadi kenaikan harga berbagai bahan atau kebutuhan pokok masyarakat. Fakta tersebut kemudian menimbulkan “perlawanan” publik, dalam hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh berbagai elemen mahasiswa (dan masyarakat) di berbagai kampus dan kota seperti Makasar, Jakarta, Padang, Surbaya, Bandung, Cirebon dan sebagainya. Kini pasca pengumuman kenaikan harga BBM harga sembako di hampir seluruh daerah/kota di selutuh Indonesia pun semakin melonjak. Selain sembako, tarif angkutan umum pun naik. Di wilayah 3 Cirebon seperti Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan misalnya terjadi kenaikan tarif angkutan umum dari 10 sampai 40%. Uniknya, keputusan tersebut diambil oleh berbagai organisasi atau institusi terkait beberapa hari (17-18/11) menjelang keputusan Kementerian Perhubungan RI yang baru keluar pada Selasa (18/11). Sehingga, dugaan publik bahwa beberapa waktu ke depan tarif angkutan umum kemungkinan besar akan terus meningkat bahkan berlipat, bukan dugaan yang salah kaprah. Pengumuman kenaikan harga BBM secara mendadak—apalagi di awal periode pemerintahan seperti ini—adalah satu bentuk penodaan atas “nama baik” Jokowi-JK selama ini. Walaupun diringi oleh program KIS, KIP dan serupanya, publik tetap merasakan betapa kenaikan harga BBM sangat melukai bahkan menyengsarakan. Sebab BBM, bukan sekadar berhubungan dengan transportasi tapi juga hal lain seperti logistik, pengembangan perusahaan dan sebagainya. Ibarat magnet, kenaikan harga BBM pasti menarik kenaikan kebutuhan pokok atau sembako. Lagi-lagi, fakta tersebut akan terus menimbulkan “perlawanan” publik, sebagaimana yang dilakukan oleh berbagai elemen mahasiswa (dan masyarakat) di berbagai kampus dan kota seperti yang saya sebutkan di awal, bahkan akan merembet ke kampus dan kota lain.  Lebih jauh, jika Jokowi-JK tidak hati-hati dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) masih terjebak dalam kungkungan “AKD” dan serupanya, bisa jadi ini akan memperkuat wacana publik yang mengisyaratkan “penggulingan” Jokowi-JK dari tampuk kekuasaan yang diawali dengan melaksanakan hak dan wewenang DPR sebagaimana yang digariskan oleh konstitusi. Sekali lagi, ini mungkin terlalu jauh, tapi “kealpaan” mengantisipasi aspek ini akan memberi efek negatif bagi pemerintahan Jokowi-JK. HARAPAN KEPADA JOKOWI-JK Publik tentu berharap agar hiruk pikuk penolakan publik terhadap kenaikan harga BBM dan efek “sebab-akibat” terhadap naiknya harga sembako tidak membuat pemerintah “mati rasa” dan “mati langkah”. Dalam konteks ini pemerintah (terutama melalui kementerian terkait) perlu mengambil langkah sigap, pertama, memperkuat kemitraan dengan perlemen sebagai institusi yang mewakili kepentingan rakyat, sehingga keputusan kenaikan harga BBM tidak menimbulkan “keresahan” politik baru. Kedua, mengendalikan tarif transportasi secara masif di seluruh sektor pelayanan, baik darat, laut maupun udara dengan melibatkan institusi terkait. Ketiga, menyiapkan langkah-langkah nyata dalam mengendalikan harga sembako, termasuk menjaga penimbunan sembako pada daerah atau kota tertentu dengan maksud “mengeruk” keuntungan di saat publik tercekik kebutuhan sembako. Keempat, melakukan pengawasan dan evaluasi secara masif dan struktural terhadap distribusi BBM di seluruh pelosok Indonesia, sehingga meyakinkan publik bahwa tidak terjadi penimbunan BBM oleh para mafia BBM. Kelima, segera mewujudkan janji politik seperti pengadaan infrastruktur dan sebagainya sebagai langkah alih subsidi terhadap subsidi yang pernah dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya. Keenam, memanfaatkan energi terbarukan sebagai penunjang kebutuhan energi dalam negeri. Akhirnya, semoga dengan langkah-langkah tersebut sang sopir atau publik lainnya yang hingga kini masih menyuarakan penolakan terhadap kenaikan harga BBM tidak selalu terhantui oleh ungkapan seram dan menakutkan: BBM, benar-benar mencekik. (*)    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: