Kabinet Kerja Tak Kerja

Kabinet Kerja Tak Kerja

Epri Fahmi Aziz: Penulis adalah mahasiswa FE Unswagati, aktivis Gemsos   LAGI dan lagi, bahan bakar minyak (BBM) menjadi kategori pilihan yang menarik untuk diperbincangkan khalayak. Apalagi semenjak putusan kenaikan BBM sudah dilontarkan ke publik, dengan sekejap langsung menjadi santapan berbagai element masyarakat baik itu di tataran grashoot, medium klas sampai ke lini masa. Alasannya pun tidak jauh berbeda, bisa dibilang klasik. Sebelum membahas lebih jauh, mari kita menilik sejenak  alasan-alasan yang membuat Presiden Jokowi-JK dengan Kabinet Kerjanya sangat mantap untuk menaikan harga BBM. Pertama, BBM bersubsidi dinilai tidak tepat sasaran karena kebanyakan dinikmati oleh kalangan menengah ke atas. Kedua, subsidi BBM dinilai membebani APBN sehingga kenaikan BBM akan menyelamatkan BBM agar tidak jebol. Ketiga, nilai subsidi BBM tidak produktif  yang seharusnya dialokasikan untuk sektor produktif seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Dari berbagai alasan itu kemudian timbul pernyataan yang sangat mendasar, yaitu adilkah kenaikan BBM bagi masyarakat? Santai, jangan terlalu terburu-buru untuk menjawabnya. Alangkah lebih baik apabila kita meninjau kembali berbagai aspek menyangkut subsidi BBM. MINYAK BUMI INDONESIA Pertama, Indonesia bukan lagi negara yang kaya akan minyak bumi. Dari data yang dikeluarkan Dirjen Migas Kementerian ESDM RI tahun 2010 cadangan minyak bumi Indonesia hanya sebesar 3,7 M barel. Tentunya cadangan sebesar itu masih sangat sedikit ketimbang negara– negara lumbung minyak seperti Arab Saudi yang mencapai 260 M barel. Kedua, kondisi hulu minyak Indonesia: lifting minyak bumi Indonesia dari tahun ke tahun semakin turun, yaitu 895.000bph (2011), 860.000bph (2012), 825.000 (2013). Belum lagi, banyak minyak bumi Indonesia yang diproduksi tersebut berasal dari blok-blok migas milik perusahaan asing.Ketiga, konsumsi  minyak bumi Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Hal ini wajar, Indonesia merupakan negara berkembang menuju nega maju dimana pertumbuhan ekonomi diikuti dengan lonjakan kebutuhan energi yang signifikan. Seperti yang kita ketahui, konsumi BBM masih didominasi sektor transportasi. dari jumlah volume kendaraan yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Ini mengakibatkan kebutuhan akan BBM pun semakin tinggi. Besarnya kebutuhan BBM ini membuat pemerintah harus menyediakan minyak mentah lebih banyak yaitu 1.420.000bph (2011), 1.470.000 (2012), 1.530.000 (2013). Dengan kebutuhan tersebut membuat Indonesia berpikir bagaimana untuk menutupi defisit tersebut. Impor minyak menjadi solusi untuk menutupi kebutuhan BBM nasional. Keempat, untuk menutupi kebutuhan dengan mengimpor minyak dan BBM tentu menguras cadangan devisa negara. Besar defisit cadangan migas dalam neraca perdagangan adalah 0,7 M USD(2011), 5,2 M USD(2012),9,7 M USD(2013). Kelima, harga minyak mentah dunia kini mencapai 80$/barel, laju konsumsi BBM yang terus naik turut dibarengi dengan subsidi BBM yang dikeluarkan pemerintah. Subsidi BBM dari tahun ke tahun adalah Rp130.000 triliun (2011), Rp211 triliun (2012) dan terakhir Rp246 triliun (2014). Subsidi BBM ini yang kemudian dianggap sebagai penyebab defisit APBN setiap tahunnya. Kelima, moneter dan fiskal. Adanya kehawatiran terjadinya potensi kebocoran diruang fiskal (APBN) menjadikan alasan pemerinta Jokowi-JK menaikkan harga BBM. Kebocoran ruang fiskal (APBN) ini berpotensi meningkatnya inflasi yang mengakibatkan naiknya harga bahan pokok dan akan menurunkan daya beli masyarakat. Menaikan harga BBM memang merupakan kebijakan fiskal untuk menutupi kebocoran APBN. Namun, itu bukan satu-satunya cara, masih banyak cara untuk menambal pos anggaran ini untuk menyelamatkan jutaan rakyat miskin dan hampir miskin. Keenam, harga bahan pokok (kebutuhan logistik).  Data yang dikeluarkan Bulog Tahun 2013 pada saat BBM naik RP2.000 (44%) saat itu beras naik 60%, telur naik 25%, cabai naik 225%, minyak gorrng naik 35%. Sudah menjadi rahasia umum, di Indonesia memang system logistic masih jauh dari efisen. Contoh, untuk beras yang dipasarkan secara tradisional saja bisa sampai tujuh tengkulak (tujuh kali perpindahan kepemilikan). Tentu, hal itulah yang menyebabkan ongkos logistik sangat mahal. Pemerintah seharusnya memikirkan rantai tata niaga ini agar sistemnya bisa berjalan dengan efisen sehingga bisa lebih memakmurkan petani. Kenaikan BBM tentunya akan berpengaruh terhadap harga bahan pokok, maka dari itu pemerintah harusnya bekerja keras memikirkan agar system logistic untuk mengendalikan harga bahan pokok agar kenaikan harga BBM tidak terlalu berpengaruh terhadap harga bahan pokok. Harga BBM bisa berapapun, asal rakyat bisa makan, mengakses kebutuhan pokok, dan hidup layak maka tidak jadi masalah.  Seharusnya juga pemerintah tidak gegabah, hanya dengan alasan menambal APBN kemudian mengirimkan 10-20 juta rakyat bergabung dengan 28 juta lainnya menjadi masyarakat berkategori miskin. BBM KOMODITAS STRATEGIS BBM merupakan komoditas strategis. Untuk itu mekanismenya jangan sepenuhnya mengikuti pasar atau menakian harga BBM tanpa kesiapan melakukan pengendalian terhadap harga kebutuhan primer. Lucunya, penulis bahkan tersenyum sinis ketika mendengar solusi yang ditawarkan pemerintah untuk mengatasi efek domino dari kenaikan harga BBM yaitu dengan mengeluarkan Program Keluarga Produktif (PKP) dengan kartu saktinya yaitu Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan kartu Keluarga Sehatera (KKS). Sekilas terlihat baru, tapi sebetulnya kebijakan ini merupakan kelanjutan dari program rezim SBY, cuma dikemas dengan bentuk yang berbeda. Bisa dibilang tidak ada hal baru dalam mengatisipasi kenaikan harga BBM. Sekali lagi penulis tekankan, BBM merupakan komoditi strategis. Sebagai barang strategis seharusnya tidak mengikuti mekanisme pasar dan harga minyak dunia. BBM merupakan konsumsi dan kebutuhan pokok masyarakat luas, seharusnya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang dapat menanggulangi dampak dari kenaikan harga BBM yang secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap menurunnya daya beli masyarakat. Sampai saat ini penulis belum melihat paket kebijakan yang dilakukan pemerintah, sedang kebijakn PKP yang dikeluarkan jauh dari kondisi dapat menanggulangi dampak. Hal fundamental lainnya yaitu mahalnya ongkos logistik barang pokok, seharusnya pemerintah bisa mengefesiensikan rantai distribusi agar rantai logistic bisa lebih efektif dan efisien. Selain itu, hal fundamental lainnya yaitu cadangan minyak bumi di perut Bumi yang semakin berkurang sedangkan Ketergantungan terhadap BBM sangat tinggi, maka sudah sepatututnya pemerintah melakukan percepatan dan pengembangan Energi baru dan Terbarukan (Ranawable Energy) terutama Biofuel karna Indonesia disebut – sebut sebagai “Arab Saudinya Biofuel”. SOLUSI YANG DITAWARKAN Memang subsidi BBM tidak tepat sasaran, tapi dengan menaikan harga BBM atau mencabut subsidi BBM kemudian memberikan bantuan langsung yang disulap dengan berbagai bentuk seperti kartu-kartu merupakan langkah yang tepat menuju tepat sasaran? Sampai kapanpun penulis akan tetap menolak kenaikan harga BBM sebelum pemerintah melakukan berbagai hal. Pertama, pemerintah harus meningkatkan Kinerja Bulog untuk mengefektifkan sistem rantai pasok dan pengendalian harga bahan pokok. Kedua, transparasikan dengan sebenar-benarnya kenaikan harga BBM untuk pemberdayaan (Pencerdasan) masyarakat. Ketiga, hapuskan system neoliberal yang menganggap subsidi BBM sebagai Beban APBN, dengan begitu secara tidak langsung menganggap rakyat sendiri sebagai beban. Penulis tentu tidak ingin sekadar mengkritik tapi tanpa ada solusi yang bisa disampaikan kepada pmerintah.  Menaikan harga BBM sekali lagi bukan satu-satunya cara! Pertama, bisa dengan menaikan pajak yang signifikan untuk perusahaan dan kendaraan-kendaraan dengan pengawasan dan pengendaliannya yang ketat. Kedua, mengubah UU Migas no 22 tahun 2001 terutama pasal treding pihak ke-3 (Petral), atau bisa dengan merenegoisasi kontrak dengan mengembalikan pengelolalan migas kepada pertamina. Ketiga, memberantas habis mafia migas dan korupsi di Pertamina. Itu untuk jangka pendek. Untuk jangka panjang yaitu dengan melakukan percepatan dan pengembangan energy baru dan terbarukan serta mempersiapkan pasar dan infrastruktur pendukung lainnya. Kemudian memperbaiki sistem transportasi di Indonesia sehingga dapat menekan jumlah pengguna kendaraan pribadi. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, nama “Kabinet Kerja” tidak hanya sekadar nama. Jangan sampai nama tersebut mendapat stigma “Kabinet Kerja Tak Kerja”!!!. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: