#mungkinsastrasedanglelah
Wahyud Yuli Begini, menurut saya, karya sastra itu makhluk hidup. Tapi kalian boleh tidak sependapat dengan saya. Karya sastra lahir, berkembang, dan—sebagian besar— dilupakan. Beberapa karya sastra bahkan mati, dengan atau tanpa diikuti, atau mengikuti kematian bahasa sebagai inang mereka. Tidak ada makhluk hidup yang sederhana; pun sastra. Sebagai anak sulung kebudayaan manusia, sastra telah ada sejak zaman berburu mamut hingga mungkin nanti sebelum kiamat. Tapi hari ini, ketika manusia tengah berebut menjadi selebtwit, ketika manusia dapat memecah diri dan menempati ruang yang berbeda dalam waktu sama, karya sastra seperti tengah lelah. Karya sastra telah digunakan manusia untuk berbagai kepentingan. Dalam bentuknya yang paling tua, konon karya sastra digunakan dalam upacara memanggil roh dan atau hewan buruan. Manusia saling bunuh. Kemudian karya sastra digunakan sebagai pembangkit semangat sebelum berangkat perang. Karya sastra digunakan untuk membentuk dan menumbangkan kekuasaan. Untuk manusia yang tengah jatuh cinta, karya sastra seringkali digunakan sebasgai pelengkap klangenan. Dan entah sejak kapan, menurut Budi Darma, karya sastra dikutuk untuk harus selalu membawa pesan moral. Karya sastra telah dan akan terus memberi banyak keuntungan bagi kehidupan manusia. Sebab menggunakan bahasa sebagai media, fungsi karya sastra paling dasar adalah untuk berkomunikasi. Tapi ia juga makhluk hidup. Ia tidak hanya menyampaikan pesan si penciptanya; ia juga membawa pesannya sendiri. Ia memiliki pengalaman dan kisah hidupnya sendiri. Seringkali, sebagai makhluk hidup, karya sastra memiliki umur yang lebih panjang daripada penciptanya.Heroes die, story goes on, dalam istilah bahasa Inggris. Para pahlawan (sastrawan) meninggal dunia, cerita (karya sastra) tetap berlanjut (hidup). Hemingway meninggal tapi Lelaki Tua dan Laut masih dibaca di seluruh dunia. V. S. Naipaul telah dikuburkan tapi Rumah untuk Tuan Biswas masih berpengaruh di negar-negara dunia ketiga. Chairil Anwar telah pulang ke Karet Bivak, tapi Aku masih kerap meniupkan semangat ke dada-dada pemuda Indonesia. Setelah sekian ribu abad menempati planet bumi, manusia telah memberi karya sastra banyak sekali beban. Terlalu banyak beban yang ditanggung karya sastra hingga hari ini. Terlalu banyak harapan yang mesti sastra penuhi. Sastra harus memberi penyadaran kepada audiensnya. Sastra mesti membawa pesan moral. Karya sastra baiknya membuat manusia optimis menjalani hidupnya. Banyak manusia yang mengaku mengenal sastra menkalim sastra mesti ini, harus itu, mesti anu. Sastra untuk sastra. Sastra untuk revolusi. Prêt! Tapi sastra toh tetap ada, dia sabar, terus memperbaharui diri, ganti baju, menyemprotkan parfum baru, dan mungkin hidup dalam tubuh yang juga baru. Ia lebih besar, kuat, dan sublim dari semua label, pemaknaan dan penamaan yang diberikan manusia. Tapi hari ini, barangkali, sastra hanya sedang lelah. Ia seperti mengalah pada tayangan tivi yang tidak lebih memuakkan dari sampah di pojok kamar kontrakan. Ia mengalah pada jargon-jargon politik yang kerap lebih memabukkan dari minuman oplosan. Menurut formalis Rusia, Shklovsky, tujuan karya seni, termasuk sastra, adalah melakukan defamiliarisasi, membuat asing, membuat jarak, mematahkan harapan kita. Katanya, seni adalah cara mengalami keartistikan sebuah ojek; objeknya tidak penting. Khusus sastra, hal tersebut bisa dilakukan dengan menggunakan bahasa dengan cara yang baru, yang kelak membedakannya dengan penggunaan bahasa dalam komunikasi sehari-hari, sehingga tercapai makna-makna baru.Karya sastra akan selalu mengandung lebih dari satu makna. Sebab menurut Eggins, seorang linguis Australia, sastra sebagai karya seni akan lebih memilih ambiguitas dan ambilvalensi daripada makna tunggal dan langsung. Tapi, lagi, barangkali kolom ini hanya akan berhasil menambah beban yang ditanggung karya sastra dan gagal mengurai kompleksitas makhluk hidup bernama karya sastra. Kolom ini mungkin hanya akan menambah beban yang ditanggung karya sastra. Tapi ya tadi, karya sastra akan tetap lebih kuat dari sekadar kolom yang ditulis dengan setengah ngelantur seperti ini. Meski, semakin banyak beban yang mesti ditanggung, semakin sedikit karya sastra tampil sebagaimana seharusnya dia. Ya, hari ini, #mungkinsastrasedanglelah. * Buruh cuci Rumah Kertas @wahyudiyuli
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: