Wahai Golkar, Mana Taringmu?

Wahai Golkar, Mana Taringmu?

Syamsudin Kadir: Penulis adalah Pegiat KOMUNITAS (Komunitas Cirebon Membaca, Cirebon Menulis), Penulis buku POLITICS.   GOLKAR adalah nama untuk sebuah fenomena panjang. Sepanjang masa sejarah Orde Baru (Orba), Golkar menjalankan pluralitas otokratis, yaitu pluralitas yang terbangun dan dikembangkan melalui represi dan manipulasi politik yang begitu kuat dari penguasa Orba dan kroninya. Postur Golkar semacam itu, pada perjalanannya masih menghantui Golongan Karya (Golkar)—yang kelak sejak 20 Oktober 1998 menjadi Partai Golkar. Sejak itu hingga kini, Golkar sebetulnya tengah menjalani langkah-langkah awal menuju periode paling krusial dalam perjalanan Golkar, baik soal daya tarik maupun daya kompetisi Golkar. Kini, di saat memerlukan daya tarik dan kemampuan berkompetisi, Golkar justru kerap mempertontonkan dirinya sebagai partai yang suka “gonjang-ganjing” dengan dirinya sendiri. Lalu, mampukah Golkar berbenah diri? MEMBACA JEJAK GOLKAR Kalau kita membaca perjalanan Golkar, maka kita dapat menemukan bahwa Golkar menjalani periode pertama kehidupannya sebagai sebuah embrio politik yaitu pada 1957-1965. Proses pertumbuhan embrio ini dimulai ketika terjadi koalisi pragmatis antara Soekarno—“orang besar” yang terkecewakan oleh eksperimen demokrasi perlementer yang menempatkannya dalam kedudukan presiden simbolik-seremonial—dengan militer (baca: Angkatan Darat) yang kecewa lantaran ditempatkan hanya sebagai pemadam kebakaran oleh pemerintahan sipil. Dalam periode ini, Golkar-embrionik—yang terdiri dari berbagai kelompok fungsional-kekaryaan yang mempolitisasi diri—adalah instrumen untuk membangun basis politik bagi pemerkuatan (empowering) militer vis a vis kekuatan politik lain, khususnya komunis. Golkar lalu menjalani periode kedua perjalanan politiknya antara 1964-1971. Dalam periode yang singkat ini, Golkar menjadi instrumen bagi militer untuk mengelola proses transisi atau transfer kekuasaan dari Demokrasi Terpimpin Soekarno ke tangan mereka. Pada ujung akhir periode ini Golkar menunaikan tugas instrumentalnya dengan memperoleh suara mayoritas mutlak (60,8%) dalam pemilu 1971—pemilu pertama Orde Baru. Periode ketiga yang dijalani Golkar antara 1971-1978. Inilah periode yang menentukan bagi Golkar ketika mereka—sebagaimana yang digambarkan oleh Julian M. Boileau (1998)—dibebani tiga pekerjaan politik besar: (1) menjadi mesin politik penghasil legitimasi bagi kekuasaan Orde Baru; (2) memassalkan ideologi pembangunan dalam kerangka modernisasi; dan (3) menenggelamkan sistem kepartaian. Dalam periode yang singkat ini Golkar menjadi “kelompok strategis” yang bersama-sama elemen Orde Baru lainnya membangun aliansi besar bagi otoritarianisme baru. Munas kedua Golkar di Denpasar, Bali, pada penghujung 1998, membuat langkah Golkar memasuki periode keempat kehidupannya. Inilah periode panjang—dua dekade (1978-1998)—yang menempatkan Golkar sebagai instrumen kekuasaan personal Soeharto. Pada periode ini kekuasaan Orde Baru telah mulai dipersonalisasi oleh Soeharto, sementara anasir-anasir Orde Baru lainnya (militer, birokrasi, teknokrasi dan kekuatan modal) diposisikan sebagai instrumen kekuasaan personal Soeharto, Golkar tidak terkecuali. Adalah Golkar yang selama dua dekade akhir Orde Baru itu menjadi pemberi bobot legitimasi politik real bagi kekuasaan personal Soeharto. Dengan memosisikan Golkar secara instrumental semacam itu, Soeharto mengumpulkan kapasitas sebagai penguasa tunggal yang memegang tali kendali politik secara efektif. Jatuhnya Soeharto pada 21 Mei 1998 mengakhiri periode keempat perjalanan politik Golkar. Golkar “dipaksa” sejarah untuk memasuki suasana yang sama sekali baru dalam periodenya yang kelima. Menurut pengamat politik Eep Saefulloh Fatah, Golkar memetik buah-buah masa memetik buah-buah kekeliruan masa lalu (Menuntaskan Perubahan, 1998). Dalam periode kelima ini, Golkar diidap setidaknya lima penyakit, yaitu pertama, ketergantungan pada militer sebagai ayah kandungnya; kedua, ketergantungan pada birokrasi; ketiga, keterikatan emosional pada sakralisasi ideologi pembangunan dalam kerangka modernisasi; keempat, gerontokrasi; kelima, terlanjur termanjakan oleh basis masa alternatif, dimana praktik mobilisasi massa dan manipulasi politik kerap menghantui Golkar. Selanjutnya, kuasa Ketua Umum beralih dari Harmoko ke Akbar Tanjung. Ini adalah awal periode keenam Golkar: periode reformasi. Tahap pertama (1998-2003) Golkar menghadapi berbagai tantangan publik Akademisi, LSM, Media Massa dan Gerakan Mahasiswa. Bahkan—menurut Akbar Tanjung—pada periode ini Golkar menghadapi desakan pembubaran. Namun dengan geliat dan sigap Golkar mampu bertahan (Moratorium Politik, 2003). Pada periode ini Golkar sukses menempatkan Akbar Tanjung (yang notabene Ketua Umum-nya) sebagai Ketua DPR RI (1999-2004). Namun, lagi-lagi pada periode ini posisi Golkar sebagai instrumental kekuasaan (terutama eksekutif) mulai meredup. Selanjutnya (2004-2009), kepemimpinan (Ketua Umum) Golkar beralih ke Jusuf Kalla (JK). Pada periode ini, walaupun JK menjadi Wakil (dari Presiden SBY), Golkar pada dasarnya tidak berhasil menempatkan “jagoan”-nya di tampuk kekuasaan (eksekutif: presiden). Walau begitu, Golkar sukses menempatkan Agung Laksono (AL) sebagai Ketua DPR RI (2004-2009), bahkan Golkar kerap dicap sebagai “pengendali” perlemen. Walau begitu, lagi-lagi, di sini Golkar tetap “gagal” menjadi instrumental kekuasaan sebagaimana yang ia “panen” pada masa Orde Baru. Selanjutnya (2009-sekarang), Ketua Umum Golkar dimandatkan kepada Abu Rizal Bakrie (ARB). Pada periode ini Golkar sama sekali tidak mampu menempatkan “jagoan”-nya pada tampuk tertinggi berbagai lembaga negara, baik eksekutif maupun legislatif. Di sini Golkar hanya menjadi “penggembira”, baik di koalisi kekuasaan (eksekutif) maupun di koalisi perlemen. Berikutnya, setelah pileg (yang hanya menempatkan Golkar sebagai pemenang kedua) dan pilpres (yang tak menghantarkan “jagoan” Golkar ke tampuk kekuasaan-eksekutif) lalu (2014), secara politik Golkar memilih jalan oposisi. Golkar pun mesti “berpuasa” dari kursi kekuasaan (eksekutif); satu bentuk puasa pertama dalam sejarah perjalanan Golkar. Melalui Koalisi Merah Putih (KMP)—di mana Ketua Umum Golkar Abu Rizal Bakrie mendapat mandat sebagai Koordinator Koalisi—Golkar bertekad dan memilih jalan oposisi. Pilihan tersebut tentu saja “pahit” dan memiliki konsekwensi sebagai ikutannya. Selain karena tak mampu menempatkan “jagoan”-nya di kekuasaan (walaupun eks Ketua Umum-nya, JK, terpilih menjadi Wakil Presiden), Golkar justru mengalami gonjang-ganjing internal: memilih antar oposisi atau berposisi, persiapan Munas dan regenerasi kepemimpinan, dinamika para (bakal) calon Ketua Umum dan sebagainya. Saya mencatat bahwa adanya gonjang-ganjing di internal Golkar saat ini disebabkan oleh dua hal yaitu (1) efek samping pilihan Golkar: dari instrumen kekuasaan ke semi instrumen kekuasaan, dari semi oposisi kekuasaan menjadi oposisi kekuasaan, (2) warisan ikutan dari transformasi Golkar dari partai kekaryaan yang mengandalkan mobilisasi massa (melalui jaringan birokrasi) menjadi partai politik modern yang bertumpu pada kualitas dan kemampuan publikasi (pecitraan kader dan tokoh partai), masifikasi opini sebagai upaya pencerdasan dan pendidikan politik publik, penguasaan wacana publik yang berbasis pada program atau aksi nyata, dan stok modal-uang (money) yang banyak. MEMPERTAJAM TARING GOLKAR Dalam konteks mempertajam taring Golkar di masa depan, paling tidak ada beberapa hal yang menjadi catatan (kaki) bagi Golkar, pertama, fokuslah membangun kekuatan dan konsolidasi internal.  Keragaman potensi (namun masih “berserakan”) dan pandangan politik internal Golkar yang beragam (namun masih “ke mana-mana”) mestinya bukan menjadi “biang” yang membuat Golkar “terseok-seok”, tapi justru menjadi modal dan kekuatan yang pada gilirannya membuat Golkar berkontribusi besar bagi cita-cita pembangunan negeri ini. Kedua, pertegaslah posisi dan peran dalam dinamika politik Indonesia. Jikapun memilih oposisi, misalnya, maka jadilah oposisi yang konstruktif bagi kepentingan bangsa dan negara. Nikmati “puasa” kuasa tanpa melupakan “amal politik” lain yang juga membutuhkan kejernihan nurani dan kesabaran politik yang tak sedikit. Bukankah Negeri ini tak kehabisan ruang dan tempat bagi para pegiat perubahan? Ketiga, lakukan regenerasi kepemimpinan partai. Salah satu penyakit Orde Baru (yang kelak membuatnya “dimusuhi” dan menjadi salah satu penyebab runtuhnya Orde Baru) adalah gerontokrasi, yaitu menguatnya kekuasaan yang menumpuk pada generasi tua dan yang memiliki modal (uang) yang banyak. Jika Golkar hendak “digdaya” (dalam maknanya yang positif) dan “memenangkan” pertarungan politik jangka panjang (termasuk pileg dan pilpres 2019), maka Golkar mesti berani menempuh jalur “kreatif”, termasuk “mendayagunakan” kader mudanya pada level penting seperti kebijakan strategis partai. Keempat, lakukan proteksi partai dari kepentingan sesaat, misalnya, kepentingan yang hanya menjadikan Golkar sebagai “batu loncatan” menuju tampuk kekuasaan (eksekutif, legislatif) tapi tidak berkontribusi apa-apa, bahkan kerap “merusak” nama baik Golkar, termasuk terlibat dalam berbagai kasus: Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Selain itu, Golkar perlu giat dalam memproteksi diri dari kekuatan yang hendak “mengakhiri” sejarah Golkar dalam jagad politik republik. Ini mungkin pendapat sobjektifitas saya sebagai rakyat biasa, namun mangantisipasi hal ini sejak dini akan membantu Golkar agar tidak terjerembab “berdarah-darah” hanya karena riak-riak kecil yang tidak penting dan konflik musiman yang tidak produktif. Akhirnya, keberanian Golkar untuk lebih berbeda (kreatif) adalah pilihan jenial yang memantik simpatik publik. Dengan begitu, publik pun tidak lelah menanti jawaban dari sebuah pertanyaan sederhana: wahai Golkar, mana taringmu? (*)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: