Membunuh Lintah
Oleh: Aka Sudah sering lelaki tua itu mengingatkan cucunya agar jangan main-main dengan lintah. Padahal belum sekali pun anak sepuluh tahunan itu terkena gigitan hewan pengisap itu. Bila bermain bersama teman-teman sebayanya jarang sekali mereka blusukan ke tempat-tempat lembap di mana hewan itu sering berada. Mereka lebih senang bermain di padang rumput atau lapangan bola. “Sekali binatang itu nempel di tubuh, ia akan terus mengisap darahmu,” kata lelaki tua itu. “Sakit tidak, Kek?” “Ia melekat kuat di kulit dan seratusan gigi kecilnya mencengkeram dagingmu.” “Tapi tidak berbahaya kan, Kek?” “Dalam waktu singkat lintah itu akan membesar. Sekujur tubuhnya kembung kenyang akan darahmu. Sedangkan kulit dan dagingmu membengkak, nyaris menutupi tubuh lintah itu sendiri.” “Dari tadi Kakek tidak menjawab pertanyaanku!” kata anak itu gusar. Tapi ia segera ingat: kakeknya sering melakukan hal menggelikan. Kadang menyebalkan. Pertanyaan yang dia ajukan kerap tak ditanggapi; dan si kakek malah asyik dengan ceritanya sendiri. “Sebelum kenyang lintah itu pantang melepaskan mangsanya. Seakan lapar telah menderanya berhari-hari. Ia seperti bayi kelaparan yang terus mengisap susu ibunya. Kau pernah lihat bayi yang begitu kuat menyedot susu ibunya? Sangat bernafsu, kan? Sebelum kenyang si bayi tak akan melepas puting susu itu. Begitu pula lintah. Sebelum laparnya terpuaskan lintah pantang melepas apa yang sedang dikerkahnya.” Kadang anak itu heran dengan perilaku kakeknya itu. Sering bicara tanpa henti seakan-akan tak mendengar pertanyaan atau tanggapan. Sesekali menyelinap di benak anak itu prasangka buruk: jangan-jangan kakeknya mulai pikun. “Apa kita tidak bisa melepaskannya sebelum dia kenyang?” tanya anak itu, semata karena rasa ingin tahu. Dia mengira kakeknya tidak akan peduli lagi tapi ternyata cepat menanggapi. “Bisa,” kata kakeknya. “Tapi sulit. Gigitan lintah menancap begitu kuat. Kadang, Kau harus mencungkilnya dengan pisau. Dengan risiko sebagian kulit dan dagingmu terkelupas atau sobek.” “Sebegitu kuat gigitannya, Kek?” Anak itu bergidik. “Bisa juga dengan cara lain,” lagi-lagi kakek itu tidak menanggapi pertanyaan cucunya. Ia malah menjelaskan cara lain melepas gigitan lintah, “Jejali sekitar rahang atau tempat ia menggigit dengan tembakau. Perlahan-lahan gigitan lintah akan terlepas sendiri…” “Apa kita akan mati jika digigit lintah?” “Tidak. Tapi ada beberapa yang meregang nyawa.” “Hiii…,” anak itu bergidik lagi. “Padahal lintah tidak begitu besar. Seukuran kelingkingmu saja. Bahkan ada yang lebih kecil. Tapi ada juga yang lebih besar lagi. Sangat besar…!” “Benarkah itu, Kek?” “Ya,” angguk kakek. “Namanya lintah darat. Binatang ini menyerupai manusia. Lebih berbahaya!” Duduk anak itu bergeser. Lebih dekat pada kakeknya. Lelaki tua itu terkekeh. Mengusap ubun-ubun cucunya. Merasakan kelembutan helai-helai tipis kepirangan seperti rambut jagung. Dan jauh di kedalaman mata cucunya yang bening itu ia seakan melihat bayangan anaknya yang meregang-regang dikerkah ribuan lintah. “Kau tidak perlu takut, Cucuku. Kakek tidak akan membiarkanmu dimangsa lintah jahanam itu. Kakek akan pertaruhkan segalanya termasuk nyawa agar kau tidak jadi korban. Jangan sesekali kau berdekatan dengan binatang jorok berliur itu.” “Aku belum pernah main-main dengan lintah, Kek. Melihat juga belum.” Kakek kumat lagi, ngelantur lagi, pikir anak itu. “Hati-hati bila blusukan di tempat-tempat lembap. Saat bermain atau mencari sesuatu di situ, tanpa sadar lintah-lintah itu sudah nempel di kakimu. Kadang kau tak merasakan apa-apa. Kau baru akan menyadarinya setelah lintah-lintah itu kuat menyesap darahmu…” “Apakah lintah darat hidup di tempat lembap juga, Kek?” “Ia bisa hidup di mana saja. Di tempat yang lembap, basah maupun panas.” “Nempel di kulit juga?” “Tidak. Hewan ini manusia jahat tapi berpura-pura seperti malaikat. Dandanannya rapi. Bahkan berdasi. Pada saat kita lapar berhari-hari tak makan, lintah ini akan mendatangi kita dengan segala tipu muslihatnya, dengan segala bujuk rayunya, dengan keramahtamahannya yang palsu semua. Dia akan menawarkan liurnya yang digadang-gadang mengandung obat antilapar. Juga penawar bermacam penyakit seperti sakit gula, darah tinggi dan lain-lain. Tapi sesungguhnya secara perlahan dia akan beralih rupa ke wujud aslinya. Dia punya mulut besar yang seakan bisa menelan apa saja. Menelan uang, rumah, tanah…. Juga segala macam kotoran seperti tinja dan bangkai. Perutnya buncit akibat cara makannya yang jorok dan serakah. Kulitnya kenyal dan selalu tampak basah keabu-abuan. Giginya besar dan bertaring. Ia akan gerogoti kulit dan daging mangsanya. Dia sebenarnya manusia tetapi rohnya lintah.” “Maksud Kakek, wujudnya manusia tapi rohnya atau jiwanya binatang lintah?” “Ya.” “Darah, Kek? Bagaimana dengan darah? Diisapnya juga?” “Tentu saja. Lintah darat akan mengisap darah mangsanya sampai tak bersisa. Dia jauh lebih jahat dan ganas daripada lintah biasa. Lintah biasa mengisap darah kita seperempat atau setengah jam saja; dan yang diisapnya paling banyak tiga sendok makan. Itu cukup untuknya bertahan hidup hingga setengah tahun. Sedangkan lintah darat tidak. Bukan cuma menyesap darah sampai tandas tapi tulang-tulang kita pun dibikin remuk!” “Kan cuma diisap. Kok bisa remuk?” cucunya tak mengerti. “Karena saking kuatnya manusia jelmaan lintah itu mengisap.” “Jahat sekali, Kek?” “Juga kejam!” “Hi….” “Jangan takut. Asal kau tidak coba-coba mendekati lintah darat.” “Bukankah dia yang mendatangi kita di saat kita lapar….? Bukankah tadi Kakek bilang begitu?” “O ya?” Alis lelaki tua itu bertaut. “Hidupnya di tempat-tempat lembap juga?” tanya anak itu mulai tak sabar lagi melihat perilaku kakeknya yang sering tampak linglung. “Lintah ini berbeda dengan lintah biasa. Ia bisa hidup di mana saja. Di darat, laut bahkan bisa terbang ke angkasa.” “Wah, hebat sekali?” “Tapi ingat. Ia juga sangat kejam!” Lelaki tua itu sadar apa yang diucapkannya mengada-ada. Tak ada lintah yang menyerupai manusia. Apalagi bisa terbang segala. Tapi sudah terlanjur. Ada sesuatu yang mengendap dalam batin lelaki tua itu. Semacam dendam. Dendam yang lama dipendam itu kini menjadi endapan teramat panas dan menggelegak. Setelah bertahun-tahun bergejolak dalam hatinya, terus menekan kesabarannya, kini setiap saat menunggu dimuntahkan, meminta diledakkan. Ia ingin gambarkan sosok lintah darat sejahat-jahatnya, ganas dan kejam. Ia ingin tanamkan kengerian, kenyerian. Satu-satunya tujuan yang hendak dicapainya adalah agar cucunya benar-benar memiliki rasa takut pada lintah darat. Agar tidak terulang anak-turunannya menjadi korban. *** Mulanya lelaki tua itu tak tahu Sobri terbelit utang koperasi. Mungkin bekas biaya operasi istrinya di rumah sakit bersalin. Lelaki bermata cekung itu pun tak tahu berapa kali Sobri memperbarui utangnya. Yang ia tahu, suatu hari pintu rumah digedor-gedor. Dan ia shock, mengigil ketakutan. Sobri ditagih karena sudah satu minggu tidak bayar, tidak titip setoran pada pemilik warung kopi. Sobri biasa menitipkan uang angsuran koperasinya ke warung kopi agar keluarga tidak merasa risih dan mencecarnya dengan banyak pertanyaan. Utang Sobri sudah mencapai tiga juta. Menurut pengakuan Sobri pada istri dan lelaki tua bapaknya itu, awalnya ia mengutang tak sampai dua juta. Tapi karena utang koperasi itu bunga berbunga, maka dalam waktu singkat bisa membengkak sebesar itu. Hari itu Sobri, dengan rasa malu dan gemetar, meminta maaf pada petugas koperasi karena belum bisa bayar. Lalu ia minta tempo dua minggu. Petugas itu hanya memberi waktu satu minggu. Meskipun sudah diberi tempo satu minggu, Sobri tetap tidak sanggup mencicil sepeser pun. Akhirnya suatu sore tak ada ampun lagi Sobri dicaci, dimaki, digebuk. Mulutnya berdarah. Beberapa bagian tubuhnya biru lebam. Dua hari setelah peristiwa tragis itu Sobri kabur. Lelaki tua itu tidak bisa berbuat apa-apa. Ia sendiri sama dengan Sobri, anaknya, hanya buruh tani musiman. Waktu itu sedang kerontang-kerontangnya tiada penghasilan. Dan ketika pemilik koperasi itu datang meminta-paksa surat tanah rumahnya ia hanya bisa pasrah. Lelaki tua itu dipaksa membuat surat pernyataan: sebelum utang Sobri lunas surat tanah itu milik koperasi. Dan itu artinya, gubuk reot yang sedang ia tempati bersama cucunya hakikatnya bukanlah miliknya lagi. Di tanah milik sendiri kini ia hanya menumpang. Setelah Sobri kabur ia dan istri Sobri harus pasrah menerima sumpah serapah para penagih. Ia malu. Tertekan. Dan nyaris stres. Istri Sobri yang belum pulih benar dari operasi sesarnya sering sakit-sakitan. Bekas jahitan di perutnya kerap mengeluarkan rembesan darah. Dua minggu setelah Sobri kabur perempuan ibu cucunya itu meninggal. “Andai Kau tidak berutang ke koperasi, Sobri…” itulah ceracau yang kerap keluar dari mulut istri Sobri di tengah sakit yang menderanya. *** Lelaki tua itu menatap sekeliling. Hamparan sawah yang menguning. Awan-awan putih serupa serpihan kapuk yang ditebar di keluasan langit yang biru. Sungguh cuaca cerah menjelang tiba musim panen. Walaupun dia tidak punya sawah, tiba masa panen selalu menjadi hari-hari paling membahagiakan. Hari-hari sibuk kerja. Dan melimpah pendapatan. Namun sayang, ia kini hanya berdua dengan cucunya. Tidak ada lagi Sobri menemaninya bermandi keringat menggarap sawah. Angin sore semilir mengusik pucuk-pucuk padi yang padat berisi. Lelaki itu menarik napas panjang. Sudah sepuluh kali musim panen ia bekerja sendirian di sawah. Sesekali saja cucunya –yang tak mampu ia sekolahkan karena tak ada biaya—menemaninya. Itu pun jika sedang tidak bermain karena sebagian temannya sedang belajar di sekolah. Sudah sepuluh tahun Sobri pergi. Entah ke mana. Tanpa kabar sama sekali. Masih hidupkah? Atau sudah meninggal? “Kakek melamun?” usik cucunya. “Kakek selalu ingat lintah yang menyerupai manusia itu. Lintah itu yang membuat bapakmu hilang entah ke mana.” “Kata Kakek, bapak merantau ke kota….” “Ah, ya…” potong lelaki tua itu gugup. “Bapakmu memang ke kota. Tapi entah ke kota mana?” Lelaki itu sedih. Untuk kesekian ribu kalinya ia tega membohongi cucunya. “Kenapa tidak pulang-pulang?” “Nah itu. Tentu takut oleh lintah jahanam itu.” “Kalau begitu, bunuh saja supaya bapak bisa pulang!” Kakek itu terkejut. Tak disangka, cerita lintah daratnya berdampak buruk. Membangkitkan naluri membunuh dalam jiwa cucunya. “Kita tidak bisa membunuhnya,” kata lelaki tua itu dengan getir. “Kita hanya bisa menghindari atau menjauhinya. Kita manusia selalu dihantui rasa lapar. Dan lintah itu akan terus mendekati orang-orang lapar. Menggoda dengan segala tipu muslihatnya sebagai obat penawar lapar. Kau harus tahu betul ciri-ciri lintah jenis ini.” “Sudahlah, Kek, Jangan cerita lintah terus.” Anak itu menguap. Ah, andai kau tahu siapa sebenarnya lintah darat itu. Tapi, saat ini belum saatnya kau tahu, lelaki tua itu membatin. Sore itu lelaki tua itu berhenti cerita tentang lintah. Ia angkat cucunya yang mulai mengantuk itu. Didekapnya. Dielus-elus ubunnya. Diusap-usap rambut tipisnya. Sudut-sudut matanya membasah. “Kelak, kalau kau jadi orang besar, bikinlah koperasi yang benar…. Meski kau tidak sekolah, Kakek yakin kau bisa mewujudkan harapan kakek. Sejatinya, yang lebih dibutuhkan untuk membangun koperasi yang benar adalah kejujuran dan iktikad baik menolong sesama….” “Kakek ngomong apa lagi?” Anak itu sudah sangat mengantuk. Tapi karena mendengar kakeknya bicara lagi –walau suaranya pelan— kantuknya menghilang. Lelaki tua itu tidak menjawab pertanyaan cucunya. Ia hanya berkata, “Kakek ngomong supaya kau tidak tidur….” Lalu didekap cucunya lebih erat. (*) tmb, 13 juli 2014, Aka adalah nama pena Abdul Kodir Data Penulis: Aka adalah nama pena Abdul Kodir, lahir di Kuningan, Jawa Barat. Sedang menulis buku Rumah Besar dalam Rumah Kecil. Dan merampungkan buku Kisah Malang Para Pedagang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: