Tantangan Jaksa Agung Baru
(Sebuah Catatan Politik, Hukum, dan Refleksi Kebangsaan) Oleh: Verry Wahyudi Kini kita telah memiliki nama definitif Jaksa Agung baru. Kamis, 20 November 2014 lalu, Presiden Joko Widodo resmi menunjuk dan melantik M Prasetyo sebagai Jaksa Agung Republik Indonesia (RI) periode 2014-2019 menggantikan pejabat lama Basrief Arief. Sebelumnya, Prasetyo dikenal sebagai politikus/anggota DPR RI masa bakti 2014-2019 dari Partai Nasional Demokrat (NasDem). Ia pernah pula menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Jaksa Agung Muda Pidana Umum pada 2005-2006. Maklum saja bila ekspektasi kita sangat tinggi dalam rangka menyambutnya. Karena betapa sesungguhnya Jaksa Agung adalah sosok yang kelak harus bisa diandalkan tampil di barisan paling depan sebagai salah satu panglima dalam upaya serius penegakan hukum. Dengan demikian, ini memang mutlak merupakan ihwal yang amat penting. Dan jamak diketahui, hari-hari ini sosok semacam itu memang benar-benar sedang ditunggu-tunggu kehadirannya. Tepatnya, sosok panglima hukum yang memiliki integritas, kapabilitas, berani, dan konsisten. Sehingga diharapkan sanggup menyelesaikan sejumlah persoalan yang mendera. Serta mampu mengganyang mereka yang sering melakukan pelanggaran hukum. PENEGAKAN HUKUM Pada tulisan lalu, saya sudah sempat mengatakan bahwa pembangunan demokrasi, kepastian hukum, dan pemerintahan yang bersih sejatinya menjadi agenda utama Presiden Jokowi. Ketiga hal tersebut sekaligus hakikatnya merupakan fondasi yang bakal mengokohkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Jaksa adalah salah satu profesi hukum berkedudukan cukup vital dalam penegakan hukum di Indonesia. Jaksalah yang menentukan layak-tidaknya penuntutan terhadap suatu perkara dapat dilakukan. Perjalanan suatu kasus dari tingkat kepolisian, meskipun telah sesuai dengan prosedur dan memenuhi berkas perkara atau berita acara pemeriksaan (BAP) yang ada, dapat dimentahkan di kejaksaan apabila dinilai terdapat kekurangan dan ketimpangan dalam BAP kasus itu. Kendati sejumlah kasus suap dan narkoba pernah menimpa beberapa oknum kejaksaan, masyarakat harus jujur mengakui bahwa kejaksaan tetap berusaha membuktikan dan menjaga profesionalitasnya (Tb Ronny Rachman Nitibaskara, 2014). REFORMASI HUKUM Mesti juga terus terang ditegaskan, tantangan atau PR terbesar Jaksa Agung baru adalah memberantas korupsi dan mafia, serta bersih-bersih di lingkungannya sendiri (kejaksaan). Korupsi dan mafia jelas masih merajalela, bahkan intensitasnya kian mengalami peningkatan. Berbagai sektor bidang telah dikepung perilaku korupsi dan mafia. Tanpa terkecuali, ironisnya, alih-alih seyogianya menegakkan hukum, sebagian jaksa malah terjerumus ikut melanggar aturan hukum, seperti dicontohkan di atas. Peluang intervensi Presiden sesungguhnya tidak cuma dalam konteks mengangkat dan memberhentikan Kepala Polri dan Jaksa Agung. Lebih dari itu, sinergi penegakan hukum antara KPK, Polri, dan Kejaksaan juga tak hanya diterjemahkan sebagai ajang ”tukar-menukar” penyelidik/penyidik/penuntut umum, tetapi bagaimana sistem yang sudah amat baik yang dibangun KPK direplikasi oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Semua ini bergantung kepada Presiden, nasib kuasa yudisial yang ada di ranah eksekutif ini akan ditentukan dalam lima tahun ke depan. Janji reformasi sektor hukum wajib ditagih untuk ditunaikan oleh Presiden Jokowi. Jika tidak, kita sekadar akan menyaksikan praktik korupsi yang semakin meluas akibat pelaksanaan penegakan hukum yang tak kunjung membaik (Reza Syawawi, 2014). RASA PARPOL? Wajar semata kalau di sisi lain muncul keraguan atau ketakpuasan ketika menyambut Jaksa Agung baru. Khususnya, lantaran yang bersangkutan dianggap merupakan figur yang dekat dengan kekuatan partai politik dari lingkaran koalisi pendukung pemerintah. Sampai mencuat kekhawatiran, kalau masalahnya begini, apakah ia sanggup mempunyai performa yang bebas dari pengaruh politik. Namun alangkah arif dan bijaksananya jika kita belajar menanamkan optimisme dahulu, seraya memberikan kesempatan bagi Jaksa Agung baru bekerja dan membuktikan kiprahnya, sekurang-kurangnya selama satu atau dua tahun mendatang. Nanti saat habis rentang waktu itu, kita segera memberikan kritik dan penilaian. Dengan demikian, bakal diperoleh kritik dan penilaian objektif; berdasarkan analisis dari pengalaman nyata, apakah sejujurnya ia layak atau tidak dipilih sebagai Jaksa Agung baru. Akhirnya, berulang kali dan tiada bosan kita senantiasa mengungkapkan, ibaratnya bangsa dan negara perahu yang berlayar di lautan nan luas. Maka dari itu diperlukan panduannya supaya tenang berjalan dan selamat sampai tujuan. Agar bangsa dan negara eksis serta berhasil menggapai cita-citanya, membutuhkan hukum sebagai pedomannya. Hukum dan demokrasi membentuk karakter bangsa dan negara. Jangan pernah berhenti mencintai Indonesia! Give and do the best! (*) *)Penulis adalah Analis Politik dan Ekonomi; Mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Niaga FISIP Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Cirebon; Mantan Ketua Bidang Komunikasi dan Informasi BEM FISIP Untag Cirebon; Penerima Penghargaan Untag Cirebon Sebagai Mahasiswa Berbakat Menulis.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: