Molor karena Transaksional?
Syarip: Tidak Benar Wali Kota Sakit Parah dan Bolak-balik Bandung KEJAKSAN – Molornya jadwal mutasi yang sebelumnya dijanjikan akhir November, mundur menjadi awal Desember, dan informasi terakhir ditunda menjadi Januari tahun depan, mengundang banyak spekulasi. Sejumlah pihak menilai, tarik ulur mutasi ini, bukan hanya faktor kesehatan wali kota, tapi diduga karena alotnya proses transaksional jabatan. Pengamat kebijakan publik Dr Cecep Suhardiman SH MH mengatakan, penundaan mutasi boleh dilakukan jika penyebabnya wali kota sakit atau dalam rangka mencari orang yang tepat. Namun sangat disayangkan, jika molornya mutasi karena adanya transaksi jabatan. “Mutasi tidak boleh transaksional. Kota Cirebon tidak akan maju-maju kalau begini terus,” ujar pria yang pernah menjabat anggota DPRD Kota Cirebon periode 2009-2014 itu. Terkait alasan menunggu habis laporan pertanggungjawaban pejabat lama, menurut Cecep, pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan tidak ada masalah, meski harus ada pergantian di akhir tahun berjalan. “Itu sudah biasa. Kalau terjadi mutasi, pada saat serah terima jabatan semua berjalan sesuai tanggung jawabnya masing-masing,” tukasnya. Justru, jika mutasi digelar tahun 2015, akan menjadi tidak tepat. Sebab, anggaran dukungan untuk SKPD baru, sudah tersedia di APBD Perubahan 2014. Sehingga, terhitung 2 Januari 2015 nanti, SKPD baru harus sudah berjalan. Sebaliknya, ujar Cecep, jika mutasi tetap digelar setelah 2 Januari 2015, langkah tersebut tidak tepat. Pasalnya, dukungan anggaran untuk SKPD baru sudah ada di pos APBD Perubahan 2014, terutama untuk anggaran tiga staf ahli wali kota. “Kalau mundur terus, perlu dipertanyakan penggunaan anggaran dukungan SKPD baru,” tukiknya. Doktor ilmu hukum itu menjelaskan, kalau mutasi ditunda-tunda dengan alasan pertanggungjawaban pejabat lama, justru pertanggungjawaban itu bisa tergambar dari setiap pelaksanaan kegiatan, termasuk mutasi dan promosi yang saat ini ada struktur baru. Setiap mutasi akan selalu ada tarik menarik kepentingan dalam skala apapun. Bahkan, terkesan diduga menjurus pada transaksional. Saat mengajukan perubahan tiga perda kelembagaan, dilakukan secara terburu-buru. Tetapi, kata Cecep, setelah disahkan, justru ada tarik menarik dalam mutasi, termasuk untuk perubahan nama pejabat promosi eselon dua. Indikasi ada pejabat yang tergeser semakin kuat. Namun, dia enggan menyampaikan nama tersebut. “Informasi yang saya dapat, ada satu dari tiga nama pejabat promosi eselon dua yang tergeser. Jika itu benar, menunjukan ada tarik menarik kepentingan dalam mutasi,” ujarnya. Terpisah, Ketua Komunitas Anti Korupsi (Kopak) Indonesia Kota Cirebon, Drs Syarip Hidayat MSi mengatakan, informasi wali kota sakit parah dan harus bolak balik ke Bandung, merupakan kabar menyesatkan. “Ini informasi yang dihembuskan dengan nada tidak suka kepada wali kota. Saya mengetahui persis pak wali sudah pulang dan sehat,” ujarnya kepada Radar, Rabu (3/12). Untuk itu, dia mengimbau kepada para pihak agar tidak memberikan informasi menyesatkan. Sebab, jika sudah masuk media massa akan terbaca seluruh masyarakat dan menjadi opini. Terlebih, hal ini terjadi menjelang mutasi. Menurut Syarip, mutasi jangan menjadi hal menakutkan bagi pejabat. Karena di mana saja bekerja tidak berbeda. “Mutasi selalu identik dengan sarat kepentingan dan transaksional. Hal ini bisa menjadi tidak terbukti jika menempatkan orang tepat di tempat yang tepat. Tentunya berdasarkan kompetensi, kemampuan kinerja dan prilaku baik,” ucapnya. Komitmen anti korupsi harus menjadi bagian dari kehidupan PNS sehari-hari. Akan menimbulkan kecurigaan publik jika PNS memiliki harta melimpah tanpa usaha lain atau pemasukan selain gaji PNS. (ysf)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: