Oka Rusmini dan Perempuan Keras Kepala

Oka Rusmini dan Perempuan Keras Kepala

Oleh: Nissa Rengganis  Oka Rusmini, perempuan berdarah Bali adalah sedikit dari penulis perempuan yang memiliki nafas panjang di jagad sastra. Hingga \'Saiban\' menjadi pemenang kategori puisi Katulistiwa Literary Award 2014. Mengagumkan. Mengingat sampai hari ini masih sangat sedikit penulis perempuan yang berhasil ‘bertarung’ dalam kompetisi. Tidak hanya itu. Oka sebagai perempuan cukup konsisten untuk menulis tentang dirinya. Dimulai dari Sagra, Kenanga, hingga Tarian Bumi yangkesemuanya menyoal perempuan. Oka berhasil meramu tradisi dengan sikap kritisnya sebagai perempuan. Di tengah-tengah megahnya Bali, di sana terselip berbagai bentuk ketidakadilan yang dialami perempuan. Berulang kali perempuan di posisikan sebagai victim yang tenrus menerus mencari jalan identitasnya. Ini menjadi kecemasan Cixous yang ia tafsir; bahwasetiap perempuan tahu betapa menyiksanya bangkit untuk bicara.Jantungnya berdebar kencang, terkadang benar-benar kehilangan kata-kata, bahasa, serta bumi yang dipijak seakan lenyap. Hingga muncul seruan,“Write Yourself. Your Body Must be Heard,”yang memberikan pengaruh terhadap beberapa teks sastra yang diproduksi oleh pengarang perempuan. Siapa menduga, konteks sosial pascareformasi dengan isu demokratisasi  menjadi momen penting bagi pengarang perempuan melakukan perlawanan besar feminisme dalam koridor memerdekakan diri dari eksploitasi laki-laki. Semoga benar demikian. Bukan sekadar latah dengan hiruk pikuktren wacana soal isu demokratisasi, multikulturalisme, feminisme atau isme-isme lainnya. Saya cukup senang, dari hiruk pikuk itu Oka terus menulis dan berhasil mengangkat persoalan perempuan yang berhadapan dengan realitas masyarakat Bali. Menariknya adalah tokoh-tokoh perempuan Oka kerap dimunculkan dengan ‘berani’ dan lantang menyuarakan ketidakdilan yang dialami kaum perempuan akibat budaya patriarkat yang masih mendominasi masyarakat Bali. Persepsi patriarkat yang dimunculkan dalam novel Tarian Bumi, misalnya, tokoh-tokoh perempuan menggugat ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Bali.Novel ini pun memunculkan tokoh Luh Kenten sebagai seorang lesbian. Gagasan lesbianisme yang terdapat dalam novel Tarian Bumi dimunculkan dengan masih ragu-ragu, walaupun Luh Kenten secara tegas menolak untuk menikah dengan laki-laki. Perempuan-perempuan keras kepala dalamTarian Bumi meggambarkan alur cerita dengan penuh gugatan terhadap kemapanan nilai-nilai lama yang tertutup dan angkuh. Dalam novel Tarian Bumi, pembaca diperkenalkan dengan empat tokoh utama yang kesemuanya adalah perempuan.Tokoh-tokoh perempuan dicitrakan sebagai sosok-sosok yang begitu kuat, gelisah, mandiri, radikal, dan memberontak. Dua tokoh paling penting yang diceritakan dalam novel ini adalah tokoh ibu dan anak, yaitu Luh Sekar dan Ida Ayu Telaga Pidada. Luh Sekar adalah perempuan yang lahir dari kasta terendah di Bali (sudra) yang memiliki keinginan keras untuk menikahi seorang lelaki brahmana. Singkat cerita, Luh Sekar akhirnya mendapatkan seorang lelaki brahmana, Ida Bagus Ngurah Pidada. Hidup Luh Sekar digambarkan tidak bahagia dengan memiliki suami pemabuk, tukang main perempuan, dan ibu mertuanya yang kerap memojokkan Luh Sekar yang perempuan sudra. Rupanya ia harus membayar mahal kenyamanan hidupnya untuk memasuki kelas bangsawan. Ini menyebabkan Luh Sekar sangat keras mendidik anaknya Ida Ayu Telaga dengan berbagai peraturan yang harus diikuti, termasuk menikah dengan lelaki yang mempunyai gelar Ida Bagus. Alur kilas balik dalam novel ini mengungkapkan pergolakan batin seorang perempuan yang terperangkap dalam budaya dan tradisi masyaraat Bali.Tarian Bumi dengan setting budaya Bali menampilkan budaya masyarakat yang masih memegang teguh kultur patriarkat. Kultur masyarakat Bali yang masih mengagungkan laki-laki mendorong tokoh perempuan dalam novel ini menggugat hal tersebut. Luh Kenten dengan watak yang keras menggugat budayanya, juga mempertanyakan posisi laki-laki dalam masyarakatnya. Tapi bukan ini yang utama. Saya tidak sekadar bicara soal Oka, novel, ataupun dinamisasi sastra. Tapi lebih jauh dari itu, sastra mengajak kita untuk berhadapan dengan peradaban yang hingga hari ini masih sedikit tempat untuk perempuan. Inilah serunya petualangan sastra. Kita sebagai pembaca secara mendadak diajak bertemu dengan tokoh yang asing, tanpa ada prolog pengenal. Meminjam istilah Dami N Toda, sebagai seorang gerilya yang mendadak muncul dari hutan-hutan gelap. Percayalah, tanpa membaca karya sastra dan menyimak tokoh-tokoh yang hidup di dalamnya menjadi sebuah keniscayaan bahwa negara ini tidak pernah belajar dari sejarahnya. (*)     *) Tinggal di Rumah Kertas  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: